This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

FIKSI - PROMISE Part 39: Misi Untuk sang Bunda

Lanjutan dari PROMISE Part 38: Arti Sahabat. Baca juga Promise Part 1: Awal untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.

NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)

PROMISE - Part 39: Misi Untuk sang Bunda

-------------------misst3ri---------------------

Pekarangan samping rumah yang tampak asri itu begitu tenang. Tak nampak satu manusia pun berada di pekarangan samping itu. Tak ada satupun, kecuali…

Kresek.. kresek…

Ah, kecuali kedua anak yang tengah mengintip diam-diam itu tentunya. Kedua anak itu bersembunyi di balik lebatnya dedaunan, mengintip penuh kerahasiaan sembari berbisik-bisik pelan.

“errgg… brilian banget nih idenya si angel. Saking briliannya, sampe tega ngorbanin kita berdua!” omel debo.

“Kalo bunda sampe tau kita nyusup ke ruang kerja bunda diem-diem gini trus ngobok-ngobok isi ruangan beliau, bisa habis kita” sungut debo lagi. Obiet yang berada disisi debo, hanya tersenyum mendengar debo yang ngedumel dari tadi. Tapi ia lebih memilih untuk terus memantau ke arah depan daripada menyahuti debo.

“si angel enak udah gak tinggal disini, lah kita? Dapet asuransi keselamatan gak nih?”kata debo lagi.

“udah… kita udah gak punya banyak pilihan de. Bener kata angel. Dari pada kita terlambat, mending kita ngambil resiko gini. Loe mau karena kita telat bergerak, dan ternyata bunda punya penyakit parah dan akhirnya gak bisa tertolong lagi gara kita takut ngambil resiko? Mau loe?” sahut obiet akhirnya, tanpa mengalihkan pandangannya ke arah pantauannya.

“yaa.. gak gitu juga sih… cuman kan…” lirih debo lemah.

“udah… kita kan udah sepakat. Rencana ini gak boleh mundur. Sekarang, kalo angel dan rahmi udah bisa ngalihin perhatian bu panti dan ngejauhin semuanya dari ruang bu panti, kita langsung menyusup ke dalam. Oke?”

“siiipp…” sahut debo sambil ngancungin jempolnya.

“sekarang loe perhatiin bener-bener, liat-liat mereka ngasih kode aman” bisik obiet lagi.

Yap, Saat itu debo dan obiet tengah bersembunyi di balik pekarangan halaman samping panti, memantau tepat dari arah yang menghadap langsung jendela ruangan bu panti. Mereka berdua berencana akan menyusup masuk dan mencari bukti tentang penyakit bunda secara diam-diam. Ya, Bukti. Mereka tau, bunda sakit. Tapi mereka tidak tau sakit apa yang sebenarnya diderita bunda. Yang mereka tau, bunda harus di operasi karena suatu penyakit. Dan dari cerita obiet yang mendengar percakapan bunda dan mbak pengurus panti dulu, mereka bisa menarik kesimpulan kalau penyakit bunda harus segera ditangani kalau tak ingin berakibat fatal.

Dan hari itu, angel menawarkan sebuah rencana kepada mereka. Angel berpendapat, bunda pasti memiliki bukti tentang penyakitnya. Bunda pasti menerima surat hasil pemeriksaan labolatorium dari rumah sakit tempat bunda dirawat kemaren. Dan hasil pemeriksaan itu pasti bisa memberikan mereka informasi tentang penyakit bunda. Dan itulah yang mereka buru sekarang.

Dan sekarang mereka ber-4 sepakat untuk membagi tugas mereka. Obiet dan debo yang akan menyusup ke ruangan bunda. Sedangkan angel dan rahmi, dengan alibi pengen bikin kejutan buat papa mamanya, angel akan meminta bunda membantunya membuat sebuah kue. Bunda memang jago dalam masalah bikin kue seperti ini. Dan inilah peluang mereka. Jadi selama bunda beserta angel dan rahmi membuat kue itu, debo dan obiet akan secepatnya mencari bukti tersebut.

