Lanjutan dari PROMISE Part 36: Sebuah Pengakuan. Baca juga Promise Part 1: Awal, untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.
NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)
PROMISE - Part 37: Dia Yang Tersakiti
Iel membuka pintu ruang musik itu dengan perlahan, dengan begitu pelan, tanpa mengeluarkan suara. Dan dentingan suara piano yang mengalir lembut itu segera menyeruak masuk, memenuhi indera pendengarannya. Terasa indah, tapi sangat memberikan kesan memilukan dihatinya, mengalun suram, tanpa keceriaan.
Iel menatap lurus ke arah sang pemilik permainan harmoni-harmoni indah itu. Kini ia bisa melihat ify, orang yang dicari-carinya sedari tadi, tengah memainkan sebuah piano disana. Posisi ify yang membelakangi pintu masuk iel tadi, membuat iel bisa memandang sendu punggung ify dengan leluasa, tanpa disadari kehadirannya oleh gadis itu. Walaupun tak melihat wajahnya, iel bisa tau, ify tengah memainkan pianonya dengan ditemani linangan air matanya. Isakan tangis itu bisa ia dengar dengan begitu jelas, begitu menggugah hati yang ikut merasakan aura kepedihan itu. Mendengar itu, entah kenapa hati iel sangat bisa ikut merasakan aura kepedihan itu. Dia tau, sebuah ketidak adilan telah menerpa gadis itu dengan kejamnya. Tapi… kini Iel hanya bisa diam terpaku disana, meresapi alunan nada kepedihan yang kini menyusup di relung hatinya, sembari terus menunggu sampai ify selesai memainkan lagunya.
Sementara itu, Ify terus memainkan pianonya, walau di pipinya terus dialiri air mata yang turun dengan perlahan dan jatuh membasahi tuts-tuts piano yang dia mainkan. Dia terus memainkan alunan musik sendu itu, seakan-akan ingin menumpahkan segala kepedihan hatinya. Tak lama kemudian, ify menghentikan permainan pianonya, meninggalkan keheningan yang terasa begitu penuh kehampaan. Hanya suara isak tangis yang agak di tahan yang terdengar di tengah keheningan itu.
Di belakang ify, Iel beberapa saat masih saja tetap terdiam, menatap nanar orang didepannya itu. Ia belum bereaksi apapun, tetap membiarkan ify menumpahkan kesedihannya seorang diri, walau ia tau, tangis itu makin lama semakin tak terbendung, semakin memperjelas keadaan gadis itu di mata iel. Dia terlihat begitu…. Rapuh?
Iel sesaat memejamkan matanya, lalu menghembuskan nafas beratnya. Melihat ini, entah kenapa hati iel langsung semakin terasa begitu miris. Aura kepedihan yang terpancar kuat disana, yang begitu memenuhi ruangan itu, seperti benar-benar mempengaruhi perasaan hatinya. Iel kembali menatap lurus ify. 'Sepedih inikah hati loe fy?? Apa yang bisa gue lakukan buat loe?' bisik hati kecil iel. Iel kembali menghela nafas beratnya. Lalu dengan keyakinannya, perlahan iel mendekati ify.
“fy…” tegur iel pelan sambil menyentuh pundak ify lembut. Ify sedikit tersentak, tapi dia tetap bertahan, tetap diam terpaku disana, tak menoleh sedikitpun. Bahkan dia terlihat berusaha menghindari tatapan iel untuk melihat wajahnya yang sedari tadi terus dialiri air mata itu.
“permainan musik seseorang kadang mencerminkan emosi jiwa dan suasana hatinya. Tapi, apa hati loe sepedih alunan musik tadi fy?” sambung iel lagi. Tapi ify tetap tak bereaksi. Dia hanya diam sembari terus berusaha menghapus butiran-butiran bening yang jatuh itu. Iel lalu duduk disamping ify dan ditatapnya gadis itu penuh perhatian.
“gue bisa ngerti perasaan loe… jadi, loe ga perlu nutup-nutupin air mata loe itu dari gue…” kata iel lagi. Ify masih tak bergeming.
“fy… loe marah sama gue?” Tanya iel kemudian setelah melihat kenyataan bahwa ify, jangankan berbicara padanya, melirik ke arahnya sedikit pun tidak.
“gue minta maaf sama loe kalau loe marah sama gue. Tapi bukan gue yang majang foto-foto itu fy…” kata iel lagi sejujurnya. Ify belum juga mau bereaksi, tapi iel belum mau menyerah.
