Suara-suara binatang malam, hanya itulah yang mengisi kesunyian malam. Dedaunan turut bergoyang pelan seiring angin malam yang berhembus perlahan itu. Tenang tapi terus menyelimuti udara malam, menghembuskan udara dingin yang menusuk keseluruh persedian tulang. Seperti itulah mungkin kondisi yang terbentuk dari dua orang gadis yang juga tampak begitu dingin dengan tembok pembatas yang tlah terbentuk begitu kokoh diantara keduannya. Sebuah tembok penolakan yang didirikan oleh Via diantara dirinya dan Ify.
Setelah menyeret Ify ke luar, ke halaman yang cukup jauh dari ambang pintu rumah Iel, Via melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan Ify, lalu ia berjalan ke depan agak menjauh, memunggungi Ify yang tengah menatapnya dengan sendu.
"beneran loe ga ada apa-apa sama Iel?" Tanya Via to the point dengan nada sedikit sinis. Ify sedikit mendesah pelan. Dugaannya sedari dulu memang benar. Via marah padanya hanya karena hubungannya dengan Iel, bukan karena hal lain.
"ya ampun vi… Gue ga bakal pernah khianatin sahabat gue sendiri... Loe percaya sama gue kan?" jawab Ify lembut. Tiba-tiba Via berbalik dan menatap Ify tajam.
“trus kenapa loe keliatan deket banget sama dia?! Siapa pun yang liat foto loe sama Iel, pasti berpikiran kaya gue fy!” tekan Via keras. Ify hanya menggeleng pelan, dan kembali mencoba meyakinkan Via.
“berapa kali kita harus jelasin sama loe vi… saat itu Iel cuma bantuin bersihin mata gue. Lagipula saat itu gue masih terikat perjanjian sama dia…”
“terus kenapa sampai sekarang loe masih deket sama dia? Bukannya perjanjian loe udah selesai?” potong Via cepat sambil bergerak maju, membuat semakin tampak di penglihatan Ify wajah kemerahan penuh emosi dari Via.
“iya… tapi...” belum sempat Ify menyelesaikan kata-katanya, Via sudah kembali memotong.
“tapi kenapa loe sekarang malah makin nempel sama dia? Pergi pulang sekolah bareng, kemana-mana sering bareng…. Iel sekarang selalu ada disamping loe fy! Dia tanpa ragu selalu ngebelain loe, menghibur loe, ngerangkul loe disaat loe tersudut! Dan sementara loe!” tiba-tiba Via mendorong Ify yang begitu terperangah itu, hingga ia jatuh ke tanah, “Kenapa loe terlihat begitu nyaman dengan perlakuan itu! kenapa fy?! Kenapa kalian harus terus sedekat itu?! KENAPA??!” cecah Via kemudian dengan begitu tajam dan sangat lepas.
Rupanya emosinya benar-benar tlah mencapai puncaknya. Dan dengan emosi tak terkendali itu, Via menumpahkan semua rasa sakitnya. Yak, segalanya yang menganjal dihatinya. Tumpah sudah semua segala hal yang ia pendam dihatinya selama ini. Via benar-benar meluapkan segala perasaan, segala sakit, segala perasaan mengganjal yang menggerogoti hatinya selama ini.
Dadanya terlihat naik-turun, mengikuti debaran jantungnya yang berpacu cepat seiring aliran emosinya yang begitu menggebu itu. Tapi, dari sorot matanya yang tajam menusuk tepat ke mata Ify, bisa terlihat sedikit kilau bening yang mulai menyelimuti kedua bola mata itu, persis seperti sepasang mata yang tengah balik menatap Via itu. Mata Ify. Matanya juga tlah berkabut, tapi menatap penuh kelembutan. Dan dua pasang mata itulah yang kini tampak berbicara, mengisi keheningan malam yang menyelimuti mereka berdua selama beberapa saat itu.
Ify yang terduduk di tanah, tampak hanya bisa terdiam, menatap nanar ke arah Via, terperangah tak percaya mendengar segala yang telah terlontar dari mulut Via itu. Dia tak menyangka seperti itukah pandangan Via melihat kedekatannya dengan Iel. Seburuk itukan penilaian dirinya dimata sahabatnya itu? Dan sebuah luka pun kembali menggores hatinya pedih.
“loe cemburu sama gue vi?” lirih Ify pelan tak lama kemudian memecah keheningan diantara mereka berdua. Matanya terus menatap nanar kearah Via. Mendengar ucapan Ify tadi, Via sedikit mendesah, lalu segera membuang pandangannya dan kembali berbalik memunggungi Ify.
“gue tau loe suka sama Iel… Gue tau persis perasaan loe vi… dan gue gak bakal pernah khianatin itu dan nusuk loe dari belakang…” lanjut Ify lagi.
Via memejamkan matanya sesaat, merasakan deburan-deburan kuat perasaannya yang saling menghempas saling berlawanan. Disatu sisi, ia ingin percaya pada sahabatnya itu. Ify yang dia kenal selama ini bukanlah sosoknya yang penuh kebohongan. Dia sosok sahabat yang penuh ketulusan. Tapi di lain sisi, bisikan egonya lebih kuat menghampirinya, menyuruhnya agar membuka kembali kejadian-kejadian yang menyakiti hatinya, tanda penghianatan dari sahabatnya itu. Foto itu. Keakraban itu. Rangkulan hangat Iel.
“gak usah munafik loe fy! Bahasa tubuh loe itu gak bisa bohongin gue!” tegas Via lagi, tajam. Mendengar bentakan Via itu, Ify hanya bisa kembali terhenyak dan menghela nafasnya sesaat.
