This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

FIKSI - PROMISE Part 41: Mereka Yang Masih Ada Untukmu

Lanjutan dari PROMISE Part 40: Langkah Baru. Baca juga Promise Part 1: Awal, untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.

NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)

PROMISE - Part 41: Mereka Yang Masih Ada Untukmu

----------------------- misst3ri -----------------------

Dalam ruang yang hanya beralaskan karpet tipis yang sudah termakan zaman itu, belasan anak sudah berkumpul. Itulah sebagian anak-anak sanggar yang telah berkumpul di ruang belajar mereka. Semua anak yang terlibat dalam misi buat dava beberapa waktu sebelumnya, sekarang kembali berkumpul disana. Iel dkk, dayat dkk, patton dkk, agni dan sekarang ditambah juga bantuan dari obiet dan debo. Dan, tentu saja ada tian dan ify juga disana sekarang, yang datang atas ajakan iel.

Sementara menunggu cakka dan beberapa orang anggota rapat lainnya yang kebetulan belum datang, mereka mengisinya dengan saling berbagi cerita sambil sesekali diselingi lontaran candaan ringan. Seperti saat itu, ada obiet dan debo yang tengah bercerita bagaimana gilanya mereka hari sebelumnya demi mengejar misi mereka untuk bunda mereka tersayang. Dan saat cerita obiet sampai pada titik tentang bagaimana ekspresi debo saat diomeli bunda, tanpa bisa ditahan, langsung saja itu mengundang sahutan-sahutan menggoda dari teman-teman lainnya. Dan seketika itu juga terjadilah pembantaian olok-olokan mengundang tawa yang semua mengarah pada debo.

“pasti langsung kilep tuh debo, wkwkwk…” ledek irsyad.

“wah de, jangan bilang loe waktu itu sampe pengen nangis dan ngompol di celana… wkwkwk…” ledek iel juga.

“enak aja! Emang gue anak kecil?!” sungut debo gak terima.

“ah, pake malu-malu… jujur aja kali de… wkwkwk” goda tian juga yang nampak sudah begitu nyaman membaur dengan yang lain. Debo merengut dalam diam.

Iya sih, jujur saking takutnya, saat itu dirinya memang hampir aja ngelakuin itu kalau gak inget dia itu anak cowo yang udah gede.

Anak-anak benar-benar telah tenggelam dalam senda gurau. Tapi, segala guyonan pengocok perut anak-anak itu, sepertinya tak mampu mempengaruhi seseorang yang juga tengah berada disana. Di sudut ruangan, ify yang duduk tak jauh dari iel, seperti tak terbawa suasana ceria itu. Hanya seulas senyum kecil yang sesekali tersungging dari bibirnya. Memang, tak banyak kata-kata yang terlontar dari bibirnya sedari kedatangannya di sanggar itu. Dia hanya sesekali tersenyum, atau berbicara ala kadarnya, untuk sekedar menyahut ramah teguran atau obrolan dari teman-teman yang lain. Selebihnya, dia hanya duduk diam, terus mendengarkan sembari sesekali memperhatikan keadaan sanggar yang bisa dibilang sangat sederhana itu.

Sebenarnya, bukan maksud hati untuk bersikap seperti itu. Tapi, sejak dirinya melangkahkan kaki memasuki sanggar, hatinya sudah terenyuh melihat keadaan yang ada. Apalagi ditambah setelah mendengarkan cerita asal usul dibuatnya sanggar ini dari Zahra, cerita-cerita dari obiet dan debo tentang bundanya, atau cerita-cerita sebelumnya dari patton dan teman-teman yang lainnya tentang kehidupan mereka. Itu semua benar-benar membuat hatinya bergetar, membuka lebih luas pikirannya yang sempit, menguak sebuah realita kehidupan yang belum tersentuh oleh dirinya. Karena terbawa pikiran inilah yang membuatnya lebih banyak terdiam dan terpaku pada pikirannya sendiri, sampai pada saat cakka datang dan memberikan kejutan lain di ruangan itu…

“Hei temen-temen, liat siapa yang datang….” Teriak cakka ketika baru aja memasuki ruangan sanggar. Anak-anak yang baru menyadari kedatangan cakka sontak menoleh, dan…

“hei dava? Kok kesini?” seru anak-anak. Ternyata ada dava dan olin yang datang bersama cakka.

“dava kan kangen main kesini lagi….”

“cielah bahasa loe dav, kangen…” sahut irsyad. Dava cuma nyengir.

“eh, kok pada ngumpul-ngumpul gini?” Tanya dava lagi.

“ini kita mau rapat coy. Kita ada rencana buat ikut lomba… kan kita mau beli…” tapi mulut patton langsung ditutup cakka yang kemudian langsung menyambung ucapan patton itu.

“belajar ngasah kemampuan kita dav. Kan sayang kita gak pernah ikutan ginian. Gimana mau dikenal orang banyak coba?” potong cakka cepat. Lalu cakka langsung bisikin patton. ‘eh, jangan sampe dava tahu dulu kalo ini buat dia dong ton… gimana sih loe?’ bisik cakka. Patton yang ditegur seperti itu cuma cengengesan dan garuk-garuk kepalannya.

“eh, dava boleh bantuin juga kan?” celetuk dava. Anak-anak terdiam. Seolah mengerti apa yang dipikirkan kakak-kakaknya itu, dava langsung kembali berkata dengan begitu yakinnya.

“tenang aja kak… dava janji gak bakal ngerepotin kakak-kakak deh. Gak bakal ni kaki buntung bikin ngerepotin dan ngalangin kemauan dava. Gak bakal dava biarin dava sampe ketinggalan sama kakak-kakak buat bisa ngasih sesuatu buat sanggar ini…” kata dava lagi dengan penuh semangat.

“ohh.. so sweetnya kau dav… tentu aja boleh. Lagian, gak bakal gue diemin loe nyante, gak bantuin kita-kita, keenakan banget loe kalo gitu, hahaha…” ucap irsyad lagi sambil ngacak-ngacak rambut dava gemas. Anak-anak lain langsung pada ketawa liat adegan itu.

Ditengah hiruk pikuk keributan anak-anak, sudut mata iel menangkap pergerakan cepat ify yang sedari kedatangan dava tadi hanya terdiam. Ify tampak berdiri dan melangkah cepat ke arah luar sanggar. Dari tingkahnya itu, iel bisa menebak kalau pasti ada sesuatu hal dengan ify sekarang. Iel reflek hendak berdiri menyusul ify, tapi geraknya tertahan.

“yel… biar gue aja, mungkin kalo sesame cewe dia bisa lebih terbuka...”

Iel menoleh kesampingnya. Itu Zahra. Rupanya Zahra juga telah menangkap hal yang sama dengan yang dirasakan iel. Iel menatap lurus Zahra sesaat, lalu ia akhirnya mengangguk pelan. Zahra pun segera berlalu menyusul ify. Iel beberapa saat masih terdiam memandang ke arah luar sanggar. Sebenarnya dia ingin ikut Zahra menyusul ify. Tapi teguran dari cakka sontak memecah lamunannya.

“hei, yel ngeliatin apaan loe? Ayo duduk melingkar disini, udah mulai nih rapatnya…” tegur cakka. Iel menoleh, dan sesaat menghelakan nafasnya. Ia sadar, ia harus segera mengalihkan pikirannya sesaat untuk lebih focus pada rapat mereka yang baru dimulai itu. Ia pun lalu mengangguk dan segera bergabung dengan anak-anak lainnya.

--------------------3am-------------------

Rapat berlangsung dengan tertip. Masing-masing anak mengutarakan ide mereka masing-masing. Tapi, pembicaraan mereka tiba-tiba menjadi buntu saat cakka melontarkan sebuah pertanyaan.

“oke, kalo masalah alat-alat, konsep, kayanya udah cukup jelas ya… tapi, seperti kata sion waktu disekolah dulu. Siapa yang bisa ngaransement? Bawain ngasal aja? Kalo kita ngebawain kaya biasa aja, gak bakal ada kesannya. Akan keliatan datar-datar aja…. Harus ada yang istimewa!” kata cakka.

“wahh… kita-kita sih gak ngerti masalah begituan coy…”

“oiya, btw si sion kemana nih? Kok gak ikutan?” iel baru sadar temannya itu gak ikutan rapat ini juga.

“Loe taulah, si sion mah suka gak mau keluar modal. Kan gue hari ini kebetulan gak bisa ngasih tumpangan ke dia. Tapi eh, pas tadi gue bilang gak bisa antar jemput dia, dia langsung bilang, titip salam aja karena dia gak jadi ikutan kalo gak ada tebengan…” jawab riko.

“ah, payah bener tuh anak” omel iel juga, “udah deh, kita abaikan sion, lumayan juga pengacau kurang satu. Kita kembali ke topic awal, jadi gimana ini? Loe ada ide cakk?” Tanya iel lagi.

“loe gak ngerti cakk? Bokap loe kan guru music, masa anaknya kaga bisa diandelin dikit pun?” sambung irsyad juga.

“hmm.. gue bisa sih nanya-nanya bokap dikit-dikit, tapi dia lagi sibuk banget akhir-akhir ini. Jadi agak ribet juga sih...” kata cakka sambil garuk-garuk kepalanya sendiri. “coba aja ada patner satu lagi gitu yang ngerti music, kan lumayan bisa tuker-tuker pikiran. Gue berani deh nyoba-nyoba. Kalo cuma sendiri, hmmm…..”

“iya, selain itu masalah kita juga, yang lumayan lihai main musik cuma beberapa. Masa iya, mau ngandelin dayat, cakka sama gue doank. Kita perlu tenaga tambahan nih buat ngatur dan ngelatih anak-anak…” kata irsyad juga.

“eh, loe jago apaan coy?” ledek patton.

“yee… sori yee, kan masalah perkusi alias pergendangan, gue masternya disini”

“ah, bagusan gue juga…” celetuk ray juga.

“nah, betul tuh coy! Gue dukung loe ray!” timpal patton sambil tos sama ray.