“oke… gue emang berat kalo harus akhirin perjanjian kita… itu bikin gue… kehilangan kesempatan buat bisa terus dekat… temenan sama loe… tp fy, gue ga bakal bikin loe kaya gini… foto itu emang sama gue, tp bukan gue pelakunya!” sambung iel lagi.
“fy… loe percaya gue kan???” pelas iel. Dia masih terus menatap penuh ify yang masih tak memandangnya sedikit pun itu, berharap gadis itu mau bergeming sedikit saja dari kebisuannya untuk merespon dirinya.
“ify… ngomong dong… gue bener-bener minta maaf…"
“....”
“fy… please ngomong sama gue…”mohon iel lagi. Tapi ify masih juga membisu.
"fy... Please.. Jawab gue! Loe boleh marah sama gue, tapi please… jangan cuekin gue!!”kata iel lagi dengan nada agak keras kali ini. Ify tetap bertahan dengan kebisuannya. Iel tampak sudah mulai frustasi menghadapi keadaan itu.
"fy! Please.... apa perlu gue teriak di lapangan biar loe percaya dan maafin gue??!”
“….”
“oke.. gue bakal ke lapangan sekarang biar loe mau ngomong lagi sama gue!” kata iel lagi lebih keras sambil bangkit dari duduknya dan berbalik hendak pergi menuju pintu keluar. Tapi tiba-tiba, pergelangan tangannya di tarik secara tiba-tiba. Tangan itu menggenggam erat tangan iel sehingga menahan kepergian iel. Iel sontak menoleh dan sedikit terhenyak. Ify telah menahannya.
"fy...?" tegur iel sembari menatap lekat ify. Saat iel menatapnya seperti itu, ify seketika itu juga melepas genggamannya di pergelangan tangan iel, dan kembali membalikkan badannya, membuang pandangannya, dan menundukkan kepalanya.
“gue tau kok bukan loe yang ngelakuin itu… angel udah cerita semuanya” lirih ify lemah. Iel sempat terhenyak lalu mengerutkan keningnya sesaat.
“angel???” Tanya iel heran. Ify mengangguk pelan, lalu dengan suara yang masih bergetar, ify menceritakan semua pengakuan angel kepadanya tadi kepada iel. Beberapa saat kemudian setelah cerita itu tersampaikan seutuhnya….
“kalau gitu, biar gue beri pelajaran ke dia!!!” kata iel agak emosi. Tapi Ify juga langsung berdiri dan menahan iel lagi dengan menggenggam erat pergelangan tangan iel dan menariknya agar tak pergi. Pergerakannya yang tertahan itu, sontak membuat iel menoleh. Dan ia kini sudah bisa melihat ify yang menatapnya dengan sorot matanya yang sendu itu.
“udah yel, dia udah minta maaf, dan gue udah ikhlasin itu semua. Gue gak mau masalah ini semakin menjadi-jadi. Udah, maafin angel. Please.... Ini bukan salah dia sepenuhnya…” tahan ify dengan nada memohon. Lagi-lagi hati iel merasa miris. Ada iba yang muncul di hatinya.
“bukan salah dia? Maksud loe?” iel kembali melunak, emosi kembali turun.
“ya..." sahut ify. Dia kembali terduduk, menunduk lemah. Iel juga kembali duduk menghadap ify.
"angel cuma imbas… ini semua salah kita juga… “ lirih ify. Iel hanya mengerutkan keningnya tanpa berkomentar apapun.
“ini semua emang karena salah gue dan temen-temen gue yang sering nyakitin hati dia… salah kita yang selalu gak pernah nyadar kalau udah berbuat kasar sama mereka… salah gue yang selalu diem aja, ga pernah berani ngingetin mereka kalo lagi nyakitin hati temen-temen…, salah gue karena ga pernah mau jujur ngungkapin semua ini sama teman-teman gue, salah…”
“stt… udah fy …”mohon iel. Tapi ify terus meneruskan ucapannya yang semakin lama semakin mulai tak terkendali itu. Suaranya mulai bergetar dan seberkas airmatanya mulai merembes lagi di sudut matanya.
“…salah gue yang terlalu pengecut untuk mengakui hal ini dengan semua orang meski ini hal yang benar, salah…”
“udah fy… cukup...”lirih iel lagi mencoba menghentikan ify.
“…salah gue yang ga pernah jadi sahabat yang baik buat mereka…”
“ify…!”
