Lanjutan dari PROMISE Part 40: Langkah Baru. Baca juga Promise Part 1: Awal, untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.
NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)
Dalam ruang yang hanya beralaskan karpet tipis yang sudah termakan zaman itu, belasan anak sudah berkumpul. Itulah sebagian anak-anak sanggar yang telah berkumpul di ruang belajar mereka. Semua anak yang terlibat dalam misi buat dava beberapa waktu sebelumnya, sekarang kembali berkumpul disana. Iel dkk, dayat dkk, patton dkk, agni dan sekarang ditambah juga bantuan dari obiet dan debo. Dan, tentu saja ada tian dan ify juga disana sekarang, yang datang atas ajakan iel.
Sementara menunggu cakka dan beberapa orang anggota rapat lainnya yang kebetulan belum datang, mereka mengisinya dengan saling berbagi cerita sambil sesekali diselingi lontaran candaan ringan. Seperti saat itu, ada obiet dan debo yang tengah bercerita bagaimana gilanya mereka hari sebelumnya demi mengejar misi mereka untuk bunda mereka tersayang. Dan saat cerita obiet sampai pada titik tentang bagaimana ekspresi debo saat diomeli bunda, tanpa bisa ditahan, langsung saja itu mengundang sahutan-sahutan menggoda dari teman-teman lainnya. Dan seketika itu juga terjadilah pembantaian olok-olokan mengundang tawa yang semua mengarah pada debo.
“pasti langsung kilep tuh debo, wkwkwk…” ledek irsyad.
“wah de, jangan bilang loe waktu itu sampe pengen nangis dan ngompol di celana… wkwkwk…” ledek iel juga.
“enak aja! Emang gue anak kecil?!” sungut debo gak terima.
“ah, pake malu-malu… jujur aja kali de… wkwkwk” goda tian juga yang nampak sudah begitu nyaman membaur dengan yang lain. Debo merengut dalam diam.
Iya sih, jujur saking takutnya, saat itu dirinya memang hampir aja ngelakuin itu kalau gak inget dia itu anak cowo yang udah gede.
Anak-anak benar-benar telah tenggelam dalam senda gurau. Tapi, segala guyonan pengocok perut anak-anak itu, sepertinya tak mampu mempengaruhi seseorang yang juga tengah berada disana. Di sudut ruangan, ify yang duduk tak jauh dari iel, seperti tak terbawa suasana ceria itu. Hanya seulas senyum kecil yang sesekali tersungging dari bibirnya. Memang, tak banyak kata-kata yang terlontar dari bibirnya sedari kedatangannya di sanggar itu. Dia hanya sesekali tersenyum, atau berbicara ala kadarnya, untuk sekedar menyahut ramah teguran atau obrolan dari teman-teman yang lain. Selebihnya, dia hanya duduk diam, terus mendengarkan sembari sesekali memperhatikan keadaan sanggar yang bisa dibilang sangat sederhana itu.
Sebenarnya, bukan maksud hati untuk bersikap seperti itu. Tapi, sejak dirinya melangkahkan kaki memasuki sanggar, hatinya sudah terenyuh melihat keadaan yang ada. Apalagi ditambah setelah mendengarkan cerita asal usul dibuatnya sanggar ini dari Zahra, cerita-cerita dari obiet dan debo tentang bundanya, atau cerita-cerita sebelumnya dari patton dan teman-teman yang lainnya tentang kehidupan mereka. Itu semua benar-benar membuat hatinya bergetar, membuka lebih luas pikirannya yang sempit, menguak sebuah realita kehidupan yang belum tersentuh oleh dirinya. Karena terbawa pikiran inilah yang membuatnya lebih banyak terdiam dan terpaku pada pikirannya sendiri, sampai pada saat cakka datang dan memberikan kejutan lain di ruangan itu…
“Hei temen-temen, liat siapa yang datang….” Teriak cakka ketika baru aja memasuki ruangan sanggar. Anak-anak yang baru menyadari kedatangan cakka sontak menoleh, dan…
“hei dava? Kok kesini?” seru anak-anak. Ternyata ada dava dan olin yang datang bersama cakka.
“dava kan kangen main kesini lagi….”