“eh, udah-udah… jago tapi berantem mulu dan gak bisa bikin harmonis satu sama lain, sama aja boong” sindir dayat, “Jadi gimana ini. Ada yang punya saran?” katanya lagi.

“tunggu… hmmm… kayanya gue punya satu orang lagi yang mungkin bisa bantu kita. Gue jamin dia pasti ngerti banget tentang musik” Tiba-tiba iel membuka suaranya. “Tunggu bentar…” kata iel lagi, lalu ia segera melangkah keluar.

“eh, yel mau kemana loe? Siapa maksud loe?” tegur cakka. Tapi iel hanya tersenyum dan terus melangkah keluar ruangan.

-----------------3am------------------

Zahra menyusul ify cepat. Tapi langkahnya terhenti sesaat di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu sanggar dengan teras luar itu. Dia menatap sosok yang kini tengah duduk sendirian di teras sanggar itu. Tampak ify hanya duduk membisu disana sembari menatap hampa hamparan bunga-bunga yang tumbuh subur di halaman sanggar itu. Keadaan ini sepertinya hampir sama seperti waktu dia menemukan ify di taman sekolah beberapa waktu yang lalu. Gadis di depannya itu terlihat seperti masih menyimpan begitu banyak kegundahan. ‘semoga ify mau lebih terbuka sama gue kali ini’ doa Zahra dalam hatinya. Zahra lalu menarik nafas sesaat, lalu perlahan ia mulai mendekati ify.

“kenapa keluar fy? Gak betah ya di dalem sanggar?” tegur Zahra sambil menepuk bahu ify. Ify menoleh sekilas lalu menggeleng pelan.

“nggak nggak… gue betah kok… gue seneng bisa main ke sanggar ini….” Sanggah ify. Matanya kembali terpaku ke depan, menerawang lurus tanpa ekspresi.

“terus kenapa? Gue lihat dari tadi loe banyak diem. Apa ada yang bikin loe gak ngerasa nyaman fy?” Tanya Zahra lagi. Ify tak menjawab, ia hanya menggeleng pelan. Zahra jadi agak serba salah menghadapi ify yang nampak begitu betah bertahan dengan kesendiriannya itu. Dia bingung memikirkan bagaimana caranya agar ify mau lebih terbuka padanya. Gadis itu tampak begitu rapat menutupi perasaannya. Dan akhirnya, mereka berdua pun hanya bisa sama-sama terdiam, terbungkus dalam kebisuan dalam waktu yang cukup lama.

“fy… loe udah kita anggap sahabat kita sekarang. Jadi, apapun masalah loe, kita siap jadi tempat loe berbagi…” ucap Zahra akhirnya, kembali membuka pembicaraan diantara mereka. Tapi ify masih saja membisu. Zahra jadi ikut kembali terdiam juga.

“apa kita belum bisa jadi teman yang baik buat loe fy? Kita bikin loe gak nyaman ya? Sori fy kalo loe ngerasa begitu…” lirih Zahra tak lama kemudian. Ify reflek menatap Zahra dan menggeleng cepat. Terlihat dari sorot matanya sinar rasa bersalah dan tak enak hati terhadap Zahra disana.

“bukan… bukan begitu ra…, gue sama sekali gak ngerasa begitu… gue cuma….” kata ify cepat. Tapi kata-katanya terhenti. Ia kembali membuang pandangannya sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Ia terlihat ragu untuk mengutarakan isi hatinya yang sesungguhnya. Tapi Zahra terus menatap penuh perhatian kepada ify, tetap sabar menunggu kata-kata berikutnya yang terlontar dari bibir gadis di sampingnya itu. Ify melirik Zahra lagi sekilas, lalu ia kembali menunduk dan menghela nafas beratnya.

“sebenarnya gue… gue yang ngerasa gak layak berteman sama kalian. Kalian terlalu baik buat gue. Gue gak pantes dapetin perlakuan sebaik ini…” lirih ify kemudian. Zahra tetap diam mendengarkan. Ia tak mau memotong ify yang nampak sudah mulai mau terbuka padanya itu.

“dan jujur, saat ngelihat temen-temen sanggar, dava, mengenal lebih dalam kalian semua, gue… gue ngerasa jadi orang yang sangat kecil…, kerdil.., rapuh…, pengecut…“ lirih ify. Kata-katanya itu terdengar sedikit terbata-bata, seakan-akan kata-kata itu terasa begitu sulit terucap dari lisannya. Tapi ia terus mengungkapkan isi hatinya yang ia pendam lama dalam kesendiriannya itu.

“… Gue baru kehilangan sahabat gue aja, udah bikin gue selemah ini. Bagaimana kalau gue kehilangan orang tua seperti obiet, debo? Kehilangan sebagian kebahagiaan masa anak-anaknya seperti anak-anak jalanan itu? Atau kehilangan masa depan yang cerah kaya dava?” kata ify. Sesaat ia terdiam, mencoba mengatur emosi dan gemuruh perasaan dihatinya. Ia sesaat memejamkan matanya yang mulai terasa hangat itu.

“Gue sangat tertinggal jauh dari mereka ra… gue lemah… gue pengecut… gue gak ada apa-apanya dibandingkan mereka… gue…” lirih ify kemudian, pelan. Tapi tenggorokannya kini terasa tercekak, seakan-akan menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan lagi. Dadanya terasa penuh sesak, dipenuhi berjuta perasaan yang ada pada hatinya saat ini. Dan akhirnya ia hanya bisa menunduk dalam diam, menahan segala perasaan yang berkecamuk itu.

Zahra yang sedari tadi terus mendengarkan, kini menatap ify dengan begitu simpati sembari tersenyum tipis. Walau ia juga bisa merasakan betul kepedihan ify setelah mendengar pengakuan ify itu, tapi dia senang ify mau terbuka dengannya sekarang. Dan kini dia tau apa yang sebenarnya dirasakan gadis itu. Lalu ia pun segera merangkul ify hangat untuk mencoba menguatkannya.

“Loe bukan orang yang lemah kok fy. Loe sama sekali bukan orang pengecut…” lirih Zahra penuh perhatian.

“Kalo loe orang lemah dan pengecut, bagaimana mungkin loe bisa dengan besar hati maafin angel? Bagaimana mungkin loe bisa ngakuin segala kesalahan loe dan minta maaf dengan semuanya? Bagaimana mungkin loe bisa terus nahan emosi loe, sabar ngadepin sikap kasar sahabat-sahabat loe dan tetap bertahan dengan pendirian loe? Itu bukanlah hal yang bisa dilakukan orang-orang yang lemah dan pengecut fy…” lanjut Zahra lagi sambil menghapus setetes air mata yang berhasil merembes keluar dari sudut mata ify dan mengalir pelan di pipinya itu. Ify perlahan membuka matanya dan kemudian menatap Zahra sayu. Zahra balas menatap ify dengan sebuah senyuman penuh kehangatan dan persahabatan.

“Setiap orang pasti punya caranya sendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Dan loe pasti juga begitu. Loe pasti bisa keluar dari semua ini kok fy… dan kita bakal terus dukung loe, karena kita adalah teman. Gak ada kata layak atau gak layak buat mendukung orang yang udah kita anggap seorang teman fy… seorang sahabat…” kata Zahra lagi sembari menggenggam tangan ify erat. Ify tersenyum tipis.

“betul kata Zahra fy…” tiba-tiba iel muncul dari belakang, dan duduk disamping ify. Ify menatap iel yang tengah menatapnya lekat itu.

“loe pasti bisa fy… masalah loe itu sebenarnya ada dalam diri loe sendiri fy… Ada sama pikiran loe. Ada sama hati loe…”ucap iel lagi. Tatapan lembut iel tepat jatuh di kedua mata ify, yang semakin membuat kata-kata yang terekam indera pendengarannya itu begitu meresap di dalam hatinya bersamaan dengan pesan yang tersampaikan lewat tatapan itu.

“loe masih inget kan pesan loe waktu ngajarin gue matematika pas ujian dulu? Kalau pikiran loe bilang gampang, maka dia bakal jadi gampang. Masih inget kan loe sama kata-kata itu?” ucap iel lagi. Ify mengangguk pelan.

“semua perasaan kita itu berasal dari hati, dari pikiran kita kan? Jadi sekarang, loe harus praktekin kata-kata loe itu juga. Gue yakin, kalo pikiran loe, hati loe yakin pasti bisa kuat naklukin masalah-masalah loe, loe pasti bisa ngadepin semua ini dengan kuat. Masa guru gue yang galak ini nyerah? Ngadepin gue yang bandel aja loe sanggup fy, masa hal ginian gak bisa? hehe…” kata iel lagi. Ify hanya tersenyum simpul mendengar itu semua, lalu kembali menunduk, memandang lurus hamparan bunga di depannya itu.

“hmmm… kayanya loe harus disibukkan dengan kegiatan lain deh, biar pikiran loe tuh gak terlalu sering mikirin hal ini lagi” kata iel setelah melihat ify tak berekspresi banyak dan sepertinya masih terlihat kurang bersemangat itu. Lalu iel menarik tangan ify.

“Ayo… Sekarang ayo loe ikut gue. Kita punya kerjaan buat loe dan loe gak boleh nolak! Ayo fy!” ajak iel sambil menarik paksa ify agar mengikutinya ke dalam sanggar. Dan tanpa ada perlawanan, Ify pun akhirnya dengan pasrah mengikuti iel yang telah menarik paksa dirinya itu.

---------------3am-----------------

Saat mereka sudah masuk kembali ke ruang belajar sanggar.

“nah, ini dia orangnya! Maksud loe tadi apaan sih yel? Siapa yang bisa bantuin kita?” serobot irsyad begitu melihat iel lagi.

“iya nih, gak pake basa-basi langsung ngeloyor keluar aja…” sambung tian juga.

“tenang-tenang saudara-saudara… tenang… gue udah bawa orang yang bisa bantuin kita” kata iel dengan santainya.

“siapa yel?” Tanya dayat.