“…salah gue yang ngehianatin mereka… salah gue…”
“IFY STOP!!!” teriak iel.
“…salah gue yang ud…”
Plak!!
Tangan iel telah melayang ringan ke pipi ify. Walau itu tamparan yang pelan, tapi cukup untuk mendiamkan ify. Ify langsung tersentak terdiam.
“Berhenti nyalahin diri loe sendiri!!!” tegas iel setelah menampar pipi ify.
Ify kini hanya terdiam, menatap nanar kearah iel yang juga tengah memandangnya tajam. Beberapa saat mereka hanya saling pandang dalam diam, dengan nafas dan detak jantung yang sama-sama tak beraturan karena emosi mereka yang tengah tak terkontrol baik itu. Tak selang lama kemudian, ify segera mengalihkan posisi duduknya agar tak menghadap iel lagi dan kembali menunduk dalam keterpurukan sembari terisak pelan.
Sementara itu, Iel yang sebenarnya cukup kaget juga dengan apa yang barusan ia lakukan, juga langsung membuang pandangannya lalu menunduk sembari memejamkan matanya sesaat untuk menenangkan emosinya. Jujur, ia memang sempat kehilangan kendali menghadapi ify tadi. Dia tidak suka gadis itu menyalahkan dirinya seperti itu. Dia tak rela…
Setelah itu, kesunyian segera menyelimuti mereka. Kejadian yang baru lewat itu benar-benar membuat keduanya tampak tersentak kaget, yang kemudian berimbas kepada perasaan bersalah dan rasa tak enak pada hati masing-masing. Kecanggungan tampak dari keduanya kini.
“emm… fy…” iel mulai berinisiatif buka suara kembali, mencoba menghentikan segala ketidaknyamanan suasana yang terjadi saat itu.
“sori fy… gue ga maksud nampar loe…” lirih iel setelah dirasa suasana sudah lebih tenang. Kemudian ia kembali menatap ify dengan tatapan yang begitu penuh perhatian.
“gue… gue cuma mau loe berhenti nyalahin diri loe sendiri…” lirih iel. Ify melirik iel sekilas, lalu kembali menunduk ketika menjumpai tatapan tajam iel itu. Ia kemudian hanya menggeleng pelan sambil mengusap-usap wajahnya, mencoba menghapus airmata yang mengalir disana.
“gue emang salah… mungkin gue emang pantas digituin…”lirih ify. Iel hanya menghela nafasnya mendengar jawaban ify itu yang terkesan sangat pasrah itu.
“ify… loe gak…” kata-kata iel tercekat sesaat. Ia menggigit bibirnya. Bukan jawaban seperti itu yang sebenarnya diharapkan iel. Ify hanya akan tampak semakin merapuh dimatanya. Dan ia tak mau itu. Dia hanya ingin gadis itu lebih…. Kuat? Ya, lebih kuat. Kerapuhannya hanya membuat hati iel semakin tak merasa nyaman. Seperti ikut semakin teriris pedih. Tapi melihat wajah murung yang tertunduk sedih itu, iel hanya dapat kembali menghela nafas beratnya. Lalu ia kembali menatap ify dalam.
“oke… gue akuin, ini salah kita semua… ini salah gue juga yang udah ngefoto loe dan nyimpen foto itu sembarangan… oke, gue ngaku, gue biang kerok semua masalah ini…” kata iel. Ify memandang iel dalam dan iel membalasnya dengan seulas senyum di bibirnya. Ify hanya balas tersenyum miris, lalu kembali menunduk.
“sekarang loe mau gue hapus foto-foto loe dari HP gue sekarang? gue udah janjikan sama loe?” kata iel sambil ngeluarin Hpnya. Tapi Ify dengan cepat menggeleng dan menahan tangan iel yang ingin mengeluarkan HPnya itu. Iel menatap heran ke ify.
"kenapa fy?"
“nggak, jangan sekarang yel. Itu satu-satunya bukti buat nunjukin kalau loe yang ngefoto ini. Mungkin cuma ini yang bisa bikin temen-temen gue percaya dengan kejadian yang sebenarnya dan bisa nerima gue lagi…” jawab ify.
“tapi kalau loe ngikutin mereka lagi, berarti loe harus musuhin gue lagi dong?” ceplos iel. Jujur, dalam hatinya sangat tidak rela kalau hal itu yang harus terjadi nanti. Ify yang mendengar itu hanya melirik iel sesaat, lalu menggeleng pelan.