------------------3am------------------

Setelah beberapa saat menunggu, mereka mendapat kode dari rahmi bahwa bunda sudah berhasil dialihkan perhatiannya. Dan obiet dan debo pun mulai bergerak.

Sesuai rencana mereka, sebelumnya angel dan rahmi udah mendatangi bunda di ruang kerjanya untuk meminta bantuan bunda. Saat itulah, diam-diam jendela kamar bunda di buka agar obiet dan debo bisa masuk. Saat bunda sudah berhasil mereka jauhkan dari ruangannya dan mereka tahan agar tak masuk ke dalam ruangannya selama mungkin, saat itulah obiet dan debo beraksi.

Sebenarnya tentu akan lebih mudah jika mereka masuk melalui pintu depan saja. Tapi itu juga akan lebih mudah ketahuan karena banyaknya anak lain yang berkeliaran sana. Dengan diam-diam menyusup lewat jendela kamar seperti ini, ini tentu lebih aman dari mata-mata yang tak diharapkan keberadaannya melihat aksi mereka ini.

Mereka perlahan mendekat, lalu mengintip dari jendela. Ruangan sudah benar-benar sepi. Pintu jendela pun perlahan dibuka.

Kreatt… klek.

Berhasil. Pintu jendela berhasil mereka buka. Perlahan mereka membukanya dengan lebar, dan tak perlu waktu lama, obiet dan debo kini telah berada di dalam ruangan bunda.

Sesaat obiet memperhatikan ruangan itu dengan seksama. Ruangan bunda ini sebenarnya menjadi satu dengan ruang tidur bunda. Kedua ruangan itu hanya terpisah sebuah sekat yang membagi ruang besar itu menjadi 2 bagian dan dihubungkan dengan sebuah pintu. Ruang pertama berfungsi sebagai ruang kerja bunda. Dan ruang kedua yang bisa dimasuki dengan melewati sebuah pintu geser itu berfungsi sebagai ruang tidur bunda. Yang kini jadi focus mereka adalah ruang pertama, ruang kerja bunda. Karena diruang inilah kemungkinan besar bunda menyimpan segala macam berkas yang dimilikinya. Diruang itu ada sebuah meja kerja, 2 lemari arsip dan sebuah buffet kecil. Obiet segera bergerak dan mendekati lemari arsip disana.

“loe periksa di meja itu, gue meriksa lemari arsip ini” obiet memulai komandonya. Debo mengangguk dan segera mendekati meja kerja bu panti. Dan tanpa banyak bicara lagi, debo dan obiet segera bergerak.

Obiet kemudian secara hati-hati mulai memeriksa ratusan berkas dan map-map yang ada disana. Tangannya bergerak cepat menyusuri tiap-tiap map-map. Matanya menyipit, menandakan ia berkosentrasi penuh membaca cepat untuk menyeleksi tiap tulisan yang tertangkap di indera penglihatannya. Tapi, tiba-tiba konsentrasinya terpecahkan oleh sebuah suara.

“idihh… lutuna… harusnya loe banyakin makan biet, biar kaya gini lagi nih…” itu suara debo. Obiet yang mendengar itu menoleh ke arah debo. Tampak debo tengah memperhatikan sesuatu yang ada ditangannya dengan sebuah senyum geli di sudut bibirnya.

“eh, nemu apaan loe?!”Tanya obiet penasaran.

“ini foto loe kan? Ini ada tulisannya di belakang…’obiet kecil’… ih muka obiet waktu kecil gemesin ihh, tembem banget, wkwkwk…”sahut debo dengan nada menggoda sambil menunjukkan foto itu ke arah obiet.

Roman wajah obiet sedikit merona melihat foto itu. Itu memang foto obiet waktu masih balita. Dan parahnya lagi, itu saat dia lagi dimandiin sama bunda. Dan dengan gerak cepat, obiet segera mendatangi debo.

“eh, udah ah, malu gue!” protes obiet sambil ngerampas foto di tangan debo, “mending loe cari lagi kesana tuh! Bukannya ngocehin foto gue!” omel obiet lagi sambil mendorong debo kearah lemari arsip yang lain.