Iel tersenyum, lalu melirik ke arah ify yang berdiri di sampingnya. Mata anak-anak pun perlahan mengikuti arah pandangan iel. Ify yang tak lama kemudian telah tersadar tengah dipandangi anak-anak, mengerutkan keningnya sesaat lalu segera membuka suaranya.

“kok mandangin gue? ada apaan sih?” Tanya ify heran.

“oiya! Bener loe yel! Kan ada ify sekarang…” seru irsyad sambil menjentikkan jarinya. Ify segera menatap iel tajam.

“Maksudnya apaan sih? Yel… Loe jangan libatin gue sama yang aneh-aneh deh… gue bukan suruhan loe lagi kan?” protes ify yang kini mulai khawatir melihat gelagat iel dan anak-anak sanggar lainnya. Iel lalu balas menatap ify lalu menyeringai lebar.

“gak aneh-aneh kok, kita cuma mau minta bantuan loe buat….” Iel dkk pun lalu menjelaskan rencananya pada ify.

“gak ahh… kemampuan gue kan masih belum seberapa, gimana mau ngarahin kalian? gue kan juga baru belajar… gue cuma…” sanggah ify setelah iel menerangkan rencananya. Tapi kata-kata ify itu langsung dipotong iel.

“cuma apa? pianis tingkat nasional?” potong iel.

“yang cuma bisa main piano?” tambah tian.

“eh, sama perkusi juga kan yan?” sahut iel lagi ke arah tian dengan santainya seakan-akan tengah ngobrol santai berduaan. Bahkan ia seperti tak menganggap keberadaan ify yang tepat berada disampingnya itu, tengah menatapnya dengan wajah kesal, malu, sekaligus bingung.

“yoi yel, plus gitar dan biola juga bolehlah dikit-dikit….” Sahut tian lagi sambil menyeringai jail. “eh, tapi kan kalo baru belajar musik dari umur 4 tahun… baru banget itu ya?” sambung tian lagi.

“nah itu, menekuni dunia musik selama 10 tahunan itu emang belum ada apa-apanya sih dibanding yang udah puluhan tahun… gak mungkin bisa diandelin walau cuma diminta ngadepin anak-anak sanggar pinggiran yang lagi kehilangan induknya ini” sahut iel dan diakhir kata-katanya ia melirik ify tajam.

Ify seketika itu juga hanya bisa terperangah, diam tak berkutik. Di serang dengan kata-kata fakta tentang dirinya seperti itu oleh iel dan tian, Ify seperti sudah kehabisan kata-kata. Dia seperti tak bisa menyanggah semua perkataan-perkataan bernada sindiran dari teman-temannya itu.

“temen-temen… Gue… gue bener-bener masih ijo… gue sama sekali gak pengalaman…” kata ify. Walau yang dikatakan iel dan tian itu benar, tapi ia benar-benar merasa belum ada apa-apanya.

“tapi, pengalaman itu gak bisa di dapet kalo kita gak pernah nyoba berbuat sesuatu. Ini kesempatan loe buat praktekin ilmu loe. Mungkin diantara kita-kita semua disini, loe yang paling bisa diharepin ngerti dan bisa ngaransement lagu-lagu gitu… Lagian loe gak sendiri kok. Cakka dan temen-temen lainnya bakal bantu juga kok…”potong dayat sembari menatap ify lurus.

“iya fy… ntar gue minta bantuan bokap juga. Tapi gak bisa terlalu ngandelin beliau sih. Sekarang lagi sibuk-sibuknya. Jadi, harus kembali ke kreatifitas kita sendiri lagi… yang kita perluin, bantuan ide kreatif loe tentang music. Jadi fy, please bantu kita…”ujar cakka juga.

“ify… please… demi…” kata-kata iel terhenti, ia melirik dava sesaat, seolah mau nekanin ke ify kalo itu demi anak kecil itu. “.. demi niat baik kita semua fy…” lanjut iel lagi sambil menatap ify penuh.

Ify terdiam, menatap mata-mata yang tengah menatapnya dalam itu. Ify menunduk dan menghela nafasnya sesaat. Dia sendiri tak yakin, nantinya benar-benar mampu berbuat banyak buat teman-temannya itu. Tapi, mungkin inilah jalan dari Tuhan. Mungkin inilah cara terbaik buat dia untuk memulai kembali bersosialisasi dengan orang-orang ini. Dan dengan cara ini juga mungkin dia bisa membalas segala kebaikan dan kehangatan yang diberikan teman-temannya itu kepadanya sekarang. Ify pun kembali menatap satu per satu wajah-wajah yang menatapnya dengan penuh harap itu. Lalu ia kembali menghirup udara dalam-dalam dan melepaskannya perlahan agar hatinya bisa menjadi lebih tenang dan yakin. Lalu dengan mantap akhirnya ia berkata…

“oke… gue mau coba. Demi kalian semua…” kata ify akhirnya. Dan riuh sorak gembira anak-anak segera menyambut untaian kata persetujuannya tadi.

-----------------misst3ri-------------------

Beberapa orang pelayan hilir mudik melayani pesanan para tamu. Kafe itu tampak cukup penuh di padati pengunjung yang ingin sekedar menghabiskan waktu di akhir minggu itu. dan di sudut kafe itu, tampak 2 orang anak muda sedang duduk-duduk. Yang laki-laki tampak dengan cueknya menghabiskan makanan yang tersaji di depannya. Sedangkan yang seorang lagi, seorang gadis manis terlihat duduk dengan cukup gelisah sembari mengaduk-aduk minumannya yang baru ia habiskan seperempat gelas itu. Anak laki-laki di depannya sesaat melirik gadis itu.

"mana vi? Emang loe jam berapa sih janjiannya?" kata anak laki-laki itu sembari menyuapkan suapan terakhirnya untuk meludeskan semangkok besar es krim jumbo di depannya.

"jam 4... Dia katanya bakal pake baju yang ada simbol harry potternya gitu kak.."

"Kalau orangnya aneh, gimana?"

"yaa.. kita kabur kak... gue kan udah pake jaket, ga bakal ngeliat gue pake baju pink garis-garis ini, jadi gak bakal langsung ngenalin gue juga dia ntar.." sahut via enteng. Yap, kalo severus janji make baju harry potter, via janji pake baju pink garis-garisnya itu. setelah disahuti via seperti itu, Rio pun cuma manggut-manggut. Lalu tak lama setelah benar-benar meludeskan makanan dia, dia pun berdiri dari duduknya.

"ah, lama nih nungguin loe.. makanan gue udah abis gini belom nongol-nongol juga. Gue jalan dulu ya, ntar gue balik lagi kesini... Ntar kalau perlu bantuan, telpon aja... " kata rio dengan cueknya.

"yah, kakak mau kemana? Masa via ditinggal sendirian?" sanggah via sambil menyambar tangan rio untuk menahan langkah kakaknya itu.

"kan disini banyak orang, loe tereak aja... Lagian, kaya kata loe, dia juga ga bakal langsung ngenalin loe kan? Jadi, santai aja.." sahut rio sambil ngacak-ngacak puncak rambut adiknya itu, lalu ia berlalu dengan santainya. Sivia hanya bisa mendengus kesal sembari menatap punggung kakaknya yang terus berjalan ke arah luar kafe dan kemudian menghilang ditengah kerumunan pengunjung mall lainnya. ‘Susah ya punya kakak yang cueknya minta ampun gini! Gak ada perhatian banget jadi orang!’ omel via dalam hati.

Via lalu melihat keadaan sekitarnya. Dari sekian banyak pengunjung kafe itu, tak satupun ia bisa melihat orang berbaju Harry Potter. Via kembali melirik jam tangannya. Pukul 04.34, severus udah telah setengah jam lebih. Via lagi-lagi mendengus kesal. ‘mana sih severus, dia yang bikin janji, eh dia juga yang telat! Ntar kalo ketemu gue omelin tuh anak baru tau rasa!’ omel via dalam hati, ‘Eh, tapi masa baru kenal udah ngomelin, ga sopan juga ya?’ via jadi garuk-garuk sendiri, bingung mikirin kata-kata dalam hatinya itu. Sedang asyik-asyiknya melamun, tiba-tiba ada sebuah suara yang menegurnya.

“eh, cewe comel… sendirian aja loe?”

Via mengerutkan keningnya. Suara itu agak familiar dikupingnya. Lalu ia pun segera berbalik untuk melihat siapa yang telah menyapanya dengan kata-kata kurang enak di dengar itu. Dan ketika ia tau siapa yang telah berdiri di belakangnya itu, via pun langsung tersentak kaget saat melihatnya.

"eh, ngapain loe disini?!"

-------------------BERSAMBUNG (3am)--------------------

0 komentar

FIKSI - PROMISE Part 40: Langkah Baru

Lanjutan dari PROMISE Part 39: Misi untuk Sang Bunda. Baca juga Promise Part 1: Awal, untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.

NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)

PROMISE - Part 40: Langkah Baru

---------------------3am---------------------

Siang itu, tampak jalan perkotaan terlihat begitu padat. Mobil-mobil dan kendaraan saling berdesakkan menyusuri jalan itu. Matahari yang bersinar sangat terik seakan menambah kesumpekan dan kegerahan kepadatan kota yang tak terkendali. Tapi, di salah satu mobil yang terjebak kemacetan itu, seorang gadis tengah bertopang dagu, menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil sembari memandang hampa ke jalanan yang menyajikan pemandangan semerawut itu. Walau dirinya dan mobilnya terjebak dalam kemacetan kota itu, tapi itu tidak berlaku dengan angan pikirannya. Pikirannya terbang melayang bebas, menembus ruang dan waktu tanpa bisa tertahan. Mencoba kembali menyusuri dan merunut apa saja yang tlah terjadi menimpa dirinya dalam beberapa hari itu.

Hari yang penuh pergolakan batin di hari-hari yang lalu itu tlah berlalu. Hari-hari itu mungkin hari yang takkan pernah dilupakan olehnya. Itu hari-hari yang mungkin telah mengajarkan dia banyak hal. Hari-hari yang tlah mengasah sisi kedewasaannya.