“nggak, gue ga mau lagi musuhin siapapun, gue mau baikan dengan semuanya” lirih ify pelan.
“loe beneran masih ngarepin temen-temen loe yang sengak itu?? Yang udah musuhin loe??!”
“biar bagaimana pun mereka temen-temen gue, gue ga mau berantem dengan siapapun, apalagi sama sahabat-sahabat gue”
“loe masih bisa bilang mereka sahabat??!”sahut iel lagi dengan nada tak percaya. Ify menatap iel tajam.
“udah berapa kali gue bilang sama loe, buat gue, sekali sahabat, tetap sahabat!!” sahut ify tegas. Iel memandang tak percaya pada pendirian ify, lalu menggeleng pelan sambil mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Hatinya dan logikanya menolak untuk bisa menerima begitu saja apa yang baru saja terlontar dari mulut gadis itu.
"fy… Kenapa sih loe masih dengan gampangnya nerima temen-temen loe itu? Loe ga sadar, mereka itu udah ngebuang loe fy! Loe itu udah di campakkin!" kata iel.
"mereka berhak marah sama gue. Emang gue yang salah... Gue udah ngebohongin mereka.." sahut ify lagi. Iel kembali menggelengkan kepalanya. Dia semakin tidak mengerti jalan pikiran gadis itu.
"ify… kenapa loe bisa dengan gampangnya nyalahin diri loe sendiri sih? Loe terlalu pasrah nerima semuanya.. Ini… Ini kelemahan loe fy! Dan itu gak baik buat loe terus pertahanin...." kata iel sambil menatap tajam ify. Ify hanya terdiam mendengar ucapan iel itu. Dia hanya terus menunduk sambil terus berusaha menghapus air mata yang mengalir, mencoba terlihat lebih tegar. Melihat kebisuan ify itu, iel kembali melanjutkan ucapannya.
"ify… apa loe gak pernah nyadar? Loe ga cuma terlalu pasrah, tapi loe terlalu baik, terlalu nurut dengan temen-temen loe… Loe itu gampang di manfaatin fy!” sambung iel lagi. Ify tetap bertahan dengan kebisuaannya. Matanya hanya menatap datar tuts-tuts piano yang berjejer dihadapannya itu.
“gak percaya? Coba loe inget, dulu waktu gue minta loe jadi suruhan gue, loe nerima dengan pasrahnya kan? Gue suruh-suruh macem-macem, tiap hari nemenin gue, gue suruh ngerjain PR gue... Walau loe terus minta gue buat ngejain sendiri, tapi tetap aja kan loe ngelakuin itu semua dengan SANGAT BAIK, tanpa niat sedikit pun buat ngerjain gue... Dan pas itu ketahuan pak hanny, loe malah belain gue...” terang iel. Dia berhenti sesaat untuk menarik nafas, sekedar untuk mengendalikan emosi jiwa yang masih bergemuruh di hatinya.
“Saat pak hanny ngasih perjanjian tentang nilai kita juga, loe juga dengan mudahnya nerima itu.. Dan saat nilai gue ga menuhin syarat pak hanny, loe juga sempet dengan pasrahnya mau nerima itu, mau ngorbanin nilai loe.... Loe ingat itu semua kan? Gue yakin loe pasti lebih sering lagi bersikap demikian dengan temen-temen loe itu…”
“jadi, kenapa loe pasrah banget sih jadi orang? Hidup itu perlu perjuangan fy.. Loe ga bisa terus-terusan gini, ngobanin perasaan loe sendiri, matahin keyakinan loe sendiri, ngingkarin kata hati loe sendiri demi perasaan orang lain! Ga bisa fy... Loe boleh baik sama orang, tapi gak gini caranya.... Loe juga terkadang harus perhatiin hati loe... Jangan siksa hati loe buat terus-terusan begini fy…" cerca iel lagi.
“gue gak maksa hati gue…”lirih ify pelan. Iel kembali harus dipaksa menghela nafas untuk lebih bersabar.
“ify… loe tau, kenapa gue dulu punya pikiran manfaatin loe jadi suruhan gue, itu karena gue tau, loe itu tipe orang yang pasrah, mau ngorbanin diri loe sendiri, demi sahabat-sahabat loe… itu emang sisi positif loe, tapi juga sekaligus titik lemah loe fy! Loe harus bisa ngerubah itu fy!”sudut iel lagi.
“gak…” lirih ify pelan, sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Iel semakin geregetan melihat ify yang masih keras kepala dengan pendiriannya itu.