“iya pipi tembem…” goda debo lagi sambil bergegas menjauhi obiet dan memulai pencarian mereka lagi.

Obiet yang digoda seperti itu hanya tersenyum tipis, lalu mendekati meja tempat debo mengambil foto itu. Sesaat ia menatap lembaran foto di tangannya itu. Tanpa sadar bibir obiet membentuk lengkungan manis membentuk sebuah senyuman. Melihat foto dirinya bersama dikala kecil seperti kembali menguak kenangan manisnya bersama bunda. Bunda yang penuh kehangatan. Bunda yang selalu ada untuknya. Dan bunda yang selama ini telah membesarkannya dengan sejuta kasih sayang. Dan karena itu semualah, obiet bertekad akan sekuat tenaga membalas segala curahan perhatian dan kasih sayang itu.

Sesaat angan-angan obiet terbang ke masa-masa lalu. Dan saat angan itu kembali dan berhenti pada sebuah kenyataan di masa kini tentang keadaan bunda sekarang, tekad di hati obiet semakin menguat. ‘obiet gak bakal diem aja bun, obiet gak mau bunda kenapa-kenapa. Obiet akan berusaha bantu bunda, selalu ada untuk bunda, walau bunda gak pernah ngarepin itu atau bahkan nolak itu, tp obiet akan tetap lakuin itu… karena obiet sayang sama bunda…’ bisik hati obiet.

Dan perlahan obiet kemudian memasukkan kembali ke dalam laci meja bu panti. Dan bergegas kembali melakukan pencarian. Kembali dengan tujuan awalnya. Demi satu asa. Kebaikan bunda.

-----------------3am------------------

Setelah sekian waktu mencari, akhirnya…

“obiet! Ini bukan ya?” sontak debo tiba-tiba. Obiet segera mendekati debo dan mengambil amplok coklat yang berlogokan sebuah rumah sakit itu. Dengan kilat obiet membuka dan membacanya sekilas.

“iya de! Akhirnya ketemu!”seru obiet. Obiet dan debo saling pandang dengan senyum yang mengembang dari bibir keduanya. Penemuan itu tentu saja membuat keduanya terserang eforia kegembiraan. Ini berarti misi mereka telah berhasil. Tapi baru sebentar kegembiraan itu menguak dari diri mereka, tiba-tiba ketegangan kembali menyerang mereka. Dari luar kamar terdengar suara….

“bunda! tunggu! Jangan ke kamar dulu.. dikit lagi bun?!”

“iya bentar, bunda kelupaan sesuatu… ada yang mau bunda ambil bentar dikamar”

“tapi ini gimana bun.. bentar dulu bun…”

Obiet dan debo langsung saling pandang. Pancaran kegembiraan yang sebelumnya terpeta dari wajah keduanya, kini berganti menjadi ketengangan yang luar biasa. Suasana tampaknya dalam keadaan siaga satu buat mereka. Keberadaan mereka di ruang kerja bunda sudah tak bisa diperpanjang lagi. Mereka harus segera keluar sekarang, atau mereka bakal ketahuan. Dan tanpa banyak bicara lagi, obiet segera membereskan ruangan dan menyembunyikan berkas surat hasil lap milik bunda ke dalam bajunya, lalu dengan kilat menarik tangan debo, dan membawanya ke arah jendela kamar bunda.

“ayo de, buruan! Kita keluar lewat jendela sekarang! Nanti keburu bunda masuk!”

Obiet perlahan membuka daun jendela itu, lalu melompat keluar lebih dulu. Setelah itu obiet memegangi jendela itu, agar debo lebih mudah melompat keluar. Debo pun bergegas mengikuti jejak obiet.

Krekk... pletak… pletuk…

Saat melompat keluar, kalung yang dipakai debo putus terkait paku yang ada di pinggir jendela kamar. Kalung itu lalu terjatuh dan menggelinding ke dalam kamar bunda. Debo sontak kembali membalikkan badannya.