“oke… Gue jujur, gue memang ngerasa nyaman di dekat Iel. Perlakuan dia bener-bener bikin hati gue tenang. Apalagi sejak kalian musuhin gue dan gue jadi orang yang sangat rapuh. Dia yang selalu setia nguatin hati gue. Bagaimana mungkin gue gak ngerasa gak nyaman dengan segala perhatian itu? Tapi, satu yang perlu loe tau vi…” Ify terdiam sesaat untuk sekedar sejenak berpikir dan lebih memantabkan hatinya untuk kata-kata yang akan terlontar dari mulutnya itu,
“…buat gue, dia cuma gue anggap sebagai temen baik, sahabat, dan seorang saudara. Hanya sebatas itu vi... gak lebih dan gak akan pernah berubah….” Lanjut Ify tanpa ada nada keraguan sedikitpun dan sedikit penekanan di kalimat terakhirnya. Tapi rupanya itu belum cukup meyakinkan dan membuat Via tergerak hatinya. Tapi Ify belum mau putus asa.
“kalau menurut loe gue terlalu dekat sama Iel, dan itu bikin loe terus memendam dendam sama gue… “ Ify menghela nafasnya sejenak, sesaat membiarkan rasa gundah itu keluar mengikuti hembusan nafasnya “…gue rela ngejauhin Iel demi loe vi, asal loe mau maafin gue…” lanjut Ify lagi.
Via reflek berbalik dan menjumpai sosok Ify yang rupanya masih terduduk di bawah setelah ia dorong tadi. Ify tampak bertahan duduk, bertumpu lutut disana sambil memandangnya sayu. Melihat Via yang telah berbalik, Ify tersenyum tipis ke arah Via.
“kita udah sahabatan cukup lama vi… 3 tahun bukanlah waktu yang singkat buat kita bisa saling mengenal hati dan perasaan kita masing-masing. Dan sekarang apa itu semua harus kita korbankan hanya karena masalah ini?” lirih Ify.
“Loe, sila, tian, udah gue anggap kaya saudara gue sendiri. Kalau suami, istri, pacar, mungkin ada kata mantan. Tapi buat gue, gak ada kata mantan sahabat atau mantan saudara, vi… Buat gue, selamanya kalian sahabat dan saudara yang dianugrahkan Tuhan buat gue. Dan gue udah janji sama diri gue sendiri, gue bakal jaga itu sampai kapan pun...” kata Ify lagi dengan ketulusan yang benar-benar terpancar darinya. Melihat Via yang masih saja menatapnya dengan wajah dinginnya itu, Ify hanya bisa menunduk sedih.
“Via, gue udah gak tau lagi harus bagaimana sama loe… apa yang harus gue lakuin biar loe mau buka hati loe lagi vi?” lirih Ify lagi dibalik wajah tertunduknya itu.
Tak ada sahutan dari Via. Hanya ada keheningan yang tercipta mengelilingi mereka berdua. Tapi, tak lama kemudian, Ify merasa ada pergerakan maju dari depan dan melihat Via menghampiri dirinya dan kembali mencengkram pergelangan Ify agar Ify bangkit dari posisi berlututnya. Dan kini mereka telah berdiri begitu dekat, sesaat terdiam dalam posisi saling berhadapan itu, menatap lurus mata orang dihadapan mereka masing-masing.
“yakin loe mau ngelakuin apapun buat gue? jangan bodoh fy!” lirih Via pelan tapi tajam. Tangan Via yang terus mencengkram kuat pergelangan tangan Ify, dan menimbulkan rasa sakit itu nyatanya tak membuat Ify tak sanggup menatap balik sorot tajam mata Via, walau dari kedua bola matanya itu terus dialiri air mata sejak tadi.
“gue mungkin emang bodoh, tapi kalau itu bisa balikin persahabatan kita seperti dulu lagi, gue rela vi. Gue cuma pengen loe ijinin gue lagi untuk tetap menjaga janji hati gue ini vi… persahabatan kita…” lirih Ify. Via masih saja menatap tajam Ify. Tangan kanannya yang bebas, kini perlahan bergerak naik, mencapai kepala Ify dan menggenggam rambut Ify. Ify memejamkan matanya. Dia sudah pasrah jika Via ingin menamparnya, menjambaknya, atau berbuat apapun pada dirinya.
Tapi kemudian, Ify malah merasakan sebuah sapuan halus telah menyapu air mata yang membekas di pipinya, dan setelah itu ia merasakan tubuhnya telah ditarik kedepan dan kemudian berada dalam sebuah pelukan kuat. Ify perlahan membuka matanya dan tlah menemukan Via telah memeluknya erat. Dari pundaknya yang bergetar, dan suara isak di balik punggungnya, Ify bisa tau Via memeluknya sambil menangis tersedu-sedu.
"Via..." lirih Ify sambil perlahan mengusap punggung Via.
“mungkin loe emang bodoh, rela ngobanin semuanya hanya demi pertahanin persahabatan kita, tapi gue bakal jadi orang yang lebih bodoh jika gue sia-siain ketulusan loe fy hanya demi perasaan cemburu gue… loe gak perlu sampai ngorbanin banyak hal, atau ngerendahin diri berlutut kayak tadi fy, hanya karena kebodohan gue…” bisik Via dalam pelukannya. Ify tampak tercengang mendengar itu semua, apa sahabanya itu telah membukakan pintu hatinya.
“maafin gue udah nyakitin loe fy..." bisik Via lagi dalam isak tangisnya. Ify tak menjawab dan hanya tersenyum bahagia, kemudian balas memeluk Via lebih erat. Dia sudah tak mampu lagi berkata apa-apa. Tapi pelukan erat dan tangisan itu sudah cukup menggambarkan perasaan keduanya.
Lewat hangatnya pelukan keduanya, yang kemudian meresap hangat melewati kulit dan mengalir di setiap aliran nadi yang mengalir ditubuh mereka, dan akhirnya bermuara di hati masing-masing. Begitulah kehangatan sebuah persahabatan itu kembali menyelimuti diri mereka kini. Terhapus sudah kini segala kebencian dan rasa sakit itu, keluar bersama tangisan bahagia yang keluar dari pelupuk mata mereka, dan membersihkan hati mereka, mengembalikan kesuciannya bagaikan sebening air mata yang jatuh karena rasa sayang mereka pada jalinan persahabatan indah itu.