"oh, come on ify… Apa semua ini hanya karena pendirian loe yang paling kuat itu? Teman selamanya? Iya?! Bahkan kalau orang yang loe anggap sahabat itu, udah nyakitin loe beratus-ratus kali, beratus-ratus kali norehin luka di hati loe, apa loe masih bertahan sama prinsip loe itu?! Tetap nganggap mereka sahabat terbaik loe??! Bodoh itu namanya, fy!" kata iel sedikit lebih keras kali ini.
"gue emang bodoh...." lirih ify lagi dengan suara yang sudah sangat bergetar itu. Badannya sudah kembali bergetar hebat menahan segala gejolak perasaan di hatinya. Mungkin tak lama lagi, butiran bening akan kembali mengalir deras melewati kedua kelopak matanya, tanpa bisa dibendung lagi.
"Argghh!!!"
CESSS!!
Iel menggeram kesal, lalu memukul drum di dekatnya untuk melepaskan rasa frustasinya. Dia tau, dia telah kehabisan kesabaran, dan tak bisa lagi menahan emosinya dalam keinginannya meruntuhkan pendirian kuat ify yang menurutnya ‘cukup bodoh’ itu. Dia tau, emosinya naik itu, bisa meledak setiap saat. Dan ia tak mau, itu sampai meledak kepada ify. Dia ingin keluar dari keadaan ini. Dia ingin semua lepas. Tak lagi menggerogoti hatinya dengan torehan luka yang menyakitkan.
Iel kemudian segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar. Tapi, saat tangannya sudah siap untuk membuka pintu, ia seketika terhenti disana. Indera pendengarannya kembali bisa menangkap isak tangis itu. Iel kembali menghela nafasnya. Mendengar tangis ify, yang mungkin tambah deras, hati iel kembali bergemuruh. Ia kembali terhenyak dan menunduk dalam diam. Jujur, dia memang sangat kesal akan sifat ify yang begitu pasrah itu. Tapi dia juga tak rela hati gadis itu terus dibiarkan tersakiti dan dibiarkan sendiri.
Iel kembali melirik ke arah ify yang kini tampak menunduk, menenggelamkan mukanya dalam kedua telapak tangannya. Iel menghembuskan nafas beratnya lagi dan memejamkan matanya. Berusaha mengusir segala kekesalan dan emosinya. Dalam keterhenyakkannya itu, sebuah perkataan yang pernah didengarnya tiba-tiba melintas dibenaknya. Hati seorang wanita bagai tulang rusuk yang diberikan sang Adam kepada sang Hawa. Maka jangan lawan dia dengan kekerasaan, dengan tekanan emosi. Itu hanya akan membuat hatinya patah, hancur, remuk tak berdaya. Lawan ia dengan kelembutan dan kehangatan, maka ia akan melunak dan membuka hatinya.
Iel kembali melirik ke arah ify. Kini ia jadi tersadar akan satu hal. ‘Gue gak boleh ngelibatin emosi dan ego gue. Ini gak akan pernah bisa selesai. Ini gak akan bisa membuat hati gue lega dan lepas…’ benak iel. Iel kembali menghela nafas panjangnya, sebelum kemudian secara perlahan melangkahkan kakinya, mendekati ify lagi. Sesaat ia memandang dengan ragu kearah gadis itu. ‘Apa gue harus menyisip ke hati loe fy, biar gue bisa ngerti jalan pikiran loe dan loe bisa ngerti maksud hati gue…’ bisik hati iel.
Kemudian dengan perlahan ia kembali duduk di samping ify, dan menatap sendu ify yang masih tertunduk menangis itu. ‘Di hati gue yang terdalam, gue cuma mau liat loe tersenyum lagi fy… Tapi gue harus bagaimana biar loe bisa tersenyum lagi?’ benak iel lagi.
Dan akhirnya, dengan dorongan perasaan tulus dalam hatinya itulah yang kemudian mengarahkan tangannya untuk mengusap pelan punggung gadis itu, mencoba menenangkannya dan memberikan rasa yang menentramkan. Perlahan, tangan iel kemudian merangkul lembut pundak ify, dan membiarkan bahunya menjadi sandaran untuk mencurahkan segala kesedihan dari hati yang tersakiti itu.
“Tian!”