“cielah bahasa loe dav, kangen…” sahut irsyad. Dava cuma nyengir.
“eh, kok pada ngumpul-ngumpul gini?” Tanya dava lagi.
“ini kita mau rapat coy. Kita ada rencana buat ikut lomba… kan kita mau beli…” tapi mulut patton langsung ditutup cakka yang kemudian langsung menyambung ucapan patton itu.
“belajar ngasah kemampuan kita dav. Kan sayang kita gak pernah ikutan ginian. Gimana mau dikenal orang banyak coba?” potong cakka cepat. Lalu cakka langsung bisikin patton. ‘eh, jangan sampe dava tahu dulu kalo ini buat dia dong ton… gimana sih loe?’ bisik cakka. Patton yang ditegur seperti itu cuma cengengesan dan garuk-garuk kepalannya.
“eh, dava boleh bantuin juga kan?” celetuk dava. Anak-anak terdiam. Seolah mengerti apa yang dipikirkan kakak-kakaknya itu, dava langsung kembali berkata dengan begitu yakinnya.
“tenang aja kak… dava janji gak bakal ngerepotin kakak-kakak deh. Gak bakal ni kaki buntung bikin ngerepotin dan ngalangin kemauan dava. Gak bakal dava biarin dava sampe ketinggalan sama kakak-kakak buat bisa ngasih sesuatu buat sanggar ini…” kata dava lagi dengan penuh semangat.
“ohh.. so sweetnya kau dav… tentu aja boleh. Lagian, gak bakal gue diemin loe nyante, gak bantuin kita-kita, keenakan banget loe kalo gitu, hahaha…” ucap irsyad lagi sambil ngacak-ngacak rambut dava gemas. Anak-anak lain langsung pada ketawa liat adegan itu.
Ditengah hiruk pikuk keributan anak-anak, sudut mata iel menangkap pergerakan cepat ify yang sedari kedatangan dava tadi hanya terdiam. Ify tampak berdiri dan melangkah cepat ke arah luar sanggar. Dari tingkahnya itu, iel bisa menebak kalau pasti ada sesuatu hal dengan ify sekarang. Iel reflek hendak berdiri menyusul ify, tapi geraknya tertahan.
“yel… biar gue aja, mungkin kalo sesame cewe dia bisa lebih terbuka...”
Iel menoleh kesampingnya. Itu Zahra. Rupanya Zahra juga telah menangkap hal yang sama dengan yang dirasakan iel. Iel menatap lurus Zahra sesaat, lalu ia akhirnya mengangguk pelan. Zahra pun segera berlalu menyusul ify. Iel beberapa saat masih terdiam memandang ke arah luar sanggar. Sebenarnya dia ingin ikut Zahra menyusul ify. Tapi teguran dari cakka sontak memecah lamunannya.
“hei, yel ngeliatin apaan loe? Ayo duduk melingkar disini, udah mulai nih rapatnya…” tegur cakka. Iel menoleh, dan sesaat menghelakan nafasnya. Ia sadar, ia harus segera mengalihkan pikirannya sesaat untuk lebih focus pada rapat mereka yang baru dimulai itu. Ia pun lalu mengangguk dan segera bergabung dengan anak-anak lainnya.
--------------------3am-------------------
Rapat berlangsung dengan tertip. Masing-masing anak mengutarakan ide mereka masing-masing. Tapi, pembicaraan mereka tiba-tiba menjadi buntu saat cakka melontarkan sebuah pertanyaan.
“oke, kalo masalah alat-alat, konsep, kayanya udah cukup jelas ya… tapi, seperti kata sion waktu disekolah dulu. Siapa yang bisa ngaransement? Bawain ngasal aja? Kalo kita ngebawain kaya biasa aja, gak bakal ada kesannya. Akan keliatan datar-datar aja…. Harus ada yang istimewa!” kata cakka.
“wahh… kita-kita sih gak ngerti masalah begituan coy…”
“oiya, btw si sion kemana nih? Kok gak ikutan?” iel baru sadar temannya itu gak ikutan rapat ini juga.