"gue kangen sama loe fy..." ucap Via sambil melepas pelukannya. Tangannya kemudian pelahan mengusap lembut pipi Ify yang masih dilinangi airmata itu. Ify tersenyum, menatap hangat sahabatnya itu lalu kemudian balas mengusap pelan bulir bening yang juga masih tersisa di wajah sahabatnya itu juga.
"gue lebih lebih dan lebiihhh kangen sama loe Via..." balas Ify. Lalu mereka berdua tertawa bersama-sama dan kembali berpelukkan.
Tak ada lagi tangis, hanya senyum penuh rasa syukur di hati mereka kini. Dan dalam pelukan hangatnya itu, Ify sesaat mendongak memandang langit malam, lalu diam-diam Ify telah menyelipkan sebuah doa dan harapan dalam hatinya. ‘Terimakasih ya Allah, Engkau tlah mengembalikan secercah cahaya dalam hidup ini… Semoga senyum ini tak akan lagi pernah pudar, tak kan lagi hati ini kembali tergores, hingga menghancurkan persahabatan kami. Bantu hambaMu ini ya Allah untuk menjaga janji hati ini…’ Dan malam yang indah dipenuhi kilau bintang-bintang itu, tampak semakin indah dimatanya dengan seorang sahabat yang ada dipelukannya itu. Sahabat salah satu cahaya penerang hatinya, yang kini tlah kembali bersinar terang untuk hidupnya.
"yehheiii... Cuitt.. Cuittt... Baikan ni yee..." terdengar teriakan dari belakang Iel, Riko dan Sion yang bersorak ria sambil bertepuk tangan bahagia. Ify dan Via sontak memandang ke arah mereka bertiga dan tersenyum simpul.
“thx ya buat kalian bertiga…” ucap Via pada Iel, Riko dan Sion saat mereka berjalan menghampiri Via dan Ify. Ketiganya hanya mengangguk dan balas tersenyum.
“ciee.. balikan ni yee… PJ.. PJ...”
“PJ pale loe yon! Emang kita jadian apa?” sahut Via.
“iya, jadian kan? Jadi sahabat lagi, hahaha…” ngeles Sion, dan disambut gelak tawa semuanya.
“udah.. udah… biar gue yang traktir makan semuanya malam ini!” celetuk Iel kemudian.
“wah, yang bener yel? Dimana? Ayo buruan berangkat!” sahut Sion semangat mendengar kata di traktir.
“ya, makan gratis, dirumah gue tentunya! Ayo semua masuk kedalem. Gue makan sendirian nih malam ini, nyokap bokap lagi ada acara diluar, jadi makanan bi asri bakal mubazir nih kalo gak ada yang makanin! Hehe… Ayo!” sahut Iel sambil tertawa lebar.
“yahh.. Iel mah, pelit lu!” sirik Sion.
“ya udah sana lo, makan diluar sendirian” sinis Iel ke Sion, “yuk fy, Riko, Via, ke dalem, tinggalin aja tuh anak maruk” ajak Iel kepada yang lain untuk segera masuk ke dalam rumah. Yang lainpun segera mengikuti Iel dan meninggalkan Sion yang masih manyun karena di perlakukan Iel begitu. Tapi akhirnya dia berlari juga nyusul masuk kedalam rumah saat melihat Iel telah masuk dan terlihat mau menutup pintu.
“Iel tungguu…!! Gue mau ikutan makan jugaaa….”
---------------------misst3ri--------------------
“parah tuh Sion, dibilangin sih, jangan makan sambel banyak-banyak. Sakit perut kan tuh jadinya. haha…” omel Iel. Saat itu mereka baru selesai makan dan kemudian duduk-duduk di ruang tamu rumah Iel. Minus Sion tentunya yang rupanya kebanyakan makan sambel, sedang mojok di toilet sekarang.
Teng… teng… teng….. jam besar yang ada di rumah Iel berbunyi 8 kali menandakan jam telah menunjukkan pukul 8 malam.
“eh, udah jam delapan ya? Ya ampun… gue harus segera balik nih… ko pulang yuk! Loe kan udah janji nganter sama kak rio pulangin gue sebelum jam 9…” tiba-tiba Via tersadar setelah mendengar denting jam besar yang ada dirumah Iel itu.
“oiya ya vi…” Riko juga baru teringat janjinya dengan rio untuk mengantar Via pulang jangan kemaleman. “eh, kalo Sion siapa yang nganter pulang?” kata Riko lagi, inget dengan Sion yang juga minta dianter pulang tadi.
“loe juga lah ko sekalian… siapa lagi? Tu anak mana mau kalo kita suruh pulang sendiri. Mana pak asdi gak ada lagi, lagi nyupirin bokap gue…” sahut Iel. Riko jadi garuk-garuk kepala sendiri. ‘masa gue juga? jadi tukang ojek dong gue malam ini… waduuh…’ keluh Riko dalam hatinya. Tapi tiba-tiba sebuah ide melejit masuk dalam pikirannya.
“hmm…. yel, loe yang nganter Via ya…” kata Riko tiba-tiba.
“hah? Kok gue?” Iel sontak kaget diminta Riko tiba-tiba begitu.
“iya.. ayolah… masa loe tega nyiksa gue. Abis ini kan gue kudu nganter tu kunyuk satu. Masa gue harus bolak-balik? Rumah Via sama Sion kan bertentangan alur. Cape gue… Loe pake motor gue deh, gue tungguin loe di sini, sekalian nungguin Sion…” pinta Riko lagi.
“tapi kan gue mau nganter Ify…” elak Iel.
“gue bisa pulang sendiri kok yel.. loe anter Via aja, kasian juga Riko ntar muter-muter” timpal Ify.