Dan sekarang, seperti hari itu, disaat dia mulai menjalani hari-hari berikutnya, dia merasa seperti menjalani hari yang lebih baru. Walau hari itu dia masih diperlakukan dengan sangat dingin oleh kedua sahabatnya, tapi setidaknya hari itu dia masih bisa bersyukur. Masih ada orang-orang baik, yang mau menerimanya dan siap menyangganya disaat ia mulai terjatuh kembali. Seperti kejadian hari itu, dimana ia memulai langkah di hari yang baru, dan ketegaran hatinya kembali diuji...

----------------- flashback ---------------

“eh, loe liat gak tadi vi, hari ini si penghianat udah berani terang-terangan banget, dateng semobil coba sama si kunyuk itu! Ihh, gak punya malu banget sih…”

Hari itu masih pagi, tapi obrolan yang sepertinya sengaja dibuat heboh mau tak mau menarik perhatian penghuni kelas yang sudah datang, termasuk ify. Ify yang sedari masuk kelas tadi sudah memilih untuk diam duduk di bangkunya, tenggelam dalam buku pelajarannya, sontak juga mengangkat kepalanya. Dia bisa melihat sila dan via yang baru saja datang dan memasuki kelas dan melangkah menuju bangku mereka, tepat di depannya.

“siapa ya yang kemaren mohon-mohon ke kita, sumpah-sumpah ga pernah ngehianatin kita? Sekarang, ternyata…” sinis sila lagi. Lalu ia menatap tajam ify, “bener-bener bermuka dua ya loe?” lanjutnya lagi sebelum berbalik dan duduk di bangkunya.

Ify tak bereaksi dan lebih memilih untuk diam dan kembali menunduk. Ia tak mau menambah runyam masalah dengan melawan teman-temannya itu. Tapi kalau ify bisa menerima semua perlakuannya itu, ini ternyata tidak berlaku untuk dengan teman-teman lainnya. Karena tak lama setelah itu, anak-anak lain yang mengetahui betul perkara ini segera bergerak.

“eh sil, belum puas juga ya loe mojokin ify kaya gitu?! Udah gue bilang kan, Ify gak ngelakuin seperti yang kalian pikirkan! Gue jamin itu!” bentak tian yang duduk di belakang ify langsung berdiri membela sahabatnya. Sila yang mendengar itu, sontak berdiri dan berbalik menghadap tian.

“diem loe! Orang kaya loe yang juga udah terang-terangan nyebrang gabung sama anak-anak pencundang juga gak bisa di percaya lagi omongannya! Gak usah sok deh loe!” sahut sila tak kalah keras. Tian yang agak emosi sontak maju. Tapi dia tertahan tangan ify yang tiba-tiba berdiri dan menahannya pergerakannya.

“sil… mungkin loe boleh ngatain gue apa aja, tapi please… Jangan bawa temen-temen yang lain. Ini cuma masalah gue sama kalian kan?” lirih ify sembari menatap sayu sila.

“gak fy… masalah loe, masalah kita juga!” kini iel juga turun tangan, diikuti teman-temannya, lalu berdiri tepat disamping ify menghadang sila. “Emang kalau ify dan tian milih nyebrang ke pihak gue emang kenapa?! Yang musuhan sama gue dari SD kan cuma kalian berdua…” kata iel lagi.

“Jadi, kalau mereka milih bergaul dengan temen-temen yang lain, salah? Kalau mereka gak mau ikutan kalian nyari musuh juga, apa itu salah? Ada yang SALAH?!” tekan iel sambil menatap tajam sila dan juga via yang kini juga telah berdiri di belakang sila.

“ya salahlah…! Apaan jadi temen gak setia banget! Bisanya jadi penghianat dan nusuk temen dari belakang!” jawab sila.

“gak setia? Loe pikir ify beberapa hari ini sering nangis itu kenapa? Yang dia tangisin itu persahabatan kalian! Dia sedih gara-gara kalian ngebuang dia cuma gara-gara dia lebih milih ngikutin apa kata hati dia dibanding apa kata kalian! Disaat kalian nyakitin dia, dia masih setia bilang kalian itu sahabat! Tau gak loe?! Jadi sekarang gue tanya, siapa yang sebenarnya udah menghianatin persahabat kalian?!” teriak iel masih dengan tatapannya yang tajam menusuk itu.

Sila langsung membuang wajahnya. Dia tak suka merasa dihakimi seperti ini. Dia tak suka perasaan terpojokkan seperti itu. Sedangkan via, melihat sorot tajam iel itu, ia langsung menunduk dan membuang pandangannya. Kata-kata iel begitu mencabik-cabik perasaannya. Dan mellihat tatapan tajam itu hanya akan membuat jantungnya semakin terhujam keras. Ia tak ingin perasaannya makin terobrak-abrik tak karuan rasa karenanya.

Tapi ketika dia menundukkan wajahnya, matanya jatuh di sudut yang tidak tepat. Dia melihat tangan iel yang tiba-tiba meraih jemari ify yang tergantung lemah di sisi tubuhnya itu, lalu menggenggamnya erat. Hati via seketika itu juga mencelocos. Rasa sakit itu kembali menusuk hatinya dan memebaskan virus-virus kebencian yang sebenarnya sudah ia coba belenggu. Tanpa memandang apapun lagi, via segera membuang wajahnya dan bergegas menggandeng sila menjauh dari sana.

“ayo sil, kita keluar aja… buat apa kita ngeladenin mereka? Gak penting! Buang-buang tenaga aja!” lirih via pelan, tapi terdengar begitu tajam. Lalu via dan sila segera menjauhi ify, tian, iel dkk dan cepat meninggalkan kelas. Sepeninggalan via dan sila, terdengarlah sorakan anak-anak.

“huuu… cemen… cemen… gak bisa berkutik lagi tuh mereka… hahaha…” ledek anak-anak yang dikomandoi sion, dkk.

Ditengah keributan tawa kemenangan anak-anak, iel tiba-tiba tersadar, dan segera menoleh ke sampingnya. Ify kini tengah menunduk dalam. Iel menatapnya penuh, lalu sedikit menunduk agar dapat melihat wajah gadis itu.

“fy, loe gak papa kan?” kata iel dengan pelan. Ia khawatir kalau ify kembali merasa tersakiti. Ia khawatir airmata yang berharga itu kembali terjatuh dari sudut matanya. Ify terlihat sekilas menggeleng pelan, lalu mengangkat wajahnya dan menatap iel lembut.

“gue gak papa kok yel.. gue kan udah janji sama lo buat kuat..” lirih ify. Iel tersenyum mendengar ucapan ify itu. Tian di sampingnya langsung merangkul hangat ify.

“tenang fy… everythings gonna be okay… loe gak sendiri kok ngadepin ini.. ya gak yel?” kata tian. Iel mengangguk.

“yo’a fy.. mereka cuma berdua, kita banyak. Kalo loe ngijinin kita-kita keroyok lagi tuh cewe-cewe, bentar aja kok ngumpulin pasukan…” celetuk sion juga yang langsung di sambut gelak tawa yang lainnya.

-------------flashback kelar---------------

Karena orang-orang itulah. Dia masih bisa di rangkul hangat tian, terhibur canda tawa iel, dkk, bahkan juga senyum penuh persahabatan dari Zahra, obiet, dkk, dari orang-orang yang sesungguhnya telah begitu banyak dia dan teman-temannya sakiti dulu. Keberadaan orang-orang yang telah mau membuka hatinya dengan tulus untuk menyokong dan mendukungnya itu, tentu saja sangat menguatkan hatinya. Tanpa mereka, mungkin saja ia kembali terjatuh dan terjebak dalam kesedihan yang mendalam seperti hari-hari sebelumnya. Terpuruk lemah, rapuh, pasrah dan hanya bisa meratapi serta menangisi kelemahan dirinya. Walau luka itu masih sangat membekas, tapi senyum dan semangat yang diberikan teman-temannya itu terasa seperti tetesan embun yang menyejukkan dan mengobati goresan luka di hatinya. Dan atas segala kekuatan itu, apa ia masih pantas tetap bertahan dengan kelemahan dirinya?

“eh fy, hari ini loe gak ada acara kan?”

Tiba-tiba lamunannya tersadarkan oleh teguran itu. Ify menoleh ke arah penegurnya itu di jok depan. Ada iel di sana. Ya, hari itu ify yang nebeng mobil iel untuk pulang ke rumah. Sebenarnya bukan keinginan dia juga. Tapi pagi tadi iel yang menjemput dia ke rumah, dan tanpa basa-basi langsung bilang ke papanya buat gak usah repot-repot jemput sepulang sekolah karena ify bisa bareng dia lagi. Alhasil, disanalah ia sekarang. Duduk manis di jok belakang mobil iel.

“hei, kok diem aja? Loe gak ada jadwal les kan hari ini?” Tanya iel lagi karena ify tak jua menyahuti.

“emang mau kemana?”

“gue mau ke sanggar dayat habis ini. Kita mau rapat tentang rencana lomba sanggar itu. Loe masih inget kan cerita gue tentang kenapa gue sama anak-anak mulungin sampah dulu? Nah, ini salah satu usaha kita buat ngumpulin dana buat dava juga fy… Loe ikut juga ya ntar…” terang iel.

Ify terdiam sesaat. Tampak sedikit sinar keragu-raguan di matanya. Bukannya ia menolak, tapi terus terang mengingat bagaimana pergaulan dan hubungan diantara mereka selama ini, mau tidak mau membuat dirinya akan begitu merasa canggung dengan keadaan sekarang. Perasaan bersalah, tak enak hati, segan, malu, dan lainnya terus merayapi hatinya ketika bertemu dengan mereka. Apalagi melihat perlakuan yang begitu baik mereka pada dirinya. Dirinya semakin malu dan merasa tak pantas mendapat perlakuan sebaik itu.

“kenapa fy?” Tanya iel lagi. Iel kini telah berbalik dan menatap ify lurus. Ify masih terdiam dengan pikirannya itu.