“Loe taulah, si sion mah suka gak mau keluar modal. Kan gue hari ini kebetulan gak bisa ngasih tumpangan ke dia. Tapi eh, pas tadi gue bilang gak bisa antar jemput dia, dia langsung bilang, titip salam aja karena dia gak jadi ikutan kalo gak ada tebengan…” jawab riko.
“ah, payah bener tuh anak” omel iel juga, “udah deh, kita abaikan sion, lumayan juga pengacau kurang satu. Kita kembali ke topic awal, jadi gimana ini? Loe ada ide cakk?” Tanya iel lagi.
“loe gak ngerti cakk? Bokap loe kan guru music, masa anaknya kaga bisa diandelin dikit pun?” sambung irsyad juga.
“hmm.. gue bisa sih nanya-nanya bokap dikit-dikit, tapi dia lagi sibuk banget akhir-akhir ini. Jadi agak ribet juga sih...” kata cakka sambil garuk-garuk kepalanya sendiri. “coba aja ada patner satu lagi gitu yang ngerti music, kan lumayan bisa tuker-tuker pikiran. Gue berani deh nyoba-nyoba. Kalo cuma sendiri, hmmm…..”
“iya, selain itu masalah kita juga, yang lumayan lihai main musik cuma beberapa. Masa iya, mau ngandelin dayat, cakka sama gue doank. Kita perlu tenaga tambahan nih buat ngatur dan ngelatih anak-anak…” kata irsyad juga.
“eh, loe jago apaan coy?” ledek patton.
“yee… sori yee, kan masalah perkusi alias pergendangan, gue masternya disini”
“ah, bagusan gue juga…” celetuk ray juga.
“nah, betul tuh coy! Gue dukung loe ray!” timpal patton sambil tos sama ray.
“eh, udah-udah… jago tapi berantem mulu dan gak bisa bikin harmonis satu sama lain, sama aja boong” sindir dayat, “Jadi gimana ini. Ada yang punya saran?” katanya lagi.
“tunggu… hmmm… kayanya gue punya satu orang lagi yang mungkin bisa bantu kita. Gue jamin dia pasti ngerti banget tentang musik” Tiba-tiba iel membuka suaranya. “Tunggu bentar…” kata iel lagi, lalu ia segera melangkah keluar.
“eh, yel mau kemana loe? Siapa maksud loe?” tegur cakka. Tapi iel hanya tersenyum dan terus melangkah keluar ruangan.
-----------------3am------------------
Zahra menyusul ify cepat. Tapi langkahnya terhenti sesaat di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu sanggar dengan teras luar itu. Dia menatap sosok yang kini tengah duduk sendirian di teras sanggar itu. Tampak ify hanya duduk membisu disana sembari menatap hampa hamparan bunga-bunga yang tumbuh subur di halaman sanggar itu. Keadaan ini sepertinya hampir sama seperti waktu dia menemukan ify di taman sekolah beberapa waktu yang lalu. Gadis di depannya itu terlihat seperti masih menyimpan begitu banyak kegundahan. ‘semoga ify mau lebih terbuka sama gue kali ini’ doa Zahra dalam hatinya. Zahra lalu menarik nafas sesaat, lalu perlahan ia mulai mendekati ify.
“kenapa keluar fy? Gak betah ya di dalem sanggar?” tegur Zahra sambil menepuk bahu ify. Ify menoleh sekilas lalu menggeleng pelan.
“nggak nggak… gue betah kok… gue seneng bisa main ke sanggar ini….” Sanggah ify. Matanya kembali terpaku ke depan, menerawang lurus tanpa ekspresi.
“terus kenapa? Gue lihat dari tadi loe banyak diem. Apa ada yang bikin loe gak ngerasa nyaman fy?” Tanya Zahra lagi. Ify tak menjawab, ia hanya menggeleng pelan. Zahra jadi agak serba salah menghadapi ify yang nampak begitu betah bertahan dengan kesendiriannya itu. Dia bingung memikirkan bagaimana caranya agar ify mau lebih terbuka padanya. Gadis itu tampak begitu rapat menutupi perasaannya. Dan akhirnya, mereka berdua pun hanya bisa sama-sama terdiam, terbungkus dalam kebisuan dalam waktu yang cukup lama.