“nah tuh… Ify ntar biar gue yang nganter, masih 1 komplek gini juga rumahnya….” Sahut Riko juga. Iel sedikit mendesah. Bukan hanya cuma karena bikin ribet dia, Iel jadi merasa agak keberatan. Tapi ya, hatinya ngerasa gak nyaman aja kalo harus nganter Via. Mungkin karena dia merasa masih sangat canggung aja dengan Via.
“udah, anterin Via ya yel… kasian kan Riko…” pinta Ify lagi. Iel melirik Ify sesaat, lalu kembali menghembuskan nafasnya, berat.
“iya, ayo dah. Mana kuncinya?” kata Iel akhirnya menyetujui permintaan Riko. Riko pun tersenyum dan segera melemparkan kunci motornya pada Iel.
“gue ambil jaket dulu ya… kalian tungguin gue di luar” kata Iel sambil bergegas bangkit dari duduknya. Riko, Via dan Ify pun juga bangkit dan menuju halaman luar.
“ko! Maksud loe apaan sih nyuruh Iel nganter gue?” bisik Via diam-diam ke Riko saat berjalan menuju luar. Riko hanya melirik Via dan tersenyum jail.
“ya biar gue gak cape lah… lagian jangan pura-pura gak seneng deh loe…” bisik Riko. Wajah Via seketika agak tersipu malu. Riko hanya tersenyum simpul melihat Via yang tiba-tiba jadi salting itu. Tak lama menunggu, Iel sudah turun dan segera mengambil motor Riko. Via pun mengikuti Iel menaiki motor dengan sedikit canggung.
“gue pulang dulu ya fy… sev, eh Riko gue pulang duluan….” Pamit Via pada Ify dan Riko.
“ati-ati ya vi… kalo Iel ngebut, getok aja kepalanya vi, hehe…” sahut Ify
“eh, enak aja. Awas loe vi kalo berani getok kepala gue” sahut Iel tak terima, “ya udah, kita berangkat. Eh, fy jangan pulang duluan. Gue udah janji nganter loe pulang sama nyokap loe!” kata Iel.
“udah sana… sana… berangkat buruan…” sahut Ify santai.
“assalamu’alaikum….”
“waalaikum salam…”
Dalam hitungan detik, motor matic hitam milik Riko itu telah melaju, menjauh keluar dari halaman rumah Iel. Ify dan Riko memandang motor yang membawa Iel dan Via pergi itu sampai cahaya lampu itu menghilang di balik tikungan di ujung jalan itu. Kemudian Ify segera melangkah.
“eh, mau kemana loe fy? Mau pulang?” sontak Riko bertanya. Ify hanya menoleh ke arah Riko dan mengangguk pelan.
“ya udah, gue anter deh. Gak baik cewe jalan sendirian malem-malem…” Sahut Riko lalu segera menyusul langkah Ify yang sudah mulai kembali melangkah. Dan kemudian, mereka berdua tlah berjalan beriringan, menuju rumah Ify yang berada di blok sebelah.
“ko…” tegur Ify di tengah perjalanan mereka, memecah kebisuan diantara mereka sepanjang perjalanan itu.
“hmm…” gumam Riko menyahuti panggilan Ify.
"kok loe bisa bawa Via kesini?" Tanya Ify sambil terus berjalan beriringan dengan Riko menuju rumahnya itu. Riko sesaat melirik ke arah Ify, kemudian kembali mengarahkan pandangannya lurus kedepan.
“kebetulan nemu dijalan aja kok, langsung gue culik” sahut Riko asal. Tapi sontak langkah Riko terhenti karena tangannya telah ditarik. Riko menoleh dan menjumpai Ify menatapnya lurus sembari menahan pergelangan tangannya.
“gue serius ko…” lirih Ify. Riko sesaat terdiam, menepis tangan Ify lalu kembali melanjutkan langkahnya. Ify terpaksa segera melangkahkan kakinya juga untuk menyusul Riko.
“Riko, jawab dong…” kata Ify lagi setelah bisa mensejajari langkah Riko.
"rahasia lah, emang cuman kalian yang bisa main rahasia-rahasiaan?" sahut Riko sambil tersenyum tipis penuh misteri. Mendengar jawaban yang tak memuaskan itu, Ify hanya bisa menghela nafasnya. Dan mereka berdua kembali pada kebisuan.
“Riko…” tegur Ify lagi tak lama kemudian. Riko lagi-lagi hanya menyahuti dengan gumaman.
“hmm… gue nangkep beberapa kali Via manggil loe ‘sev’. Apa loe…. severusnya Via ya?” Tanya Ify kini lebih hati-hati. Kali ini langkah Riko yang terhenti. Ify ikut menghentikan langkahnya.
“jadi bener loe severus, temen chat yang biasa Via curhatin?” tebak Ify lagi saat melihat ekspresi yang diberikan Riko itu. Riko menatap Ify dengan wajah datarnya, kemudian sesaat menghelakan nafasnya.
“kalau pun bener, gak penting juga kan buat loe? Yang penting loe udah baikan sama Via. Ya kan?” ucap Riko datar. Ify hanya terdiam mendengar ucapan Riko itu.
“ya udah, gue balik ya… rumah loe yang di depan itu kan?” kata Riko lagi sambil menunjuk sebuah rumah yang tak jauh dari sana. Ya, tak terasa mereka memang telah sampai di dekat rumah Ify.
“gue pulang dulu ya…. Dahh Ify…” Kata Riko lagi sambil tersenyum dan menepuk pundak Ify pelan. Kemudian ia segera berbalik, dan kembali menuju rumah Iel, meninggalkan Ify yang masih berdiri terpaku menatap punggungnya yang semakin menjauh itu.
-----------------misst3ri-------------------
Di sebuah jalan, dibawah sorot lampu-lampu jalanan yang bersinar temaram itu, sebuah motor menyusuri jalan itu membawa 2 orang muda-mudi yang menumpanginya. Motor itu berjalan cukup pelan, sehingga mungkin sudah puluhan kali dibalap kendaraan-kendaraan lain yang mendahului mereka.
“yel… pelan banget loe bawa motornya. Masa dari tadi gak nyampe-nyampe juga?” kata Via sambil nepuk punggung Iel pelan.