“de, mau ngapain lagi loe? cepet!” tegur obiet saat melihat debo kembali melompat ke dalam kamar.

“bentar, kalung gua putus! Kalo keliatan bunda, bisa ketahuan!”bisik debo.

Dengan cepat debo ngeraih kalung dan lempengan logam yang menjadi liontin kalung itu. Dalam sekali raup, kalung itu telah ada di genggamannya, dan dengan cepat ia masukkan ke kantong celananya. Tanpa melihat-lihat keadaan ruangan kerja bunda lagi, debo segera meloncat melewati jendela, dan menutup jendela, tepat saat pintu ruang kerja terbuka.

----------------3am-----------------

Setelah berhasil meloloskan diri, obiet dan debo langsung menuju kamar mereka. Dan setelah menunggu sekian lama, angel dan rahmi akhirnya datang menyusul mereka.

“gimana biet? Dapet gak?” serobot angel saat baru saja menampakkan batang hidungnya di muara pintu kamar obiet dan debo. Lalu rahmi dan angel masuk ke dalam dan menutup pintu agar tak ada yang mengetahui pertemuan tertutup mereka itu.

Obiet sesaat memandang angel dan rahmi. Tampak keduanya sangat tegang. Obiet tersenyum simpul, lalu mengeluarkan selembar amplok besar berwarna coklat yang ia sembunyikan dari tadi di balik bajunya. Ketika melihat itu, senyum angel dan rahmi langsung merekah lebar. Angel dan rahmi segera mendekati obiet dan debo, lalu ke-empat anak itu segera bergerumbul, dan mulai membuka amplok itu. Amplok di buka perlahan dan didalamnya ada seberkas kertas. Obiet sesaat menghentikan gerakkannya untuk sesaat memandang ke-3 temannya.

“Apapun yang tertulis disini, gua harap kita semua tetap tenang… siap?” Tanya obiet untuk lebih meyakinkan. Debo dkk menganguk. Lalu obiet mengambil nafas sesaat, kemudian secara perlahan ia membuka lembaran kertas di tangannya itu. dan dalam hitungan detik kedepan, ke-empat pasang mata itu telah mulai menelusuri rentetang huruf-huruf yang tercetak di lembaran kertas itu.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka telah membaca isi hasil pemeriksaan itu dan berhasil mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bunda, mereka sontak saling pandang dalam diam. Ketegangan tampak dari keempat anak itu. Tapi belum sempat ada yang berkomentar tentang hal itu, tiba-tiba panggilan yang begitu tiba-tiba itu harus menghentikan pertemuan rahasia mereka itu.

“Debo!!”

Angel, rahmi, obiet dan debo sesaat diam membeku.

“debo… Dimana kamu nak?”teriakkan panggilan itu kembali terdengar. Itu suara bunda.

“de, bunda manggil tuh” obiet menyadarkan kebisuan diantara mereka itu. Debo langsung menatap panic obiet.

“aduh… jangan-jangan bunda tau lagi. Aduh gimana nih? Gimana?!” debo tampak sangat panik mendengar panggilan itu.

“udah.. gpp… gak bakal ketahuan kok de… kalau gak, kenapa cuma loe yang dipanggil, bukan kita ber-4?”sahut angel.

“udah sana! Gak papa. Kita di belakang loe. Ntar kalo ketahuan, kita tanggung ini sama-sama” ucap obiet mencoba menenangkan debo. Debo terdiam sesaat, lalu menghirup udara dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Lalu ia mengangguk dan segera menjumpai bunda.

-----------------3am------------------

Debo mendatangi bunda yang berada di ruang tamu itu dengan jantung yang masih berdebar. Tapi dia memaksakan dirinya untuk bersikap wajar di hadapan bunda. Dan saat telah menjumpai wajah bunda, debo tersenyum tipis dan menegurnya.

“iya bun.. kenapa manggil debo?”