“tenang… loe kan sama gue. Ada tian juga, tadi gue udah ngajak dia. Loe gak bakal ditolak dan harus merasa kesepian disana. Lagian loe pasti bisa seneng disana. Anak-anaknya asyik-asyik kok… Loe ikut ya?” kata iel lagi menenangkan seolah bisa membaca perasaan ify. Ify menatap balik iel. Dia bisa melihat iel tersenyum kepadanya, senyum yang seolah memberikan ketenangan dan keyakinan padanya bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Dan akhirnya ify membalas senyum itu dan mengangguk pelan tanda persetujuan darinya.

--------------------misst3ri--------------------

Di kamar berwarna baby pink berukuran 3x4 itu, seorang gadis tengah mematut dirinya. Sesosok gadis cantik terpantul dari cermin datar berbingkaikan ukiran kayu jati itu. Gadis dalam cermin itu tersenyum. Cukup lama ia berdiam diri memandang pantulan dirinya sendiri.

Perlahan gadis itu kembali terduduk di pinggir tempat tidurnya. Matanya bergerak liar tak tenang, seiring dengan hatinya yang juga tengah melayang kemana-mana. Entah kenapa pertemuan ini membuatnya begitu gugup. Bayang-bayang ingatan akan obrolan di dunia maya itu kembali terhadir jelas di ingatannya. Tanpa sadar bibir manis itu telah memekarkan selentik senyum simpul.

Tapi senyum itu kembali pudar dari sudut bibirnya ketika matanya tak sengaja menyorot sesuatu di sudut kamar itu. Matanya langsung terpaku pada sesuatu yang tergeletak tak berdaya disana. Sebuah bingkai foto dengan segaris keretakkan pada kacanya karena tlah ia hempaskan tanpa ampun. Itu bingkai foto yang menjadi korban kekesalannya beberapa hari yang lalu. Matanya terus terpaku di sana. Menatap lurus senyum keceriaan wajah-wajah bahagia orang-orang di dalam foto itu. Angin semilir yang bertiup sejuk melalui jendela kamarnya dan membelai lembut kulitnya itu seakan berhasil menyusup masuk dan ikut menyejukkan hatinya. Kenangan indah masa-masa lalu terkuak indah di ingatannya. Tapi kenangan itu tersusupi bayang kejadian siang tadi yang tiba-tiba muncul kembali, seperti mau merusak segala ketentraman di hatinya. Kejadian yang membuat lukanya terbuka kembali.

Tangan itu. Tangan yang dengan eratnya megenggam hangat tangan gadis yang menjadi penyebab hatinya hancur berantakkan. Sebuah genggaman erat penuh kehangatan nan menenangkan yang ditangkap matanya di sekolah tadi. Kenapa matanya harus menangkap adegan iel yang tiba-tiba menggengam erat tangan ify itu. Kenapa? Itu hanya membuat hatinya kembali di selimuti rasa kebencian. Dan rasa itu terasa begitu menyesakkan dan menyiksa bathinnya. Dia menghela nafasnya sesaat. Seakan-akan ingin membuang setidaknya sedikit saja kegundahan di hati itu.

Drrrr…

Tiba-tiba HPnya bergetar, menandakan ada sebuah SMS masuk. Via segera tersadar dari lamunannya dan bergegas meraih HPnya itu. Lalu ia pun dengan cekatan membuka SMSnya itu. Bibirnya tanpa sadar kembali tersungging manis ketika membaca nama si pengirim SMS itu.

======================

From: Severus_Prince

Princess… sore ini jd kan? Lo gak lupa sama janjian ketemuan kita kan?

======================

Sivia tersenyum. Ini hari yang ia tunggu-tunggu. Mungkin inilah satu-satunya hal yang mampu mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang menyesakkan hatinya itu. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan janji itu. Dan kemudian, dalam hitungan detik tangannya kini telah dengan cekatan menuliskan SMS balasannya kepada sang pangeran misterius dunia mayanya itu.

==========================

To: Severus_Prince

Inget donk… jam 4 di Master Café di XXMall kan? Bentar lg gw berangkat kok…

See u severus :)

=========================

Dia kembali menatap cermin di depannya. Dia mencoba tersenyum. ‘Oke via… lupakan itu sesaat! Ada seseorang yang kini menunggu dan mungkin akan membuat hati loe jauh lebih baik. Jadi, semangat via….’ Semangat sivia dalam hatinya. Dan dengan senyum yang tlah mengembang manis, ia melangkah dengan penuh keyakinan menuju sebuah harapan yang membuat hatinya terasa seperti dalam taman bunga yang penuh keindahan.

-------------------misst3ri-----------------

Sivia melenggangkan langkah ringannya menuju arah luar rumah. Gumaman nyanyian kecil terdengar dari bibir yang tersenyum manis itu. Tapi saat ia melintasi ruang keluarga, tiba-tiba seperti ada yang menahan dan menarik tali tasnya.

"eh, mau kemana loe?"

Langkah via sontak berhenti dan reflek menoleh kebelakang. Ada Rio, kakaknya yang kini tengah menatapnya dengan tatapan penuh menyelidik. Tangan kanannya masih memegang erat tali tasnya. Sivia sontak mencibirnya dan menapik tangan kakaknya yang memegangi tali tasnya itu.

"kenapa emangnya? Mau tau aja urusan orang.." sahut via santai sembari meneruskan langkahnya yang sempat terhenti itu.

"ketemu severus ya?" cerocos rio blak-blakan. Via sontak tersentak kaget, lalu segera berbalik dan melotot kearah kakaknya itu.

"hah?! Kok kakak tau?!" Rio langsung tertawa lepas melihat ekspresi yang ditunjukkan adiknya itu.

"hahaha… ya tau lah... Sapa suruh kemaren abis OL ga ditutup...” sahut rio dengan entengnya. Ternyata OL terakhir sivia dengan severus beberapa hari yang lalu, saat ia tiba-tiba harus meninggalkan kamarnya untuk toilet dulu, ini telah menyebabkan seorang penyusup berhasil mengintip rahasia yang ia simpan erat-erat itu. Dan sialnya lagi, sang penusup itu adalah rio, kakak sekaligus orang yang dia anggap orang paling menyebalkan satu rumah.

“Severus... gue sebel... wkwkwk…" ledek rio lagi seakan-akan menirukan membicaraan sivia dengan severus waktu itu. Gelak tawa dan ledekan rio itu jelas semakin membuat wajah sivia langsung bersemu merah sekali.

"ah ka rio! Nyebelin banget sih!" sivia langsung mencak-mencak, gak terima diledekin rio seperti itu. Dia langsung kembali melangkahkan kakinya mendekati rio. Dan tanpa ampun kakak satu-satunya itu dia gelitikin tanpa ampun.

“ampunn vi… ampun… hahaha…” pelas rio yang gak tahan dikitikin via. Via pun menghentikan aksinya itu.

“rasain! Lagian, siapa suruh ngeledekin via!” sahut via.

"loe juga, kecil-kecil udah naksir-naksir cowo! Bilangin mama lho..."

"biarin! Kakak juga via bilangin mama… Kayak via ga tau aja, ka rio kan suka ngintip-ngintip trus PDKT sama tetangga sebelah... Itu tu.. sama ka de.. hfpmm" cerocosan via langsung terhenti karena rio segera membekap mulut via, lalu celinguk-ngelinguk, memastikan tak ada orang disana. Lalu rio dengan ringannya langsung ngejitak kepala via.

"huss... bawel banget ya loe? Kalo ketahuan mama kan malu gue! Loe ngintip ya?!" omel rio. Via langsung terkekeh.

"iya.. Hehe..." sahut via. Rio langsung mendengus. Kini Via yang balas tertawa penuh kemenangan.

“haha… Posisi kita satu-satu ya kak… Jadi jangan ember, hehe… dahhh.. via pergi dulu kaka tayong…” kata via lagi sambil melangkah pergi.

“eh, via tunggu!” panggil rio lagi. Via berhenti dan kembali berbalik.

"emang beneran mau kopi darat loe sama severus itu?”

“ya bener lah…”

“yakin severus beneran baik?”

“yakin!!” sahut via dengan penuh keyakinan.

“gimana kalau gak? Gimana kalo severus itu penjahat penjual remaja kayak yang di tv?" argument rio. Biar bagaimana pun jailnya rio, tapi nalurinya sebagai kakak lelaki yang ingin melindungi adik perempuannya pasti muncul kepermukaan. Via tampak sedikit terpaku mendengar ucapan rio itu. Keragu-raguan mulai sedikit menggelitik hatinya, mengusik keyakinannya selama ini.

“tapi kalo berani sih ga papa. Kalo kamu diculik, kakak sih seneng-seneng aja, lumayan jatah makanannya bisa ditransfer ke kakak…” kata rio lagi dengan cuek sambil membalikkan badannya dan kembali asyik menonton tv.

Sementara via di belakang, masih terdiam, memikirkan perkataan rio barusan. ‘bener juga ya… gimana kalo penjahat? Gimana kalo orang aneh? Gimana gue ntar ngindarnya?’ pikiran-pikiran itu mulai bergelantungan di benak via. Tiba-tiba via jadi merasa bimbang, bingung, ragu... Perlahan ia menatap punggung rio yang tampak dengan santainya nonton film di depannya. Via mendengus kesal melihat kelakuan kakaknya yang cuek bebek itu, padahal dia yang bikin hatinya penuh kebimbangan seperti sekarang. ‘ah, ka rio ngeselin emang nih… Abis nakut-nakutin orang gitu, ngasih solusi kek! Eh, dia malah cuekin gue… Sekarang gue kudu gimana coba?’ Omel via dalam hati. Tapi…

Ting!

Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya. Via tersenyum lalu segera mendekati rio.

"kak riooo... Ka rio ganteng deh..."

"napa loe tiba-tiba muji-muji gue?! tumben…" sahut rio dingin tanpa mengalihkan pandangannya dari layar tv, masih bertahan dengan kadar kecuekannya yang cukup tinggi itu. Tapi via gak mau putus asa.

"temenin via ya, ketemu severus... "rayu via. Rio sontak menoleh ke samping, dimana via tengah menatapnya penuh harap dan tentu saja dengan senyum yang telah terpajang dengan begitu manis itu. Rio sedikit mengernyit dan melirik via dengan tatapan aneh, lalu ia segera membuang wajahnya.

"dihh ogah.. kaga mau gua! loe kira gue bodyguard loe?” sahut rio jutek sambil kembali memusatkan perhatiannya kepada tayangan tv dihadapannya.

“yah, kakak… kalo ada yang macem-macemin, kan via bisa minta tolong kakak. Masa nolongin adek sendiri gak mau?” rayu via lagi.

“Katanya loe yakin severus baik?" ledek rio lagi.

"emm... Iya sih.. tapi buat jaga-jaga aja... Ya kak, yaa.. Temenin yaaa..." rayunya lagi sambil goyang-goyang tangan kakaknya itu dengan manjanya. Rio masih tetap cuek gak menggubris sedikit pun permintaan via. Tapi via belum mau menyerah.

"ntar via traktir deh..."

"nggak..." tolak rio mentah-mentah

"es krim jumbo plus kue sus kesukaan kakak deh..."

"enggak..."

“ntar via isiin bensin motornya deh… Full sampe penuh!” rayu via lagi. Kali ini rio gak menjawab. Tampaknya ia mulai memikirkan tawaran menggiurkan via itu.

”plus coklat goldqueen 2 batang sekalian ya…" pinta rio langsung yg menyebutkan satu merk coklat lezat kesukaannya itu sambil menatap via lurus. Via terdiam sesaat, lalu langsung manyun sembari menggelembungkan kedua pipinya. ‘ini mah namanya perampokkan! Nyebelin banget iih kak rio! bisa langsung ludes nih tabungan gue kalo gini caranya’ benak via.

“mau gak?! Kalo gak, ya udahh…” kata rio lagi sambil kembali membalikkan badannya ke arah tv.

"ih, dasar rakus!” omel via, tapi, “Iya deh.. iya! Tapi, Mau kan?!" kata via akhirnya mau menuruti permintaan rio. Rio langsung menoleh tersenyum lebar.

"sip… kalo gini kan gue bisa ngasih dea sekalian, hehe… oke deh.., come on, kita berangkat!" sahut rio sambil berdiri dari duduknya.

-------------------BERSAMBUNG (3am)---------------------

0 komentar

FIKSI - PROMISE Part 39: Misi Untuk sang Bunda

Lanjutan dari PROMISE Part 38: Arti Sahabat. Baca juga Promise Part 1: Awal untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.

NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)

PROMISE - Part 39: Misi Untuk sang Bunda

-------------------misst3ri---------------------

Pekarangan samping rumah yang tampak asri itu begitu tenang. Tak nampak satu manusia pun berada di pekarangan samping itu. Tak ada satupun, kecuali…

Kresek.. kresek…

Ah, kecuali kedua anak yang tengah mengintip diam-diam itu tentunya. Kedua anak itu bersembunyi di balik lebatnya dedaunan, mengintip penuh kerahasiaan sembari berbisik-bisik pelan.

“errgg… brilian banget nih idenya si angel. Saking briliannya, sampe tega ngorbanin kita berdua!” omel debo.

“Kalo bunda sampe tau kita nyusup ke ruang kerja bunda diem-diem gini trus ngobok-ngobok isi ruangan beliau, bisa habis kita” sungut debo lagi. Obiet yang berada disisi debo, hanya tersenyum mendengar debo yang ngedumel dari tadi. Tapi ia lebih memilih untuk terus memantau ke arah depan daripada menyahuti debo.

“si angel enak udah gak tinggal disini, lah kita? Dapet asuransi keselamatan gak nih?”kata debo lagi.

“udah… kita udah gak punya banyak pilihan de. Bener kata angel. Dari pada kita terlambat, mending kita ngambil resiko gini. Loe mau karena kita telat bergerak, dan ternyata bunda punya penyakit parah dan akhirnya gak bisa tertolong lagi gara kita takut ngambil resiko? Mau loe?” sahut obiet akhirnya, tanpa mengalihkan pandangannya ke arah pantauannya.

“yaa.. gak gitu juga sih… cuman kan…” lirih debo lemah.

“udah… kita kan udah sepakat. Rencana ini gak boleh mundur. Sekarang, kalo angel dan rahmi udah bisa ngalihin perhatian bu panti dan ngejauhin semuanya dari ruang bu panti, kita langsung menyusup ke dalam. Oke?”

“siiipp…” sahut debo sambil ngancungin jempolnya.

“sekarang loe perhatiin bener-bener, liat-liat mereka ngasih kode aman” bisik obiet lagi.

Yap, Saat itu debo dan obiet tengah bersembunyi di balik pekarangan halaman samping panti, memantau tepat dari arah yang menghadap langsung jendela ruangan bu panti. Mereka berdua berencana akan menyusup masuk dan mencari bukti tentang penyakit bunda secara diam-diam. Ya, Bukti. Mereka tau, bunda sakit. Tapi mereka tidak tau sakit apa yang sebenarnya diderita bunda. Yang mereka tau, bunda harus di operasi karena suatu penyakit. Dan dari cerita obiet yang mendengar percakapan bunda dan mbak pengurus panti dulu, mereka bisa menarik kesimpulan kalau penyakit bunda harus segera ditangani kalau tak ingin berakibat fatal.

Dan hari itu, angel menawarkan sebuah rencana kepada mereka. Angel berpendapat, bunda pasti memiliki bukti tentang penyakitnya. Bunda pasti menerima surat hasil pemeriksaan labolatorium dari rumah sakit tempat bunda dirawat kemaren. Dan hasil pemeriksaan itu pasti bisa memberikan mereka informasi tentang penyakit bunda. Dan itulah yang mereka buru sekarang.

Dan sekarang mereka ber-4 sepakat untuk membagi tugas mereka. Obiet dan debo yang akan menyusup ke ruangan bunda. Sedangkan angel dan rahmi, dengan alibi pengen bikin kejutan buat papa mamanya, angel akan meminta bunda membantunya membuat sebuah kue. Bunda memang jago dalam masalah bikin kue seperti ini. Dan inilah peluang mereka. Jadi selama bunda beserta angel dan rahmi membuat kue itu, debo dan obiet akan secepatnya mencari bukti tersebut.

------------------3am------------------

Setelah beberapa saat menunggu, mereka mendapat kode dari rahmi bahwa bunda sudah berhasil dialihkan perhatiannya. Dan obiet dan debo pun mulai bergerak.

Sesuai rencana mereka, sebelumnya angel dan rahmi udah mendatangi bunda di ruang kerjanya untuk meminta bantuan bunda. Saat itulah, diam-diam jendela kamar bunda di buka agar obiet dan debo bisa masuk. Saat bunda sudah berhasil mereka jauhkan dari ruangannya dan mereka tahan agar tak masuk ke dalam ruangannya selama mungkin, saat itulah obiet dan debo beraksi.

Sebenarnya tentu akan lebih mudah jika mereka masuk melalui pintu depan saja. Tapi itu juga akan lebih mudah ketahuan karena banyaknya anak lain yang berkeliaran sana. Dengan diam-diam menyusup lewat jendela kamar seperti ini, ini tentu lebih aman dari mata-mata yang tak diharapkan keberadaannya melihat aksi mereka ini.

Mereka perlahan mendekat, lalu mengintip dari jendela. Ruangan sudah benar-benar sepi. Pintu jendela pun perlahan dibuka.

Kreatt… klek.

Berhasil. Pintu jendela berhasil mereka buka. Perlahan mereka membukanya dengan lebar, dan tak perlu waktu lama, obiet dan debo kini telah berada di dalam ruangan bunda.

Sesaat obiet memperhatikan ruangan itu dengan seksama. Ruangan bunda ini sebenarnya menjadi satu dengan ruang tidur bunda. Kedua ruangan itu hanya terpisah sebuah sekat yang membagi ruang besar itu menjadi 2 bagian dan dihubungkan dengan sebuah pintu. Ruang pertama berfungsi sebagai ruang kerja bunda. Dan ruang kedua yang bisa dimasuki dengan melewati sebuah pintu geser itu berfungsi sebagai ruang tidur bunda. Yang kini jadi focus mereka adalah ruang pertama, ruang kerja bunda. Karena diruang inilah kemungkinan besar bunda menyimpan segala macam berkas yang dimilikinya. Diruang itu ada sebuah meja kerja, 2 lemari arsip dan sebuah buffet kecil. Obiet segera bergerak dan mendekati lemari arsip disana.

“loe periksa di meja itu, gue meriksa lemari arsip ini” obiet memulai komandonya. Debo mengangguk dan segera mendekati meja kerja bu panti. Dan tanpa banyak bicara lagi, debo dan obiet segera bergerak.

Obiet kemudian secara hati-hati mulai memeriksa ratusan berkas dan map-map yang ada disana. Tangannya bergerak cepat menyusuri tiap-tiap map-map. Matanya menyipit, menandakan ia berkosentrasi penuh membaca cepat untuk menyeleksi tiap tulisan yang tertangkap di indera penglihatannya. Tapi, tiba-tiba konsentrasinya terpecahkan oleh sebuah suara.

“idihh… lutuna… harusnya loe banyakin makan biet, biar kaya gini lagi nih…” itu suara debo. Obiet yang mendengar itu menoleh ke arah debo. Tampak debo tengah memperhatikan sesuatu yang ada ditangannya dengan sebuah senyum geli di sudut bibirnya.

“eh, nemu apaan loe?!”Tanya obiet penasaran.

“ini foto loe kan? Ini ada tulisannya di belakang…’obiet kecil’… ih muka obiet waktu kecil gemesin ihh, tembem banget, wkwkwk…”sahut debo dengan nada menggoda sambil menunjukkan foto itu ke arah obiet.

Roman wajah obiet sedikit merona melihat foto itu. Itu memang foto obiet waktu masih balita. Dan parahnya lagi, itu saat dia lagi dimandiin sama bunda. Dan dengan gerak cepat, obiet segera mendatangi debo.

“eh, udah ah, malu gue!” protes obiet sambil ngerampas foto di tangan debo, “mending loe cari lagi kesana tuh! Bukannya ngocehin foto gue!” omel obiet lagi sambil mendorong debo kearah lemari arsip yang lain.

“iya pipi tembem…” goda debo lagi sambil bergegas menjauhi obiet dan memulai pencarian mereka lagi.

Obiet yang digoda seperti itu hanya tersenyum tipis, lalu mendekati meja tempat debo mengambil foto itu. Sesaat ia menatap lembaran foto di tangannya itu. Tanpa sadar bibir obiet membentuk lengkungan manis membentuk sebuah senyuman. Melihat foto dirinya bersama dikala kecil seperti kembali menguak kenangan manisnya bersama bunda. Bunda yang penuh kehangatan. Bunda yang selalu ada untuknya. Dan bunda yang selama ini telah membesarkannya dengan sejuta kasih sayang. Dan karena itu semualah, obiet bertekad akan sekuat tenaga membalas segala curahan perhatian dan kasih sayang itu.

Sesaat angan-angan obiet terbang ke masa-masa lalu. Dan saat angan itu kembali dan berhenti pada sebuah kenyataan di masa kini tentang keadaan bunda sekarang, tekad di hati obiet semakin menguat. ‘obiet gak bakal diem aja bun, obiet gak mau bunda kenapa-kenapa. Obiet akan berusaha bantu bunda, selalu ada untuk bunda, walau bunda gak pernah ngarepin itu atau bahkan nolak itu, tp obiet akan tetap lakuin itu… karena obiet sayang sama bunda…’ bisik hati obiet.

Dan perlahan obiet kemudian memasukkan kembali ke dalam laci meja bu panti. Dan bergegas kembali melakukan pencarian. Kembali dengan tujuan awalnya. Demi satu asa. Kebaikan bunda.

-----------------3am------------------

Setelah sekian waktu mencari, akhirnya…

“obiet! Ini bukan ya?” sontak debo tiba-tiba. Obiet segera mendekati debo dan mengambil amplok coklat yang berlogokan sebuah rumah sakit itu. Dengan kilat obiet membuka dan membacanya sekilas.

“iya de! Akhirnya ketemu!”seru obiet. Obiet dan debo saling pandang dengan senyum yang mengembang dari bibir keduanya. Penemuan itu tentu saja membuat keduanya terserang eforia kegembiraan. Ini berarti misi mereka telah berhasil. Tapi baru sebentar kegembiraan itu menguak dari diri mereka, tiba-tiba ketegangan kembali menyerang mereka. Dari luar kamar terdengar suara….

“bunda! tunggu! Jangan ke kamar dulu.. dikit lagi bun?!”

“iya bentar, bunda kelupaan sesuatu… ada yang mau bunda ambil bentar dikamar”

“tapi ini gimana bun.. bentar dulu bun…”

Obiet dan debo langsung saling pandang. Pancaran kegembiraan yang sebelumnya terpeta dari wajah keduanya, kini berganti menjadi ketengangan yang luar biasa. Suasana tampaknya dalam keadaan siaga satu buat mereka. Keberadaan mereka di ruang kerja bunda sudah tak bisa diperpanjang lagi. Mereka harus segera keluar sekarang, atau mereka bakal ketahuan. Dan tanpa banyak bicara lagi, obiet segera membereskan ruangan dan menyembunyikan berkas surat hasil lap milik bunda ke dalam bajunya, lalu dengan kilat menarik tangan debo, dan membawanya ke arah jendela kamar bunda.

“ayo de, buruan! Kita keluar lewat jendela sekarang! Nanti keburu bunda masuk!”

Obiet perlahan membuka daun jendela itu, lalu melompat keluar lebih dulu. Setelah itu obiet memegangi jendela itu, agar debo lebih mudah melompat keluar. Debo pun bergegas mengikuti jejak obiet.

Krekk... pletak… pletuk…

Saat melompat keluar, kalung yang dipakai debo putus terkait paku yang ada di pinggir jendela kamar. Kalung itu lalu terjatuh dan menggelinding ke dalam kamar bunda. Debo sontak kembali membalikkan badannya.

“de, mau ngapain lagi loe? cepet!” tegur obiet saat melihat debo kembali melompat ke dalam kamar.

“bentar, kalung gua putus! Kalo keliatan bunda, bisa ketahuan!”bisik debo.

Dengan cepat debo ngeraih kalung dan lempengan logam yang menjadi liontin kalung itu. Dalam sekali raup, kalung itu telah ada di genggamannya, dan dengan cepat ia masukkan ke kantong celananya. Tanpa melihat-lihat keadaan ruangan kerja bunda lagi, debo segera meloncat melewati jendela, dan menutup jendela, tepat saat pintu ruang kerja terbuka.

----------------3am-----------------

Setelah berhasil meloloskan diri, obiet dan debo langsung menuju kamar mereka. Dan setelah menunggu sekian lama, angel dan rahmi akhirnya datang menyusul mereka.

“gimana biet? Dapet gak?” serobot angel saat baru saja menampakkan batang hidungnya di muara pintu kamar obiet dan debo. Lalu rahmi dan angel masuk ke dalam dan menutup pintu agar tak ada yang mengetahui pertemuan tertutup mereka itu.

Obiet sesaat memandang angel dan rahmi. Tampak keduanya sangat tegang. Obiet tersenyum simpul, lalu mengeluarkan selembar amplok besar berwarna coklat yang ia sembunyikan dari tadi di balik bajunya. Ketika melihat itu, senyum angel dan rahmi langsung merekah lebar. Angel dan rahmi segera mendekati obiet dan debo, lalu ke-empat anak itu segera bergerumbul, dan mulai membuka amplok itu. Amplok di buka perlahan dan didalamnya ada seberkas kertas. Obiet sesaat menghentikan gerakkannya untuk sesaat memandang ke-3 temannya.

“Apapun yang tertulis disini, gua harap kita semua tetap tenang… siap?” Tanya obiet untuk lebih meyakinkan. Debo dkk menganguk. Lalu obiet mengambil nafas sesaat, kemudian secara perlahan ia membuka lembaran kertas di tangannya itu. dan dalam hitungan detik kedepan, ke-empat pasang mata itu telah mulai menelusuri rentetang huruf-huruf yang tercetak di lembaran kertas itu.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka telah membaca isi hasil pemeriksaan itu dan berhasil mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bunda, mereka sontak saling pandang dalam diam. Ketegangan tampak dari keempat anak itu. Tapi belum sempat ada yang berkomentar tentang hal itu, tiba-tiba panggilan yang begitu tiba-tiba itu harus menghentikan pertemuan rahasia mereka itu.

“Debo!!”

Angel, rahmi, obiet dan debo sesaat diam membeku.

“debo… Dimana kamu nak?”teriakkan panggilan itu kembali terdengar. Itu suara bunda.

“de, bunda manggil tuh” obiet menyadarkan kebisuan diantara mereka itu. Debo langsung menatap panic obiet.

“aduh… jangan-jangan bunda tau lagi. Aduh gimana nih? Gimana?!” debo tampak sangat panik mendengar panggilan itu.

“udah.. gpp… gak bakal ketahuan kok de… kalau gak, kenapa cuma loe yang dipanggil, bukan kita ber-4?”sahut angel.

“udah sana! Gak papa. Kita di belakang loe. Ntar kalo ketahuan, kita tanggung ini sama-sama” ucap obiet mencoba menenangkan debo. Debo terdiam sesaat, lalu menghirup udara dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Lalu ia mengangguk dan segera menjumpai bunda.

-----------------3am------------------

Debo mendatangi bunda yang berada di ruang tamu itu dengan jantung yang masih berdebar. Tapi dia memaksakan dirinya untuk bersikap wajar di hadapan bunda. Dan saat telah menjumpai wajah bunda, debo tersenyum tipis dan menegurnya.

“iya bun.. kenapa manggil debo?”

“de, kemaren kamu minta turunin angklung dan calung di loteng atas kan? Itu sama pak dadang udah di turunin barusan” kata bunda. Seketika hati debo langsung merasakan kelegaan yang luar biasa. Hari sebelumnya memang debo minta izin sama bunda buat memakai angklung dan calung (alat musik sunda dari bamboo sama seperti angklung, tapi di pukul) yang ada dip anti untuk digunakan mereka bersama anak-anak sanggar nanti.

“oh, iy..iya bun.. makasih. Debo datengin pak dadang sekarang deh…” sahut debo cepat sambil tersenyum lepas. Lalu ia segera berbalik. Tapi, baru saja debo berbalik, bunda udah kembali manggil dia.

“de, kalung kamu mana? Biasanya dipake terus…”

Langkah debo seketika terhenti, lalu diam mematung. Mendengar kalung dia di sebut-sebut, nafasnya seakan-akan ikut terhenti juga, berhenti mengalirkan oksigen keseluruh aliran darahnya sehingga membuat jantung berdegup kencang, seolah-olah memaksanya bekerja cepat agar kembali memasok oksigen. Keringat dingin pun menyerbu dan menyebar keseluruh pori-porinya. Lalu, masih dengan degupan jantung yang tak terkendali itu, Debo perlahan berbalik dan menatap bunda dengan wajah yang sebiasa mungkin.

“anu.. ada kok bunda dikamar…”lirih debo.

“kenapa gak dipakai? udah putus?”

“hah? Putus?! Ee…”

Debo tampak kaget. Tapi dia segera membiasakan ekspresi wajahnya. Tapi sepertinya itu agak sia-sia. Bunda telah menangkap jelas debo yang tampak serba salah itu.

“kenapa kamu de?”

“hah? Iy.. iya bunda.. itu… putus…” sahut debo cepat. Bunda sekilas mengerutkan keningnya.

“putus dimana?”

“di..anu.. itu… di kamar”

“bener dikamar? Tapi ini putusan kalung kamu bukan?”