“fy… loe udah kita anggap sahabat kita sekarang. Jadi, apapun masalah loe, kita siap jadi tempat loe berbagi…” ucap Zahra akhirnya, kembali membuka pembicaraan diantara mereka. Tapi ify masih saja membisu. Zahra jadi ikut kembali terdiam juga.
“apa kita belum bisa jadi teman yang baik buat loe fy? Kita bikin loe gak nyaman ya? Sori fy kalo loe ngerasa begitu…” lirih Zahra tak lama kemudian. Ify reflek menatap Zahra dan menggeleng cepat. Terlihat dari sorot matanya sinar rasa bersalah dan tak enak hati terhadap Zahra disana.
“bukan… bukan begitu ra…, gue sama sekali gak ngerasa begitu… gue cuma….” kata ify cepat. Tapi kata-katanya terhenti. Ia kembali membuang pandangannya sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Ia terlihat ragu untuk mengutarakan isi hatinya yang sesungguhnya. Tapi Zahra terus menatap penuh perhatian kepada ify, tetap sabar menunggu kata-kata berikutnya yang terlontar dari bibir gadis di sampingnya itu. Ify melirik Zahra lagi sekilas, lalu ia kembali menunduk dan menghela nafas beratnya.
“sebenarnya gue… gue yang ngerasa gak layak berteman sama kalian. Kalian terlalu baik buat gue. Gue gak pantes dapetin perlakuan sebaik ini…” lirih ify kemudian. Zahra tetap diam mendengarkan. Ia tak mau memotong ify yang nampak sudah mulai mau terbuka padanya itu.
“dan jujur, saat ngelihat temen-temen sanggar, dava, mengenal lebih dalam kalian semua, gue… gue ngerasa jadi orang yang sangat kecil…, kerdil.., rapuh…, pengecut…“ lirih ify. Kata-katanya itu terdengar sedikit terbata-bata, seakan-akan kata-kata itu terasa begitu sulit terucap dari lisannya. Tapi ia terus mengungkapkan isi hatinya yang ia pendam lama dalam kesendiriannya itu.
“… Gue baru kehilangan sahabat gue aja, udah bikin gue selemah ini. Bagaimana kalau gue kehilangan orang tua seperti obiet, debo? Kehilangan sebagian kebahagiaan masa anak-anaknya seperti anak-anak jalanan itu? Atau kehilangan masa depan yang cerah kaya dava?” kata ify. Sesaat ia terdiam, mencoba mengatur emosi dan gemuruh perasaan dihatinya. Ia sesaat memejamkan matanya yang mulai terasa hangat itu.
“Gue sangat tertinggal jauh dari mereka ra… gue lemah… gue pengecut… gue gak ada apa-apanya dibandingkan mereka… gue…” lirih ify kemudian, pelan. Tapi tenggorokannya kini terasa tercekak, seakan-akan menahan kata-kata yang ingin ia lontarkan lagi. Dadanya terasa penuh sesak, dipenuhi berjuta perasaan yang ada pada hatinya saat ini. Dan akhirnya ia hanya bisa menunduk dalam diam, menahan segala perasaan yang berkecamuk itu.
Zahra yang sedari tadi terus mendengarkan, kini menatap ify dengan begitu simpati sembari tersenyum tipis. Walau ia juga bisa merasakan betul kepedihan ify setelah mendengar pengakuan ify itu, tapi dia senang ify mau terbuka dengannya sekarang. Dan kini dia tau apa yang sebenarnya dirasakan gadis itu. Lalu ia pun segera merangkul ify hangat untuk mencoba menguatkannya.
“Loe bukan orang yang lemah kok fy. Loe sama sekali bukan orang pengecut…” lirih Zahra penuh perhatian.