“udah deh loe gak usah banyak protes. Itu abis belokan depan juga udah nyampe komplek loe. Sabar aja napa? Lagian ntar kalo gue ngebut, loe lagi cari-cari kesempatan buat meluk gue” sahut Iel cuek.
“pede loe! Loe kali yang sengaja dilamban-lambanin bawa motornya biar bisa lama bonceng gue!” sahut Via jutek walau sebenarnya hatinya mengharapkan itu. Mendengar itu, Iel sontak menolehkan wajahnya kebelakang sesaat.
“apa loe bilang?! Gue sengaja? Bilang sekali lagi, gue suruh turun disini loe!” ancem Iel, kemudian kembali memusatkan perhatiannya pada jalanan di depannya. Via yang diancem Iel cuma bisa diem. Selain takut di turunin beneran, hatinya juga sedang berdegup kencang gara-gara tadi Iel tiba-tiba menolehkan wajahnya kebelakang, membuat wajah mereka sempat begitu dekat. Dan di sisa perjalanan itu, akhirnya Via hanya bisa diam bersabar, sambil menikmati boncengan perdananya dengan sang pujaan hati. Tak lama, akhirnya mereka sampai juga di depan rumah Via. Via pun segera menuruni motor itu.
“thx ya yel…” ucap Via sambil tersenyum simpul pada Iel. Iel mengangguk pelan.
“sama-sama… gue pulang dulu ya vi” kata Iel sembari melemparkan senyuman manis ke arah Via. Lalu segera menjalankan motornya. Sementara Via, sesaat ia hanya terpaku melihat kepergian Iel itu. Seulas senyum manis yang sempat Iel berikan padanya sebelum ia pergi tadi, entah kenapa seakan-akan menyihir Via. Perlahan senyum Via merekah malu-malu. Sepertinya hatinya telah mulai ditumbuhi bunga-bunga yang bermekaran indah bak sebuah taman bunga. Dan senyum Iel itulah mentarinya yang membuat bunga-bunga itu semakin tumbuh subur dihatinya. Tapi tiba-tiba sebuah teriakan membuyarkan lamunannya.
“woy!! ngapain loe senyam-senyum di depan pager gitu? Buruan masuk!” teriak orang itu. Via menoleh, ada ka rio berdiri di depan pintu menunggunya masuk. Via kemudian segera melangkah masuk.
“eh, mana coklat gue?” cegat rio saat Via melaluinya.
“ntar besok… Via beliin 3 deh sekalian!" sahut Via ringan sambil berlalu tanpa mempedulikan kakaknya itu. Sementara itu rio hanya memandang adiknya itu dengan agak aneh, heran dengan tingkah adiknya yang tiba-tiba berubah itu.
----------------misst3ri------------------
Via bergegas menuju kamarnya, kemudian segera mengunci pintu kamarnya itu. Via sesaat menyandarkan tubuhnya pada daun pintu kamarnya itu. Memori perjalanan bersama Iel tadi kembali terputar indah di benaknya. Lagi-lagi senyumnya merekah indah lagi. Perlahan ia melangkah menuju tempat tidurnya, lalu segera merogoh tasnya dan mengeluarkan HPnya. Jemari-jemari tangannya dengan ringan segera menekan beberapa tombol disana, lalu ia mendekatkan HPnya pada telinganya dan menunggu panggilannya tersambung dengan sedikit tak sabar. Setelah terdengar suara sahutan dari seberang sana, tanpa menunggu lama, Via segera mencurahkan isi hatinya.
“Ify…!! tolong… hati gue nyesek banget…”
“hah? kenapa loe vi?”
“iya fy, nyesek. Gara-gara liat senyum Iel yang bak mentari, rasanya hati gue di penuhin bunga-bunga yang bermekaran. Dan saking tumbuh suburnya, sampai menuhin hati gue sekarang…”
“hahaha… lebay loe. Gue kirain apaan… jual aja bunganya kalo udah penuh, hehe…” sahut Ify sedikit bercanda.
“hehe… ada-ada aja loe fy”
“trus tadi gimana sama Iel? Gak dimacem-macemin sama Iel kan loe? Hehe…”
“gak donk… waduh fy, asal loe tau…..” Via setelah itu mencerocos panjang lebar menceritakan perjalanan beberapa kilo yang dianggep Via perjalanan paling bersejarah dalam hidupnya itu.
“… Huahhh… Entah mimpi apa gue semalam. Tapi malam ini tuh bener-bener malam terindah di hidup gue!” ucap Via mengakhiri cerita panjang lebarnya itu.
“haha… malam ini juga jadi malam terindah gue, karena Tuhan udah balikin sahabat gue kayak dulu lagi… thx ya vi, loe udah mau maafin gue….”
Mendengar sahutan Ify itu, Via jadi tersenyum. Rasa bersalah dan malu seperti menghampirinya lagi.
“nggak fy, gue yang harusnya berterimakasih. Loe bener-bener sahabat terbaik gue… Gue emang salah udah nuduh loe yang enggak-enggak. Sori ya fy…”
“udahlah Via… itu semua kan udah berlalu. Forget it. Oke?”
“iya fy… gue janji gak bakal cemburu buta kaya dulu lagi, hehe…” sahut Via.
“haha… gue ngerti kok. Dan mungkin… hmmm…. biar loe gak cemburu lagi… kayaknya gue mulai saat ini bakal jaga jarak sama Iel vi… biar hati loe gak sakit lagi gara-gara kedekatan kita…”
Via agak tersentak mendengar ucapan Ify itu. ‘apa dia pantas membiarkan sahabatnya itu lebih banyak lagi berkorban untuknya?’ tanpa sadar, Via penggeleng pelan.
“gak fy, gak... Gak adil rasanya kalo gue ngelarang loe buat temenan. Itu hak loe. Gue juga gak mau loe jadi merasa terbatasi dan terbebani sama gue..." ucap via, "Tapi, asal jangan terlalu mesra aja ya fy, hehe….” lanjutnya lagi dengan nada sedikit bercanda.