Zahra dan angel memanggil dan terus memacu langkah mereka dengan cepat, mengejar tian yang berjalan sangat cepat ke arah taman sekolah itu. Mereka berdua akhirnya bisa menyamai langkah tian, ketika tian memperlambat langkahnya, sampai akhirnya terhenti di sebuah bangku taman. Ia duduk di bangku taman itu, dan menenggelamkan wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dan menunduk membisu. Zahra dan angel sesaat terdiam, lalu mendekat.
“tian…” tegur Zahra lagi. Tian tak mengeluarkan reaksi apa-apa selain menggumam pelan.
“kata-kata loe di kantin itu apa benar…”
“ya, itu bener kata hati gue sekarang” lirih tian memotong perkataan Zahra, tetap dalam keadaan menunduk. Zahra dan angel kembali saling pandang, lalu kembali menatap tian.
“jadi, loe mau ngasih kesempatan buat ify?”Tanya angel hati-hati. Tian menegakkan tubuhnya, lalu menghela nafasnya sembari membuang pandangannya, menatap hampa ke arah sudut taman yang lain. Kemudian ia tak bereaksi apa-apa. Bibirnya tetap mengantup, tak mengeluarkan satu kata pun.
“tian.. loe harus bisa percaya dengan ify… dia benar-benar gak maksud ngebohongin loe, ngehianatin loe…” kata angel. Lalu angel kembali menceritakan segala hal yang ia ketahui tentang masalah ify, termasuk tentang dirinya yang memajang foto itu.
“jadi… please yan… buka lagi hati loe…” lirih angel di akhir cerita panjangnya. Disisinya Zahra juga menatap tian penuh. Sedangkan tian, masih tetap sama, hanya mendengarkan dalam diam, tanpa bereaksi sedikitpun, mulai sepanjang angel bercerita tadi, hingga sekarang. Dia hanya hanya menunduk, dengan pikiran entah kemana.
“kalian udah temenan dari kecil kan? Harusnya loe tau betul isi hati sahabat loe…” sambung Zahra juga.
“dia butuh kepercayaan loe lagi yan, dia butuh loe yan… sahabatnya yang ia sayangi sedari kecil…” ucap Zahra lagi dengan lembut. Tian hanya melirik Zahra sekilas, lalu kembali menunduk dalam. Entah kenapa, kata-kata sederhana dari Zahra itu, kali ini terasa lebih menohok hatinya.
Tian memejamkan matanya. Bayang-bayang masa lalunya seketika itu juga kembali berkelebat di pikirannya. Wajah ceria yang selalu hadir di hidupnya sedari kecil itu. Ketulusan ify yang dari kecil selalu berusaha jadi sahabat terbaiknya. Janji dia pada dirinya yang ingin melindungi ify. Janji dia yang akan selalu berada di samping ify, sebagai sahabat yang slalu menemani di kala senang dan menghibur dikala sedih. Mengingatkan di kala salah, menerangi dikala ia terkurung di kegelapan, dan menuntunnya ke jalan yang benar dikala tersesat. Dan, satu yang tak akan dia lupa. Janjinya saat dia memutuskan untuk mengikuti jalan pergaulan yang dipilih ify, karena satu alasan, untuk melindunginya dan tetap menjaganya agar ia tetap menjadi sahabatnya yang penuh dengan kehangatan dan ketulusan seorang sahabat terbaik.
Sebenarnya hati kecilnya sadar. Ify memang tak sepenuhnya salah. Dia tak seharusnya menyalahkan dan menghakimi sahabatnya itu. Bahkan memperlakukan sahabatnya itu layaknya seorang yang perlu di adili dan di asingkan dengan kejamnya tanpa memperhatikan apa isi hatinya. Itu bukanlah sikap seorang sahabat yang sejati…
Tian kembali menghela nafas beratnya. Pikirannya sekarang sudah benar-benar terbuka. Dia kini telah tahu pasti apa yang harus ia lakukan sekarang. Dan ia yakin, inilah yang terbaik untuk semuanya. Perlahan tapi pasti, tian kemudian bangkit dari duduknya.
“lho? Mau kemana yan?”Tanya Zahra yang kaget tian tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya.
“kalian bener, gue harus bisa kembali merangkul sekeping belahan jiwa dihidup gue ini” jawab tian sambil segera melangkahkan kakinya. Sedangkan angel dan Zahra, hanya menatap tian yang berlalu cepat itu dengan lengkungan manis di bibir mereka. Mereka tau, mereka telah berhasil untuk membuka hati yang tertutup itu, dan membuatnya membuka tangannya kembali untuk sahabatnya yang pernah tersakiti itu.
0 komentar:
Posting Komentar