“Kalo loe orang lemah dan pengecut, bagaimana mungkin loe bisa dengan besar hati maafin angel? Bagaimana mungkin loe bisa ngakuin segala kesalahan loe dan minta maaf dengan semuanya? Bagaimana mungkin loe bisa terus nahan emosi loe, sabar ngadepin sikap kasar sahabat-sahabat loe dan tetap bertahan dengan pendirian loe? Itu bukanlah hal yang bisa dilakukan orang-orang yang lemah dan pengecut fy…” lanjut Zahra lagi sambil menghapus setetes air mata yang berhasil merembes keluar dari sudut mata ify dan mengalir pelan di pipinya itu. Ify perlahan membuka matanya dan kemudian menatap Zahra sayu. Zahra balas menatap ify dengan sebuah senyuman penuh kehangatan dan persahabatan.
“Setiap orang pasti punya caranya sendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Dan loe pasti juga begitu. Loe pasti bisa keluar dari semua ini kok fy… dan kita bakal terus dukung loe, karena kita adalah teman. Gak ada kata layak atau gak layak buat mendukung orang yang udah kita anggap seorang teman fy… seorang sahabat…” kata Zahra lagi sembari menggenggam tangan ify erat. Ify tersenyum tipis.
“betul kata Zahra fy…” tiba-tiba iel muncul dari belakang, dan duduk disamping ify. Ify menatap iel yang tengah menatapnya lekat itu.
“loe pasti bisa fy… masalah loe itu sebenarnya ada dalam diri loe sendiri fy… Ada sama pikiran loe. Ada sama hati loe…”ucap iel lagi. Tatapan lembut iel tepat jatuh di kedua mata ify, yang semakin membuat kata-kata yang terekam indera pendengarannya itu begitu meresap di dalam hatinya bersamaan dengan pesan yang tersampaikan lewat tatapan itu.
“loe masih inget kan pesan loe waktu ngajarin gue matematika pas ujian dulu? Kalau pikiran loe bilang gampang, maka dia bakal jadi gampang. Masih inget kan loe sama kata-kata itu?” ucap iel lagi. Ify mengangguk pelan.
“semua perasaan kita itu berasal dari hati, dari pikiran kita kan? Jadi sekarang, loe harus praktekin kata-kata loe itu juga. Gue yakin, kalo pikiran loe, hati loe yakin pasti bisa kuat naklukin masalah-masalah loe, loe pasti bisa ngadepin semua ini dengan kuat. Masa guru gue yang galak ini nyerah? Ngadepin gue yang bandel aja loe sanggup fy, masa hal ginian gak bisa? hehe…” kata iel lagi. Ify hanya tersenyum simpul mendengar itu semua, lalu kembali menunduk, memandang lurus hamparan bunga di depannya itu.
“hmmm… kayanya loe harus disibukkan dengan kegiatan lain deh, biar pikiran loe tuh gak terlalu sering mikirin hal ini lagi” kata iel setelah melihat ify tak berekspresi banyak dan sepertinya masih terlihat kurang bersemangat itu. Lalu iel menarik tangan ify.
“Ayo… Sekarang ayo loe ikut gue. Kita punya kerjaan buat loe dan loe gak boleh nolak! Ayo fy!” ajak iel sambil menarik paksa ify agar mengikutinya ke dalam sanggar. Dan tanpa ada perlawanan, Ify pun akhirnya dengan pasrah mengikuti iel yang telah menarik paksa dirinya itu.
---------------3am-----------------
Saat mereka sudah masuk kembali ke ruang belajar sanggar.
“nah, ini dia orangnya! Maksud loe tadi apaan sih yel? Siapa yang bisa bantuin kita?” serobot irsyad begitu melihat iel lagi.
“iya nih, gak pake basa-basi langsung ngeloyor keluar aja…” sambung tian juga.
“tenang-tenang saudara-saudara… tenang… gue udah bawa orang yang bisa bantuin kita” kata iel dengan santainya.
“siapa yel?” Tanya dayat.
Iel tersenyum, lalu melirik ke arah ify yang berdiri di sampingnya. Mata anak-anak pun perlahan mengikuti arah pandangan iel. Ify yang tak lama kemudian telah tersadar tengah dipandangi anak-anak, mengerutkan keningnya sesaat lalu segera membuka suaranya.
“kok mandangin gue? ada apaan sih?” Tanya ify heran.
“oiya! Bener loe yel! Kan ada ify sekarang…” seru irsyad sambil menjentikkan jarinya. Ify segera menatap iel tajam.