“idihh.. siapa yang mesra coba, yang ada dia tuh suka jitakin gue tau gak, haha…”
“ada-ada aja loe fy. Lagian, kalo loe ngejauhin Iel, ntar siapa yang bantuin ngedeketin gue sama Iel?”
“jadi makcomblang dong gue? haha….”
“Hehe… yaa sepertinya begitu, hehe… udah dulu ya fy, udah ngantuk gue.. Bye Ify…”
“oh iya Via, met tidur yaa…”
Klek. Via memutus sambungan telepon itu, dan segera menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya yang empuk. Sesaat ia tertengun memandang langit-langit kamar. Senyum simpul kembali menghiasi bibirnya seiring desiran rasa bahagia yang begitu membuncah dihatinya itu. Dan entah kenapa, ia merasa sangat yakin kalau malam ini ia akan bermimpi sangat indah malam itu. Seindah kenangannya yang telah terangkai begitu indah pada hari itu.
--------------------misst3ri-------------------
Di seberang sana, di satu sudut kota lainnya, tampak seorang gadis yang tengah berdiri dibalkon kamarnya itu juga telah mengakhiri sambungan teleponnya. Sesaat ia termangu menatap bintang, memikirkan segala kejadian hari itu dan pembicaraan dengan sahabatnya tadi. Memorinya memutar kembali segala pembicaraannya dengan Sivia barusan. Entahlah, pembicaraan tadi sebenarnya membuatnya sedikit bingung. Bingung untuk menghadapi keadaan yang terbentuk dihadapannya sekarang.
Tapi, asal jangan terlalu mesra aja ya fy, hehe…
Walau itu sebuah kata yang cukup sederhana dan dilontarkan dengan nada bercanda, tapi itu cukup untuk menggelitik hati Ify. Memorinya memutar lebih jauh ke belakang. Pembicaraannya penuh emosi bersama Sivia di halaman Iel sebelumnya..
Iel sekarang selalu ada disamping loe fy! Dia tanpa ragu selalu ngebelain loe, menghibur loe, ngerangkul loe disaat loe tersudut! Dan loe! Kenapa loe terlihat begitu nyaman dengan perlakuan itu! kenapa fy?! Kenapa kalian harus terus sedekat itu?!
Ify kembali memejamkan matanya. Dia sendiri merasa bingung dengan keadaan yang ada. Dengan segala yang terjadi. Dengan segala perasaannya. Dia tau, dia akhir-akhir ini memang dekat dengan Iel. Tapi…. Sedekat itukah mereka sampai membuat Via begitu cemburu padanya? Sedekat itukan dimata orang-orang? Baginya, apa yang ia berikan pada Gabriel, sama dengan sahabat-sahabatnya yang lain. Dia hanya melakukan apa yang menurut hatinya terbaik. Mungkin itu juga yang dilakukan Iel.
‘Arrggghh… kenapa gue jadi kepikiran sampe segininya sih?’ Benak Ify sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ify menghela nafas beratnya sesaat. Perlahan ia membuka matanya. Saat matanya jatuh ke bawah, ke jalanan di depan rumahnya itu, sesaat ia terdiam.
‘kenapa gue kaya liat sosok Iel ya?’ Ify sesaat tadi seperti melihat bayangan Iel sesaat lewat kemudian menghilang. ‘parah deh ini, gara-gara kepikiran Iel, kenapa sampe kebayang nyata banget gini sih?’ runtuk Ify lagi dalam hatinya sambil ngucek-ngucek matanya. Tapi…
Tuk
“aduh!” tiba-tiba ada sebuah bentar seperti kerikil kecil yang menimpa kepalanya.
“hei! Ngapain loe cengo’ liatin gue kayak gitu! Turun sini!” teriak seseorang dari bawah, diluar halaman rumah Ify.
Itu Iel. Ternyata yang dilihat Ify dibawah itu beneran Iel. Ify sedikit bengong, lalu tersenyum malu sendiri. ‘beneran Iel ternyata. Ngaconya dirimu fy, sampe gak bisa bedain hayalan sama yang nyata…’ omel Ify pada dirinya sendiri. Kemudian dia segera turun untuk menjumpai Iel di bawah. Sesampainya di bawah, Ify membukakan pagar untuk Iel.
“kenapa loe tadi pulang duluan? Gue bilang kan ntar gue yang nganterin. Gue kan udah janji sama nyokap loe…” cerocos Iel saat Ify baru membukakan pagar untuknya.
“udah deh yel… nyokap gue juga gak masalah kan loe gak nganter gue?” sahut Ify agak kesal karena tak senang dengan sikap Iel yang terlalu mempermasalahkan hal kecil seperti itu. Iel yang sadar Ify tampak tak senang itu, akhirnya memilih untuk diam dan mengikuti Ify yang telah duduk di lantai teras rumah itu. Iel pun duduk disamping Ify, ikut berselonjor santai sambil menatap hamparan langit malam yang cukup cerah itu.
“tadi di halaman, loe sama Via ngobrolin apa aja?” Tanya Iel membuka pembicaraan diantara mereka.
“Via cuma mau tau tentang hubungan kita berdua…” sahut Ify ringan. Matanya memandang datar ke depan, menatap bunga-bunga yang bergoyang pelan dihembus angin malam. Sementara itu, disampingnya, Iel terpaku menatap Ify. Entah kenapa mendengar Ify mengucapkan kata ‘hubungan kita berdua’, jantung Iel seperti berdegup lebih kencang mendengar itu.
“terus loe jawab apa?” Tanya Iel hati-hati sambil terus menatap Ify penuh perhatian. Ify sesaat terdiam, lalu menatap Iel lurus.
“yel, gue boleh nanya sesuatu ke loe?” alih-alih menjawab pertanyaan Iel, Ify malah balik melontarkan sebuah pertanyaan pada Iel. Ya, sebuah pertanyaan yang cukup mengelitik hatinya sejak pembicaraannya dengan Via sebelumnya tadi. Dan pertanyaan yang terus mengganggunya itu harus segera ia dapatkan kejelasannya.
Iel sesaat mengerutkan keningnya, bingung. Tapi akhirnya ia mengangguk juga. Ify lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah depan sambil menarik nafas sesaat.
“gue banyak hutang budi sama loe yel, karena loe selalu ngibur gue akhir-akhir ini” ucap Ify. Iel tersenyum senang mendengar itu. “dan gue pikir awalnya perhatian yang loe kasih emang wajar, karena mungkin loe emang tipe orang yang seperti itu… tapi loe tau? ternyata orang lain, kayak Via, gak beranggepan sama yel…” lanjut Ify. Mendengar itu, senyum Iel sedikit sirna dan keningnya kembali mengerut.
“beranggepan lain gimana? Kita temen kan? Jadi sudah sepantesnya gue seperti itu…” sahut Iel
Ify menggeleng pelan, lalu kembali menoleh dan menatap Iel lurus.
“Tian yang sudah sahabatan lama sama gue aja, gue rasa gak seperhatian itu. Jadi… kenapa loe bersikap sangat baik sama gue?” Tanya Ify. Iel terdiam mendengar ucapan Ify itu.
“gue…” Iel kembali terdiam. Dia sendiri juga bingung dengan dirinya. Yang ia lakukan selama ini, hanyalah mengikuti apa kata hatinya. Ia melakukan apa yang dirasakan hatinya benar dan nyaman. Hanya itu.
“kalo loe kenapa? kenapa loe juga baik banget sama gue? Walau dulu loe terikat perjanjian sama gue, tapi perhatian loe juga gak bisa dibilang seadanya… Loe juga sangat tulus dan perhatian sama gue. Loe juga udah banyak berkorban sama gue… itu kenapa?” Iel tiba-tiba jadi ikut blak-blakan bertanya seperti itu. Rupanya gara-gara bingung dengan jawabannya sendiri, ia jadi balas melontarkan pertanyaan balik itu kepada Ify. Dan Ify agak tersontak kaget mendengarnya.
“emang gue gitu ya?” Tanya Ify dengan polosnya.
“iyee… gak nyadar loe? Jadi guru gue, ngerawat gue pas sakit, nemenin gue sampe jatoh dari atap. Masih nyangkal?” kata Iel sambil agak mencibir Ify. Ify masih terdiam menatap datar Iel.
“mungkin…. Yaa… karena gue udah nganggep loe sahabat” sahut Ify agak gugup karena ia terus dipandangi Iel dengan sorot mata tajamnya itu.
“cuma itu?” kata Iel lagi. Dari sorot mata dan nada bicaranya, Iel bisa merasakan kalau masih ada yang disembunyikan Ify darinya. Ify sesaat terdiam kembali ditatap Iel dengan sorot matanya yang tajam itu. Tapi kemudian ia tersadar, dan segera membuang pandangannya. Mulutnya tetap terdiam, menciptakan keheningan diantara mereka berdua. Tapi Iel terus menatap Ify, menunggu perkataan yang akan terlontar dari mulut gadis di sampingnya itu.
“sebenarnya… loe selalu bikin gue inget sama seseorang…” lirih Ify perlahan pada akhirnya.
“hah?! Bentar.. bentar… seinget gue, loe udah beberapa kali nyebut gue ngingetin loe sama seseorang. Sama siapa sih sebenarnya? Jangan bilang muka gue pasaran ya fy…” sahut Iel. Ify melirik kearah Iel, lalu tersenyum simpul. Lalu ia melempar pandangannya jauh kedepan, sama seperti ia melemparkan pikirannya pada seseorang yang nun jauh disana, tapi selalu ia kenang.
“hmm… loe tau kan, gue deket banget sama kakak gue? dan gue udah 2 tahun ini gak ketemu dia karena study dia di luar negeri. Gue sering kangen sama dia yel…” sahut Ify lagi. Kini ia mendongakkan wajahnya, menatap kerlip bintang yang mungkin juga bisa dilihat dengan indah dari sisi bumi lainnya itu. Hatinya diam-diam menyelipkan rasa rindu itu pada bintang yang berkelip indah itu, berharap bintang itu menyampaikan rindunya pada sosok yang dirindukannya di seberang sana.
“dan… sejak gue kenal loe, gue deket sama loe… mungkin gue mulai bisa ngerasain kehangatan kakak gue lagi… ya, itu gue temuin di diri loe… loe selalu bikin gue inget sama kakak gue” ucap Ify lagi. Lalu Ify menoleh ke arah Iel dan tersenyum tipis. “Loe mirip dia yel… itu yang bikin gue udah anggep loe kayak kakak gue sendiri yel…”
Iel tampak sedikit terhenyak mendengar pengakuaan Ify itu. ‘jadi gue selama ini dianggep pengganti kakaknya sama Ify?’ Tiba-tiba dia merasakan perasaan asing di hatinya. Dirinya tak tau, apa itu perasaan senang, bahagia, kecewa, sedih, atau entahlah. Iel sendiri tak tau bagaimana bentuk perasaannya kini sekarang. Perasaannya saat ini terlalu abstrak untuk digambarkan.
“sekarang, gue yang nanya, loe kenapa sebegitu baik sama gue? jangan bilang loe inget kakak loe juga ya, loe kan gak punya kakak yel, hehe….” Perkataan Ify membuyarkan lamunan Iel.
“hah? hmm… kenapa ya?” sahut Iel sambil garuk-garuk kepalanya yang sebenarnya tak gatal itu. Pikirannya kembali mengingat ucapan-ucapan Ify barusan. ‘loe kayak kakak gue sendiri yel…’ Angan-angan Iel sesaat melayang kembali pada masa-masa perjanjian itu, dimana dirinya mulai dekat dan mengenal sosok Ify lebih jauh. Dan sejak itu mereka berdua telah melakukan banyak hal yang membuat mereka merasa nyaman satu dan lainnya. Tanpa sadar, bibirnya tlah terukir manis sebuah lengkung senyuman dikala ia teringat akan hal itu.
“mungkin loe benar fy…” Iel akhirnya bersuara kembali. “perlakuan loe yang nganggep gue kayak saudara, mungkin tanpa sadar bikin gue ngerasain hal yang sama. Gue selama ini jadi pengen ngelindungin loe, gue gak mau loe sedih, gue gak mau loe tersakiti. Mungkin itu semua karena bawah alam sadar gue juga udah nganggep loe kaya saudara gue. Sosok saudara yang gue kangenin dan saudara yang belum pernah gue rasakan”
“loe tau betul kan, gue anak tunggal. Dan sebagai anak tunggal dengan orangtua yang sering keluar negeri, jelas bikin gue sering ngerasa kesepian… Tapi, semenjak perjanjian kita itu, dan loe jadi asisten gue dan sering main ke rumah, gue bener-bener jadi ngerasa ga sendiran lagi…” Iel berhenti sesaat, lalu melirik kesampingnya dan menemukan sorot mata yang tengah menatapnya lurus. Ia melontarkan senyumnya.
“mungkin gitu kali ya rasanya punya saudara… Loe kadang kaya jadi adek gue yang lucu, yang bisa gue kerjain dan becandain buat menghibur gue. Kadang gue ngerasa loe kaya jadi kaka gue, yang bantuin gue belajar, yang rawat gue waktu gue sakit, yang ingetin gue kalau gue salah, yang nguatin gue saat sedih… Bahkan loe yang nyadarin mama papa gua apa yang sebenarnya gue harapkan dari mereka…” kata Iel panjang lebar. Iel kembali tersenyum lebar pada Ify, lalu ia mengubah posisi duduknya untuk menghadap Ify.
“kehangatan loe bikin hati gue bisa ngerasain kehangatan sebuah persaudaraan yang belum pernah gue rasakan selama ini fy... thx ya fy….” Ucap Iel sambil menatap hangat, tepat di tengan kedua bola mata yang juga menatapnya lembut itu.
“gue juga yel, thx buat segalanya” balas Ify.
Beberapa saat mereka tampak terdiam, saling menatap hangat, seolah-olah secara tak sadar ingin menyampaikan kata hati yang tak bisa diartikan oleh akal pikiran dan tak dapat tersampaikan oleh lisan mereka. Tapi tak lama kemudian, keduanya tersadar dan bergegas membuang pandangannya masing-masing dan kemudian kembali membisu dalam kecanggungan yang tampaknya mulai terbentuk disana. Mereka berdua terdiam, terkurung dengan pikiran masing-masing, sembari mencoba membenahi perasaan yang mulai berkecamuk di hati.
“btw, tadi gimana nganterin Via nya?” Tanya Ify memecah keheningan diantara mereka.
“gimana apaanya? Gak ilang judesnya sama gue!” sahut Iel agak asal. Mendengar sahutan Iel itu, Ify sontak tertawa kecil.
“hehe… tapi Via itu sebenarnya baik lho” ucap Ify lagi.
“iyee… sama loe baik, sama gue kaga!”
“coba aja loe ntar deket dan temenan sama dia, baik banget kok orangnya… percaya deh sama gue... gue jamin 100%” kata Ify lagi. Iel menatap Ify dengan tatapan aneh.
“loe kenapa kaya orang promosi sih? Emang gue mau beli Via?” sahut Iel. Ify jadi terdiam. Dia sebenarnya memang sedang dalam usaha memperbaiki citra Via dimata Iel.
“gak ada salahnya kan? Kita semua udah sepakat buat damai mulai sekarang kan? Gue cuma pengen semuanya bisa saling mandang positif satu sama lain. Gue gak mau Via tetep musuhan sama kalian semua…” sahut Ify beralasan. Iel mencibir Ify sesaat.
“sok mikirin orang loe fy! Dasar gila sahabat loe! Segitu loyalnya ya loe sama temen…” sahut Iel. Ify kembali tertawa renyah. Lalu ia memandang Iel lurus dan tersenyum.
“ya gapapa kan? Karena buat gue…. persahabatan itu dari sini” kata sambil menyentuh dada Iel dengan telunjuknya, “dan gue udah mengikat janji itu di hati gue yang paling dalam. So, udah sepantesnya gue tepatin janji itu kan?” kata Ify lagi masih dengan senyum penuh ketulusannya itu. Iel balas tersenyum.
“thx kalo loe juga nganggep gue sahabat loe…” ucap Iel tulus. “Gue seneng bisa kenal orang aneh kayak loe…haha…” lanjutnya lagi sambil lagi-lagi ngacak-ngacak rambut Ify, lalu segera bangkit dari duduknya, menghindari pukulan kesel Ify kepadanya.
“tuh kan.. kebiasaan deh loe yel! Ngerecokin rambut gue mulu…” protes Ify sambil benerin rambutnya yang berantakan. Iel hanya nyengir jail seperti biasa.
“hehe.. sori deh.. sori… eh, gue balik sekarang aja ya, udah malem banget nih fy….” Kata Iel sembari pamitan pada Ify. Ify mengangguk dan ikut berdiri. Ia pun mengantar Iel sampai depan pagar.
“dah Ify… have a nice dream ya…”
Iel perlahan menutup pagar kemudian melambaikan tangannya sesaat kearah Ify. Ify terlihat membalas lambaian itu dengan senyum manisnya. Iel tersenyum sambil menatap Ify sejenak. ‘apa perasaan ini benar adalah perasaan sayang kepada saudara? saudara? Itukah perasaan yang sering ia rasakan itu? perasaan seseorang yang merindukan akan saudara yang penuh kehangatan…’ Iel menghela nafasnya sesaat lalu segera berbalik dan melangkah pulang menuju rumahnya.
---------------------BERSAMBUNG (3am)--------------------