“de, kemaren kamu minta turunin angklung dan calung di loteng atas kan? Itu sama pak dadang udah di turunin barusan” kata bunda. Seketika hati debo langsung merasakan kelegaan yang luar biasa. Hari sebelumnya memang debo minta izin sama bunda buat memakai angklung dan calung (alat musik sunda dari bamboo sama seperti angklung, tapi di pukul) yang ada dip anti untuk digunakan mereka bersama anak-anak sanggar nanti.

“oh, iy..iya bun.. makasih. Debo datengin pak dadang sekarang deh…” sahut debo cepat sambil tersenyum lepas. Lalu ia segera berbalik. Tapi, baru saja debo berbalik, bunda udah kembali manggil dia.

“de, kalung kamu mana? Biasanya dipake terus…”

Langkah debo seketika terhenti, lalu diam mematung. Mendengar kalung dia di sebut-sebut, nafasnya seakan-akan ikut terhenti juga, berhenti mengalirkan oksigen keseluruh aliran darahnya sehingga membuat jantung berdegup kencang, seolah-olah memaksanya bekerja cepat agar kembali memasok oksigen. Keringat dingin pun menyerbu dan menyebar keseluruh pori-porinya. Lalu, masih dengan degupan jantung yang tak terkendali itu, Debo perlahan berbalik dan menatap bunda dengan wajah yang sebiasa mungkin.

“anu.. ada kok bunda dikamar…”lirih debo.

“kenapa gak dipakai? udah putus?”

“hah? Putus?! Ee…”

Debo tampak kaget. Tapi dia segera membiasakan ekspresi wajahnya. Tapi sepertinya itu agak sia-sia. Bunda telah menangkap jelas debo yang tampak serba salah itu.

“kenapa kamu de?”

“hah? Iy.. iya bunda.. itu… putus…” sahut debo cepat. Bunda sekilas mengerutkan keningnya.

“putus dimana?”

“di..anu.. itu… di kamar”

“bener dikamar? Tapi ini putusan kalung kamu bukan?”

Debo meraba kantongnya, tempat ia menyimpan putusan kalungnya tadi. Dan hanya seutas tali yang selama ini melingkar di lehernya yang teraba indera perabanya. Tak ada lempengan logam yang menjadi liontin itu dikantongnya. Seketika itu juga hati debo menyeleos. ‘ah, sial! Pasti tadi lepas gue masukin jadi gak masuk kantong.. mampus gue! ya, Allah…. Help me, please…’ rintih debo dalam hatinya.

“punya kamu kan? Kalau putus di kamar, trus ini kok bisa ada di ruangan bunda?” Tanya bunda dengan pandangan menyelidik.

Muka debo sudah mulai pucat. Kegugupan, ketakutan benar-benar membobol ketenangan dirinya yang sedari tadi mati-matian ia pertahankan. Keringat dingin segera membanjirinya.

“pas putus gelinding sampe kesana mungkin bun…” tanpa sadar, itulah jawaban yang akhirnya terlontar dari mulut debo dalam segala kepanikan dan kegugupan di dalam dirinya. Dia sesaat menelan ludahnya sendiri. Dan debo seketika tersadar akan ucapannya yang cukup asal tadi. Dalam hatinya debo langsung mengumpat perkataannya barusan. Kenapa sampai keluar jawaban bodoh seperti itu. Mana mungkin logam gepeng berbentuk segi empat seperti itu bisa ngegelinding sendiri sampai ruang bunda? Kenapa dia gak bilang kalo dimainin adek-adek yang lain. Tapi apalah daya, sama seperti ludahnya yang tlah tertelan itu, kata-katanya yang telah terlontar itupun tak mungkin lagi bisa ia minta kembali.

“de? Kamu ada masuk ruang kerja bunda?” Tanya bunda lagi dengan nada lebih menyelidik. Debo tak mampu lagi membuka suaranya. Dia hanya mampu diam disana sambil memandang bunda dengan tatapan

“kenapa diem? Jadi bener kamu masuk ruang bunda?” cerca bunda lagi. Tapi debo tetap bertahan dengan kebisuannya.