“Maksudnya apaan sih? Yel… Loe jangan libatin gue sama yang aneh-aneh deh… gue bukan suruhan loe lagi kan?” protes ify yang kini mulai khawatir melihat gelagat iel dan anak-anak sanggar lainnya. Iel lalu balas menatap ify lalu menyeringai lebar.
“gak aneh-aneh kok, kita cuma mau minta bantuan loe buat….” Iel dkk pun lalu menjelaskan rencananya pada ify.
“gak ahh… kemampuan gue kan masih belum seberapa, gimana mau ngarahin kalian? gue kan juga baru belajar… gue cuma…” sanggah ify setelah iel menerangkan rencananya. Tapi kata-kata ify itu langsung dipotong iel.
“cuma apa? pianis tingkat nasional?” potong iel.
“yang cuma bisa main piano?” tambah tian.
“eh, sama perkusi juga kan yan?” sahut iel lagi ke arah tian dengan santainya seakan-akan tengah ngobrol santai berduaan. Bahkan ia seperti tak menganggap keberadaan ify yang tepat berada disampingnya itu, tengah menatapnya dengan wajah kesal, malu, sekaligus bingung.
“yoi yel, plus gitar dan biola juga bolehlah dikit-dikit….” Sahut tian lagi sambil menyeringai jail. “eh, tapi kan kalo baru belajar musik dari umur 4 tahun… baru banget itu ya?” sambung tian lagi.
“nah itu, menekuni dunia musik selama 10 tahunan itu emang belum ada apa-apanya sih dibanding yang udah puluhan tahun… gak mungkin bisa diandelin walau cuma diminta ngadepin anak-anak sanggar pinggiran yang lagi kehilangan induknya ini” sahut iel dan diakhir kata-katanya ia melirik ify tajam.
Ify seketika itu juga hanya bisa terperangah, diam tak berkutik. Di serang dengan kata-kata fakta tentang dirinya seperti itu oleh iel dan tian, Ify seperti sudah kehabisan kata-kata. Dia seperti tak bisa menyanggah semua perkataan-perkataan bernada sindiran dari teman-temannya itu.
“temen-temen… Gue… gue bener-bener masih ijo… gue sama sekali gak pengalaman…” kata ify. Walau yang dikatakan iel dan tian itu benar, tapi ia benar-benar merasa belum ada apa-apanya.
“tapi, pengalaman itu gak bisa di dapet kalo kita gak pernah nyoba berbuat sesuatu. Ini kesempatan loe buat praktekin ilmu loe. Mungkin diantara kita-kita semua disini, loe yang paling bisa diharepin ngerti dan bisa ngaransement lagu-lagu gitu… Lagian loe gak sendiri kok. Cakka dan temen-temen lainnya bakal bantu juga kok…”potong dayat sembari menatap ify lurus.
“iya fy… ntar gue minta bantuan bokap juga. Tapi gak bisa terlalu ngandelin beliau sih. Sekarang lagi sibuk-sibuknya. Jadi, harus kembali ke kreatifitas kita sendiri lagi… yang kita perluin, bantuan ide kreatif loe tentang music. Jadi fy, please bantu kita…”ujar cakka juga.
“ify… please… demi…” kata-kata iel terhenti, ia melirik dava sesaat, seolah mau nekanin ke ify kalo itu demi anak kecil itu. “.. demi niat baik kita semua fy…” lanjut iel lagi sambil menatap ify penuh.
Ify terdiam, menatap mata-mata yang tengah menatapnya dalam itu. Ify menunduk dan menghela nafasnya sesaat. Dia sendiri tak yakin, nantinya benar-benar mampu berbuat banyak buat teman-temannya itu. Tapi, mungkin inilah jalan dari Tuhan. Mungkin inilah cara terbaik buat dia untuk memulai kembali bersosialisasi dengan orang-orang ini. Dan dengan cara ini juga mungkin dia bisa membalas segala kebaikan dan kehangatan yang diberikan teman-temannya itu kepadanya sekarang. Ify pun kembali menatap satu per satu wajah-wajah yang menatapnya dengan penuh harap itu. Lalu ia kembali menghirup udara dalam-dalam dan melepaskannya perlahan agar hatinya bisa menjadi lebih tenang dan yakin. Lalu dengan mantap akhirnya ia berkata…
“oke… gue mau coba. Demi kalian semua…” kata ify akhirnya. Dan riuh sorak gembira anak-anak segera menyambut untaian kata persetujuannya tadi.