Debo meraba kantongnya, tempat ia menyimpan putusan kalungnya tadi. Dan hanya seutas tali yang selama ini melingkar di lehernya yang teraba indera perabanya. Tak ada lempengan logam yang menjadi liontin itu dikantongnya. Seketika itu juga hati debo menyeleos. ‘ah, sial! Pasti tadi lepas gue masukin jadi gak masuk kantong.. mampus gue! ya, Allah…. Help me, please…’ rintih debo dalam hatinya.

“punya kamu kan? Kalau putus di kamar, trus ini kok bisa ada di ruangan bunda?” Tanya bunda dengan pandangan menyelidik.

Muka debo sudah mulai pucat. Kegugupan, ketakutan benar-benar membobol ketenangan dirinya yang sedari tadi mati-matian ia pertahankan. Keringat dingin segera membanjirinya.

“pas putus gelinding sampe kesana mungkin bun…” tanpa sadar, itulah jawaban yang akhirnya terlontar dari mulut debo dalam segala kepanikan dan kegugupan di dalam dirinya. Dia sesaat menelan ludahnya sendiri. Dan debo seketika tersadar akan ucapannya yang cukup asal tadi. Dalam hatinya debo langsung mengumpat perkataannya barusan. Kenapa sampai keluar jawaban bodoh seperti itu. Mana mungkin logam gepeng berbentuk segi empat seperti itu bisa ngegelinding sendiri sampai ruang bunda? Kenapa dia gak bilang kalo dimainin adek-adek yang lain. Tapi apalah daya, sama seperti ludahnya yang tlah tertelan itu, kata-katanya yang telah terlontar itupun tak mungkin lagi bisa ia minta kembali.

“de? Kamu ada masuk ruang kerja bunda?” Tanya bunda lagi dengan nada lebih menyelidik. Debo tak mampu lagi membuka suaranya. Dia hanya mampu diam disana sambil memandang bunda dengan tatapan

“kenapa diem? Jadi bener kamu masuk ruang bunda?” cerca bunda lagi. Tapi debo tetap bertahan dengan kebisuannya.

“debo! Jujur sama bunda… bunda gak pernah ngajarin anak bunda buat bohong!” kata bunda keras. Debo masih saja tak mampu mengeluarkan satu oatah kata pun. Lidahnya seolah kelu, terbelenggu kuatnya ikatan yang dihadirkan kegugupan dirinya dan juga rasa bersalahnya terhadap sang bunda. Dia benar-benar telah menciut sekarang. Tak berani melakukan apapun. Debo pun hanya bisa menunduk pasrah sekarang. Andai saja dia gak inget kalau dia itu cowo, mungkin debo udah pengen nangis sekarang karena saking merasa tertekannya bathinnya sekarang.

“debo! Jawab bunda! Apa betul kamu…”

“jangan marahin debo bun… iya bener, kita emang udah masuk ruang bunda tanpa izin. Obiet yang ngajak debo” tiba-tiba obiet muncul dari belakang debo. Dibelakangnya rahmi menyusul. Obiet dan rahmi yang sedari tadi mengintip dari belakang, setelah merasa bahwa debo sudah tersudutkan sekali dan tak mungkin lagi bisa menghindar, keluar dari persembunyiannya dan memecah ketegangan itu.

“obiet?” bunda agak kaget dengan kehadiran obiet. Dan terlebih kaget lagi ketika mendengar bahwa sebenarnya anak asuh kesayangannya itulah yang mengotaki aksi yang tidak ia sukai itu. obiet perlahan mendekat, dan berdiri tepat di depan debo. Ia berdiri dengan tegapnya, seolah dialah perwira dalam perang itu, dengan sorot mata tegas, tapi tetap memancarkan kelembutan seperti biasanya. Seolah mempertegas, bahwa dirinya lah yang bertanggung jawab atas segala yang terjadi.

“maaf bun... Obiet sama debo udah berani masuk ruang kerja bunda gak pake izin” lanjut obiet lagi dengan nada yang pasti.

“buat apa nak?”

Obiet sesaat menunduk. Sesaat ia melirik debo yang kini telah berdiri disampingnya. Debo mengangguk dengan sorot mata antara sebuah dorongan keyakinan dan kepasrahan. Obiet mengehela nafasnya sesaat, lalu mengeluarkan sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan dibalik bajunya.

“buat cari tau tentang ini” lirih obiet sembari memperlihatkan surat pemeriksaan bunda yang berhasil mereka curi diam-diam tadi. Bunda begitu terperangah ketika melihat obiet menunjukkan surat hasil pemeriksaan itu.

“maafin kita bun… kita terlalu lancang buat bongkar-bongkar. Tapi itu semua karena kita peduli sama bunda. Kita tau bunda lagi sakit kan? Tapi kenapa bunda gak pernah mau berbagi masalah ini ke kita? Kalau bunda selalu ada buat kita saat kita punya masalah, kita akan lakuin itu juga buat bunda… kita pasti bakal ada buat bunda” lirih obiet.

“iya bun… kita kan khawatir sama bunda.” kata rahmi juga.

“bunda kenapa gak operasi?” Tanya debo juga. Bunda menatap anak-anaknya itu dengan sejuta perasaan. Beliau sesaat menghela nafasnya, lalu perlahan bergerak menuju sofa yang terletak di sudut ruangan itu dan menghenyakkan diri beliau disana. Anak-anak memandang penuh perhatian kepada bunda. Tampak di hadapan mereka kini, segala kegundahan yang selama ini di tutup-tutupi bunda itu.

“gak bisa segampang itu. Banyak hal yang harus bunda pikirkan” lirih bunda pelan beberapa saat kemudian.

“termasuk tentang biaya operasi??” Tanya obiet hati-hati. Bunda hanya menatap sesaat lalu kembali menunduk. Walau tak ada kata yang teruntai dari lisannya, anak-anak bisa tau kalau pertanyaan yang baru saja terlontar dari mereka itu memang benar menjadi masalah buat bunda. Obiet perlahan mendekati bunda, dan duduk disamping bunda.

“obiet liat tadi ada surat tanah bunda di atas meja. Bunda gak berniat ngejual tanah perkebunan bunda di desa kan?” Tanya obiet hati-hati. Bunda menatap obiet, lalu tersenyum tipis. Anak yang selama ini ia besarkan itu benar-benar telah tumbuh jadi orang yang berpikiran kritis dan sangat peka pada sekitarnya.

“bunda bimbang… di satu sisi, bunda harus segera mengangkat penyakit ini. Tapi disisi lain, bunda masih mikirin anak-anak bunda di desa. Memang benar, suami bunda udah minta bunda jual tanah itu, tapi, tanpa tanah perkebunan itu, bapak dan anak-anak bunda di desa makan apa?”

“bunda. Kata bunda dulu, setiap manusia harus saling menolong kan? Jadi, sekarang…”

“tapi… bunda gak mau ngerepotin”

“kita gak akan merasa direpotkan kok bun…” Angel yang sedari tadi belum menyusul obiet dkk keluar, kini telah keluar dan menunjukkan dirinya.

“bunda selama ini udah menyerahkan segala waktu, tenaga, jiwa, raga bunda untuk kami. Bunda yang udah dengan ikhlas ngerawat kami, ngedidik kami. Bunda selalu ada buat kami. Jadi tak ada alasan buat kami untuk merasa terepotkan. Kami bakal ada buat bunda….”kata angel lagi.

“bunda… ini papa darma mau ngomong” lanjut angel kemudian sembari memberikan HPnya kepada bunda. Rupanya selama debo, obiet dan rahmi berbicara dengan bunda, angel menghubungi papanya. Dan sebenarnya, angel sebelumnya sudah menceritakan perihal ini dengan papanya. Dan dengan angel, papanya telah berjanji akan membantu bunda jika bunda memang tengah sakit keras dan perlu bantuan segera. Dan kini, melihat keadaan yang sudah sangat mendesak, angel segera menghubungi papanya agar bisa berbicara langsung dengan bunda.

Sesaat bunda menatap ragu ke arah angel. Beliau sesungguhnya sangat tidak ingin merepotkan orang lain. Bunda merasa, biarlah dirinya sendiri yang menanggung. Tapi melihat tatapan penuh permohonan dari angel dan juga obiet, debo, rahmi, akhirnya beliau ambil juga HP itu.

“assalamu’alaikum…, iya pak darma?”

“wa’alaikum salam bu ira… bunda.. saya sudah mendengar cerita dari angel. Dan… saya bisa bantu bunda untuk bisa sembuh dari penyakit bunda”

“tapi pak darma, saya benar-benar gak enak… saya masih bisa mengusahakan ini sendiri…”

“udah… gak usah sungkan-sungkan. Kebetulan adik saya seorang dokter bedah. Jadi saya pikir, dia pasti bisa bantu bunda untuk mengangkat tumor di perut bunda.” Ucap pak darma. Ya, tumor. Ada tumor di perut bunda. Itulah yang menyebabkan bunda sering merasa daerah perutnya sakit.

“tapi….” Ucapan Bunda masih berusaha untuk menolak itu, kembali di potong pak darma.

“Bunda gak menolak sebuah kebajikan kan?” ucap pak darma lagi. Bunda terdiam.

“Jadi, izinkan saya menjalankan perintah-Nya untuk saling membantu kepada sesamanya. Anggep aja, ini balasan dari Allah buat bunda karena udah sepenuh hati merawat anak-anak yatim piatu seperti angel dan anak-anak panti yang bunda rawat… bunda gak menolak rezeki dari Allah kan?” kata pak darma lagi.

Setelah mendengar perkataan pak darma tadi, bunda sudah tak bisa berkata-kata lagi. Air mata bunda tanpa sadar mengalir. Bunda memandang obiet, debo, rahmi, angel yang kini tersenyum kearahnya. Bunda membalas senyum itu dengan senyumnya yang telah mengembang begitu indah. Penuh rasa terimakasih. Penuh rasa bersyukur. Tanpa sadar beliau sudah merangkul keempat anak asuhnya itu dengan penuh rasa syukur yang tiada terkira.

------------------BERSAMBUNG (3am)--------------------

0 komentar