“debo! Jujur sama bunda… bunda gak pernah ngajarin anak bunda buat bohong!” kata bunda keras. Debo masih saja tak mampu mengeluarkan satu oatah kata pun. Lidahnya seolah kelu, terbelenggu kuatnya ikatan yang dihadirkan kegugupan dirinya dan juga rasa bersalahnya terhadap sang bunda. Dia benar-benar telah menciut sekarang. Tak berani melakukan apapun. Debo pun hanya bisa menunduk pasrah sekarang. Andai saja dia gak inget kalau dia itu cowo, mungkin debo udah pengen nangis sekarang karena saking merasa tertekannya bathinnya sekarang.

“debo! Jawab bunda! Apa betul kamu…”

“jangan marahin debo bun… iya bener, kita emang udah masuk ruang bunda tanpa izin. Obiet yang ngajak debo” tiba-tiba obiet muncul dari belakang debo. Dibelakangnya rahmi menyusul. Obiet dan rahmi yang sedari tadi mengintip dari belakang, setelah merasa bahwa debo sudah tersudutkan sekali dan tak mungkin lagi bisa menghindar, keluar dari persembunyiannya dan memecah ketegangan itu.

“obiet?” bunda agak kaget dengan kehadiran obiet. Dan terlebih kaget lagi ketika mendengar bahwa sebenarnya anak asuh kesayangannya itulah yang mengotaki aksi yang tidak ia sukai itu. obiet perlahan mendekat, dan berdiri tepat di depan debo. Ia berdiri dengan tegapnya, seolah dialah perwira dalam perang itu, dengan sorot mata tegas, tapi tetap memancarkan kelembutan seperti biasanya. Seolah mempertegas, bahwa dirinya lah yang bertanggung jawab atas segala yang terjadi.

“maaf bun... Obiet sama debo udah berani masuk ruang kerja bunda gak pake izin” lanjut obiet lagi dengan nada yang pasti.

“buat apa nak?”

Obiet sesaat menunduk. Sesaat ia melirik debo yang kini telah berdiri disampingnya. Debo mengangguk dengan sorot mata antara sebuah dorongan keyakinan dan kepasrahan. Obiet mengehela nafasnya sesaat, lalu mengeluarkan sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan dibalik bajunya.

“buat cari tau tentang ini” lirih obiet sembari memperlihatkan surat pemeriksaan bunda yang berhasil mereka curi diam-diam tadi. Bunda begitu terperangah ketika melihat obiet menunjukkan surat hasil pemeriksaan itu.

“maafin kita bun… kita terlalu lancang buat bongkar-bongkar. Tapi itu semua karena kita peduli sama bunda. Kita tau bunda lagi sakit kan? Tapi kenapa bunda gak pernah mau berbagi masalah ini ke kita? Kalau bunda selalu ada buat kita saat kita punya masalah, kita akan lakuin itu juga buat bunda… kita pasti bakal ada buat bunda” lirih obiet.

“iya bun… kita kan khawatir sama bunda.” kata rahmi juga.

“bunda kenapa gak operasi?” Tanya debo juga. Bunda menatap anak-anaknya itu dengan sejuta perasaan. Beliau sesaat menghela nafasnya, lalu perlahan bergerak menuju sofa yang terletak di sudut ruangan itu dan menghenyakkan diri beliau disana. Anak-anak memandang penuh perhatian kepada bunda. Tampak di hadapan mereka kini, segala kegundahan yang selama ini di tutup-tutupi bunda itu.

“gak bisa segampang itu. Banyak hal yang harus bunda pikirkan” lirih bunda pelan beberapa saat kemudian.

“termasuk tentang biaya operasi??” Tanya obiet hati-hati. Bunda hanya menatap sesaat lalu kembali menunduk. Walau tak ada kata yang teruntai dari lisannya, anak-anak bisa tau kalau pertanyaan yang baru saja terlontar dari mereka itu memang benar menjadi masalah buat bunda. Obiet perlahan mendekati bunda, dan duduk disamping bunda.