-----------------misst3ri-------------------
Beberapa orang pelayan hilir mudik melayani pesanan para tamu. Kafe itu tampak cukup penuh di padati pengunjung yang ingin sekedar menghabiskan waktu di akhir minggu itu. dan di sudut kafe itu, tampak 2 orang anak muda sedang duduk-duduk. Yang laki-laki tampak dengan cueknya menghabiskan makanan yang tersaji di depannya. Sedangkan yang seorang lagi, seorang gadis manis terlihat duduk dengan cukup gelisah sembari mengaduk-aduk minumannya yang baru ia habiskan seperempat gelas itu. Anak laki-laki di depannya sesaat melirik gadis itu.
"mana vi? Emang loe jam berapa sih janjiannya?" kata anak laki-laki itu sembari menyuapkan suapan terakhirnya untuk meludeskan semangkok besar es krim jumbo di depannya.
"jam 4... Dia katanya bakal pake baju yang ada simbol harry potternya gitu kak.."
"Kalau orangnya aneh, gimana?"
"yaa.. kita kabur kak... gue kan udah pake jaket, ga bakal ngeliat gue pake baju pink garis-garis ini, jadi gak bakal langsung ngenalin gue juga dia ntar.." sahut via enteng. Yap, kalo severus janji make baju harry potter, via janji pake baju pink garis-garisnya itu. setelah disahuti via seperti itu, Rio pun cuma manggut-manggut. Lalu tak lama setelah benar-benar meludeskan makanan dia, dia pun berdiri dari duduknya.
"ah, lama nih nungguin loe.. makanan gue udah abis gini belom nongol-nongol juga. Gue jalan dulu ya, ntar gue balik lagi kesini... Ntar kalau perlu bantuan, telpon aja... " kata rio dengan cueknya.
"yah, kakak mau kemana? Masa via ditinggal sendirian?" sanggah via sambil menyambar tangan rio untuk menahan langkah kakaknya itu.
"kan disini banyak orang, loe tereak aja... Lagian, kaya kata loe, dia juga ga bakal langsung ngenalin loe kan? Jadi, santai aja.." sahut rio sambil ngacak-ngacak puncak rambut adiknya itu, lalu ia berlalu dengan santainya. Sivia hanya bisa mendengus kesal sembari menatap punggung kakaknya yang terus berjalan ke arah luar kafe dan kemudian menghilang ditengah kerumunan pengunjung mall lainnya. ‘Susah ya punya kakak yang cueknya minta ampun gini! Gak ada perhatian banget jadi orang!’ omel via dalam hati.
Via lalu melihat keadaan sekitarnya. Dari sekian banyak pengunjung kafe itu, tak satupun ia bisa melihat orang berbaju Harry Potter. Via kembali melirik jam tangannya. Pukul 04.34, severus udah telah setengah jam lebih. Via lagi-lagi mendengus kesal. ‘mana sih severus, dia yang bikin janji, eh dia juga yang telat! Ntar kalo ketemu gue omelin tuh anak baru tau rasa!’ omel via dalam hati, ‘Eh, tapi masa baru kenal udah ngomelin, ga sopan juga ya?’ via jadi garuk-garuk sendiri, bingung mikirin kata-kata dalam hatinya itu. Sedang asyik-asyiknya melamun, tiba-tiba ada sebuah suara yang menegurnya.
“eh, cewe comel… sendirian aja loe?”
Via mengerutkan keningnya. Suara itu agak familiar dikupingnya. Lalu ia pun segera berbalik untuk melihat siapa yang telah menyapanya dengan kata-kata kurang enak di dengar itu. Dan ketika ia tau siapa yang telah berdiri di belakangnya itu, via pun langsung tersentak kaget saat melihatnya.
"eh, ngapain loe disini?!"
-------------------BERSAMBUNG (3am)--------------------
0 komentar:
Posting Komentar