“obiet liat tadi ada surat tanah bunda di atas meja. Bunda gak berniat ngejual tanah perkebunan bunda di desa kan?” Tanya obiet hati-hati. Bunda menatap obiet, lalu tersenyum tipis. Anak yang selama ini ia besarkan itu benar-benar telah tumbuh jadi orang yang berpikiran kritis dan sangat peka pada sekitarnya.

“bunda bimbang… di satu sisi, bunda harus segera mengangkat penyakit ini. Tapi disisi lain, bunda masih mikirin anak-anak bunda di desa. Memang benar, suami bunda udah minta bunda jual tanah itu, tapi, tanpa tanah perkebunan itu, bapak dan anak-anak bunda di desa makan apa?”

“bunda. Kata bunda dulu, setiap manusia harus saling menolong kan? Jadi, sekarang…”

“tapi… bunda gak mau ngerepotin”

“kita gak akan merasa direpotkan kok bun…” Angel yang sedari tadi belum menyusul obiet dkk keluar, kini telah keluar dan menunjukkan dirinya.

“bunda selama ini udah menyerahkan segala waktu, tenaga, jiwa, raga bunda untuk kami. Bunda yang udah dengan ikhlas ngerawat kami, ngedidik kami. Bunda selalu ada buat kami. Jadi tak ada alasan buat kami untuk merasa terepotkan. Kami bakal ada buat bunda….”kata angel lagi.

“bunda… ini papa darma mau ngomong” lanjut angel kemudian sembari memberikan HPnya kepada bunda. Rupanya selama debo, obiet dan rahmi berbicara dengan bunda, angel menghubungi papanya. Dan sebenarnya, angel sebelumnya sudah menceritakan perihal ini dengan papanya. Dan dengan angel, papanya telah berjanji akan membantu bunda jika bunda memang tengah sakit keras dan perlu bantuan segera. Dan kini, melihat keadaan yang sudah sangat mendesak, angel segera menghubungi papanya agar bisa berbicara langsung dengan bunda.

Sesaat bunda menatap ragu ke arah angel. Beliau sesungguhnya sangat tidak ingin merepotkan orang lain. Bunda merasa, biarlah dirinya sendiri yang menanggung. Tapi melihat tatapan penuh permohonan dari angel dan juga obiet, debo, rahmi, akhirnya beliau ambil juga HP itu.

“assalamu’alaikum…, iya pak darma?”

“wa’alaikum salam bu ira… bunda.. saya sudah mendengar cerita dari angel. Dan… saya bisa bantu bunda untuk bisa sembuh dari penyakit bunda”

“tapi pak darma, saya benar-benar gak enak… saya masih bisa mengusahakan ini sendiri…”

“udah… gak usah sungkan-sungkan. Kebetulan adik saya seorang dokter bedah. Jadi saya pikir, dia pasti bisa bantu bunda untuk mengangkat tumor di perut bunda.” Ucap pak darma. Ya, tumor. Ada tumor di perut bunda. Itulah yang menyebabkan bunda sering merasa daerah perutnya sakit.

“tapi….” Ucapan Bunda masih berusaha untuk menolak itu, kembali di potong pak darma.

“Bunda gak menolak sebuah kebajikan kan?” ucap pak darma lagi. Bunda terdiam.

“Jadi, izinkan saya menjalankan perintah-Nya untuk saling membantu kepada sesamanya. Anggep aja, ini balasan dari Allah buat bunda karena udah sepenuh hati merawat anak-anak yatim piatu seperti angel dan anak-anak panti yang bunda rawat… bunda gak menolak rezeki dari Allah kan?” kata pak darma lagi.

Setelah mendengar perkataan pak darma tadi, bunda sudah tak bisa berkata-kata lagi. Air mata bunda tanpa sadar mengalir. Bunda memandang obiet, debo, rahmi, angel yang kini tersenyum kearahnya. Bunda membalas senyum itu dengan senyumnya yang telah mengembang begitu indah. Penuh rasa terimakasih. Penuh rasa bersyukur. Tanpa sadar beliau sudah merangkul keempat anak asuhnya itu dengan penuh rasa syukur yang tiada terkira.

------------------BERSAMBUNG (3am)--------------------

0 komentar: