Promise Part 48 |
PROMISE – Part 48: Teka-teki Hati
-------------------------------------------------
Rumah
besar nan megah itu tampak begitu sunyi di malam yang sudah begitu
larut itu. Hanya beberapa lampu taman dan teras yang masih setia
menerangi kemegahannya. Tiba-tiba dari sebuah pintu yang menghubungkan
sebuah beranda di lantai dua yang menghadap dengan taman, dari ruangan
di balik beranda itu, muncul lah sesorot cahaya terang yang menyeruak
memecah kegelapan pekat di malam itu. Kemudian tampaklah seorang anak
yang keluar dari celah pintu yang terbuka itu, lalu perlahan berjalan
menuju pagar berandanya itu. Berdiri ia dengan begitu tegapnya menghadap
langit seakan menantang sang malam. Matanya terpejam dalam kebisuannya.
Ia biarkan sesaat angin semilir membelai rambutnya lembut. Ia hirup
udara malam sampai memenuhi rongga dadanya. Lalu ia hembuskan perlahan,
berharap dengan itu segala rasa yang terpendam di dalam dadanya ikut
serta keluar.
Anak itu kemudian membuka matanya dan
mendongak menatap sang langit malam yang ditaburi bintang-bintang yang
berkerlip redup, seakan begitu malu mengeluarkan sinarnya. Ah betapa
indah sang bintang itu benaknya, seindah senyum gadis terakhir yang ia
jumpai malam itu. Bayangan kejadian beberapa waktu lalu kembali
berkelebat di ingatannya membuatnya tersenyum tipis yang seakan-akan
juga turut membalas senyum malu-malu sang bintang itu. Tapi kemudian ia
kembali terdiam, menatap kosong langit yang masih setia bersama gemerlap
bintang itu. Sungguh, semakin ia mengingat hal itu, semakin tak tenang
hatinya. Entahlah mengapa. Tapi yang ia tau, akhir-akhir itu pikirannya
memang sering kali dibanjiri pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatinya
tak tenang.
Kenapa senyum itu selalu mampu membuatnya
diliputi sejuta kebahagiaan. Senyum itu selalu mampu membuatnya lebih
tenang. Selalu mampu membuatnya menemukan kebahagiaan. Dan kenapa dia
selalu merasa tak tenang dikala senyum itu mencoba pudar dan tak lagi
mau menjumpai dirinya. Itu rasanya begitu menyesakkan, mengerutkan
rongga dadanya karena hatinya terasa begitu hampa, kosong tanpa
kehadiran senyum itu. Senyum itu seakan mampu mengisi hati sanubarinya
yang sering kali ia biarkan kosong tanpa berpenghuni.
Perlahan ia buka HP yang berada ditangannya itu. Ia buka SMS yang masuk beberapa saat yang lalu itu..
From: Ify
Maaf klo bbrp hari ini agak kurang ngenakin. Gue harap bsk bisa kembali kayak dulu lg. See u tomorrow mamaa iel! :p
Senyumnya
perlahan kembali mengembang. Membaca SMS itu, kemudian kembali
mengingat senyumnya, segalanya terasa seperti sihir, seketika membuat
hatinya seakan-akan tiba-tiba dipenuhi kembang api. Meledak-ledak tapi
terasa begitu indah. Dengan pikiran yang masih terbang kemana-mana
jemarinya terus mengutak-atik HP di tangannya itu. Sampai akhirnya
tangannya berhenti bergerak ketika tanda sadar ia membuka file-file
lamanya, dimana foto-foto awal mula kedekatan mereka terbentuk dulu.
Beberapa foto yang terasa begitu punya magic dulu. Foto-foto yang mampu
menyihir seorang yang begitu dingin dan tak peduli dengannya, berubah
180 derajat menjadi mau mendekatinya, mau peduli mengikuti segala
keinginannya, sampai akhirnya ia bersedia memberikan banyak kehangatan
dan pengorbanan yang tak pernah disangka-sangka olehnya. Sekali lagi
senyumnya terkembang dengan sempurna.
“Ify cantik yah?”
Anak
itu sontak terkaget-kaget ketika seseorang tiba-tiba muncul dan menegur
dirinya seperti itu. HP di tangannya hampir saja terlepas jatuh jika
saja ia tak sigap dan segera menguasai kekagetannya. Ia menoleh
kesampingnya. Ternyata sudah ada papanya disana.
“jagoan papa kok
juga belum tidur? Malah mandangin foto cewe malam-malam gini.. Kenapa
Yel?” tanya pria dengan aura penuh kebapaan itu pada anak semata
wayangnnya, Gabriel. Iel hanya menunduk, tak tau harus berkata apa.
Wajahnya sudah agak memerah di tegur ayahnya seperti itu.
“kok Ify gak pernah diajak main ke rumah lagi?” tanya papanya lagi. Tapi Iel masih juga diam.
“dia
anak Pak Atmaja temen papa itu kan?” tanya papa Iel lagi. Iel yang
terus saja menunduk itu hanya menjawab dengan gumaman singkat.
“Papa sama Papanya Ify itu temenan banget lho dulu, jaman masih kuliah di bandung dulu…”
“dunia
emang sempit yah yel? Kami dulu sohib kental, dan sekarang kalian juga
temenan gitu sama kayak papa dulu… Kalian beneran temenan kan?”
“hah?
Iya temenan doang pah, gak lebih kok….” jawab Iel cepat dengan sedikit
gelabakan yang jelas saja memancing senyum geli Papanya.
“hahaha…
kenapa jawabnya gelabakan gitu yel? Yang bilang lebih siapa? hahaha”
tembak papanya yang seketika membuat Iel merasa langsung skak mat, tak
tau lagi harus menjawab apa. Diam-diam di dalam hatinya ia mengutuk
kepanikan dirinya sendiri yang membuat dirinya begitu mudah merasa
tertekan, membuatnya berpikir yang macam-macam, dan tak bisa mengontrol
lagi apa yang keluar dari mulutnya.
“suka kamu sama
dia?” tanya papanya lagi dengan nada menggoda, menatap anaknya yang
tampak salting itu dengan seulas senyum geli.
“kok papa ajak
ngobrol malah diem?” Iel masih saja menunduk, menyembunyikan wajahnya
yang mungkin sudah bagaikan tersembur kawah panas itu. Papanya kemudian
tertawa kecil lalu menepuk pundak anaknya itu.
“Papa udah hidup
lebih lama lho yel daripada kamu… Papa juga pernah ngelewatin masa muda
kaya kamu. Pernah ngelewatin masa yang anak muda sekarang bilang masa
labil. Yang suka galau gak karuan, suka punya perasaan yang
membingungkan, mulai punya ketertarikan dengan cewe, dan lain
sebagainya. Dan yang pasti masa remaja kayak kamu sekarang, Papa juga
ngelewatin masa-masa pertama kenal rasa kayak gitu…” ucap papa Iel
sambil mengusap-usap kepala anaknya itu dengan penuh kasih sayang.
“Papa
kenal kamu sejak masih merah yel, masih baru keluar dari rahim mama
kamu. Papa yang ngebesarin kamu. Walau Papa sering berpergian keluar
negeri, tapi Papa gak pernah ngelewatin perkembangan kamu dan mengetahui
gerak-gerik kamu. Papa kenal kamu luar dalam yel…” ucap papa Iel lagi.
Perlahan tangannya bergerak menggapai kedua bahu anaknya itu, lalu
mengarahkan tubuh anaknya agar berhadapan lurus dengannya. Iel
mengangkat wajahnya dan membalas pandangan papanya yang juga tengah
menatapnya dengan begitu perhatiannya itu. Dan terbentuklah saat itu
sebuah ikatan batin yang begitu kuat antara sang ayah dan anak
lelakinya.
“kamu masih sangat muda yel. Masa yang
sangat bagus untuk mencari teman sebanyak-banyaknya. Dan berteman dengan
banyak orang sangat baik buat kamu agar bisa belajar mengenal berbagai
karakter orang dan belajar bagaimana bersosialisasi dengan lingkungan
kamu. Karena lingkungan kamu mungkin bakal lebih banyak ngajarin
pelajaran tentang hidup yang lebih luas ketimbang apa yang dikasih di
sekolah ataupun di rumah…” tutur papanya Iel bijak. Sesaat beliau
melepas pegangan tangannya di bahu Iel, dan berbalik memandang langit.
“tapi,
sama seperti bintang-bintang di atas sana. Semua indah, semua pasti
terasa menentramkan hati. Tapi, diantara jutaan kerlip bintang itu,
pasti ada satu bintang yang paling bersinar dan membuat hati kita
semakin tenang. Begitu juga dengan perjalanan hidup kamu. Ada masanya
dikala kamu sudah mulai bisa melihat satu bintang spesial itu. Itulah
disaat kamu mulai merasa memiliki perasaan lebih pada seseorang, sayang
sama orang itu, gak mau kehilangan dia, dan yakin itu yang terbaik buat
kamu, dan saat itulah, mungkin gak ada salahnya untuk nyoba yang namanya
menu OD dalam sebuah hubungan…”
“hah? OD? Over dosis?” tanya Iel
akhirnya membuka suaranya. Papa Iel melirik, lalu kembali tersenyum
geli. Tampaknya anaknya itu sudah mulai terbawa oleh pembicaraannya itu.
“haha…
bukan over dosis, tapi menu OD, menu Orang Dewasa. Menu yang bisa
dinikmati saat kamu sudah dipandang sudah cukup dewasa untuk bisa dan
siap belajar mengenal yang namanya menjaga suatu ikatan, menjaga hati
“bersama”. Walau mungkin masih jauh sekali mencapai ‘ikatan’ seperti
yang dilakukan Papa dan Mama, tapi landasannya sama yel. Cinta. Dan
cinta itu suci, gak boleh dijadikan permainan bila kamu masih ingin
mendapat apa makna sebenarnya dari cinta itu…”
“maknanya apaan pah?” tanya Iel sedikit polos. Lagi dan lagi papanya tertawa kecil.
“ntar
kalau kamu udah dewasa, pasti juga akan tau apa makna cinta itu. Proses
kamu menuju dewasa akan mengajarkan segalanya yel….” Ucap papanya
bijak.
Iel menunduk. Tampaknya ia tak puas dengan jawaban-jawaban
papanya yang sedari tadi tampak banyak yang mengambang di angannya, tak
begitu bisa ia mengerti.
“kenapa yel? Bingung? Hehe….
Pokoknya begitulah. Hidup kamu bakal ngajarin itu semua dengan
sendirinya kok. Semua pasti ada masanya…” ucap papanya lagi sambil
mengacak-acak rambut anaknya itu.
“sudah larut malam sepertinya…
Papa udah ngantuk nih. Ayo kamu juga tidur…” ajak papa Iel sambil
merangkul, membawa anaknya berjalan meninggalkan beranda, masuk kembali
ke dalam ruangan kamar Iel. Iel pun mengikutinya dan mengantarkan
papanya sampai pintu kamarnya.
“Eh, tapi kamu udah
cukup gede kok menurut Papa buat nyicipin menu yang tadi itu” ucap
papanya lagi di tengah berjalan menuju pintu keluar kamar iel. Iel
menatap ayahnya itu lagi dengan kening berkerut.
“Kalau kamu sudah
siap dan mau serius untuk belajar berbagi rasa, berkomitmen tuk menjaga
hati seseorang, Papa gak ngelarang kamu kok yel. Tapi segalanya kembali
ke kamu. Siap apa gak untuk belajar menjadi orang yang dewasa, bukan
seorang bocah lagi yang menganggap segalanya adalah sebuah permainan…”
Lanjut Papa Iel lagi, “Tanyakan itu dengan hati kamu sendiri, kembalikan
segalanya sama hati kamu, dan biarkan hati kamu yang memilih….”
Lanjutnya lagi sambil menatap anaknya itu dengan senyum hangatnya.
“good night dear…” pamit papanya kemudian, mencium kening anaknya sesaat, lalu berbalik dan berjalan menuju kamarnya sendiri.
Iel
menutup pintu kamarnya. Perlahan ia berjalan menuju tempat tidurnya dan
segera merebahkan tubuhnya yang mulai lelah itu di tumpukan busa empuk
yang merilekkan tubuhnya itu. Sekali lagi ia membuka ponsel di
genggamannya itu dan membuka folder yang sempat ia buka sebelumnya itu
dan kembali menelusuri satu demi satu file di dalamnya. Mata tajamnya
Iel menatap penuh dengan sesosok wajah yang terpampang di layar
ponselnya. Wajah yang entah kenapa begitu sering melewati pikiran dan……
mungkin juga hatinya. Yah benar. Hatinya yang begitu sering dipenuhi
berjuta perasaan tak menentu hanya karena memikirkan gadis itu.
‘apa
bener kata Papa? Apa bener yang gue rasakan sekarang ini sama loe lebih
dari sebatas sahabat ataupun saudara? Apa gue udah jatuh cinta sama loe
fy?’
Iel menggigit bawah bibirnya sesaat,
bingung sendiri dengan pertanyaan yang begitu menggelitik hatinya itu.
Sesaat kemudian ia mengacak rambutnya, mematikan HPnya dan melemparnya
ke meja di samping tempat tidurnya itu, lalu ia paksakan tubuhnya untuk
berbaring tenang walau pikirannya terus saja menggaungkan berjuta
pertanyaan yang semakin membingungkan dan membuat hatinya galau luar
biasa.
‘Andai benar ini perasaan gue sebenarnya,
tapi apa gue sudah siap jaga hati dia??? Ya Tuhan… kenapa jatuh cinta
itu begitu ribetnyaaa…’ omel Iel sembari menenggelamkan wajahnya kedalam selimut tebalnya dengan sedikit frustasi.
---------------------------- --------------------------
Sedikit
kegaduhan terdengar dari rumah sederhana bertingkat dua itu di siang
yang cukup terik itu. Suara gebukan drum, genjrengan gitar, dan suara
nyanyian-nyanyian merdu tapi juga kadang terdengar asal, berbaur jadi
satu. Rupanya itu adalah anak-anak sanggar Angkasa yang sedang berlatih
serius untuk proyek lomba mereka. Di tengah kehebohan itu, terdengar
suara orang yang baru datang.
“Siang eperi badiii…. Gabriel yang
kece udah datang…. Terima kasih terima kasih atas live musiknya buat
penyambutan saya sodara-sodara” teriak Iel dengan pedenya saat ia baru
saja memasuki rumah itu. Tapi ia langsung disambut dengan teriakan
sumbang berikut lemparan Koran dan berbagai benda ke arah Iel.
“eh ampun sodara-sodaraa… ampuun cyynnn….” teriak Iel sambil menghindari lemparan-lemparan protes itu.
“lu tuh ya! Udah datang telat sok kepedeean lg...” omel Irsyad.
“yee..
maaf. Gue telat kan gara-gara jemput ni dua putri raja ini dulu,
apalagi tuh si Pia, dandannya lama!” sewot Iel sambil nunjuk ke arah Ify
dan Via pake dagunya.
“yee… lagian kalian juga gak ngasih tau
dulu main jemput-jemput aja, gue kan lagi enak-enak tidur siang
dibangunin” sewot Via gak terima.
“dasar kebo lu!” balas Iel.
“enak aja!” sahut Via lagi. Sedangkan Ify di samping Via cuma ketawa melihat teman-temannya adu mulut gitu.
“eh udah udaah… Kalo berantem terus makin lama ini gak kelar-kelar hehehe…” lerai Ify buka suara.
“nah bener tuh! Yok ah udah semua, kita lanjut lagi. Ayo kalian buruan sini masuk” lerai Dayat juga.
“Jadi,
Cakka Obiet udah jelasin sebagian sama kita-kita. Sekarang karena
kalian udah datang, kayaknya kita kita lanjutin aja. Kata Cakka loe
punya ide baru lagi kan fy? Yok dah kita lanjut lagi latihannya…” lanjut
Dayat lagi setelah Iel Ify Via sudah memasuki ruangan sepenuhnya.
Mereka mengangguk setuju lalu mereka semua pun memulai rapat mereka
untuk mempersiapkan rencana keikutsertaan mereka di lomba seni antar
sanggar.
------------------ ----------------
“oke..
jadi udah jelas yah semua. Semua udah tau bagiannya masing-masing. Udah
ngerti gimana rancangan pertunjukan yang udah dijelasin Ify dan Cakka
Obiet tadi kan?” tegas Dayat di akhir rapat sekalian latihan mereka di
sore hari itu. Anak-anak mengangguk paham.
“Jadi sekarang, numpung
masih banyak waktu sebelum maghrib, kita sulap alat tempur kita ini.
Jadi selain make alat musik yang udah kita punya ini, kita kombain sama
alat musik sederhana yang kita bikin dari barang-barang bekas yang kita
pakai latihan ini. Walau kita cuma anak jalanan, cuma pengamen, cuma
tukang loper koran, cuma kuli pasar, tapi kita juga bisa berkarya dengan
barang-barang sederhana ini. Jangan biarkan keterbatasan memaksa kita
untuk berhenti berjalan meraih impian kita!! Buktikan kita bisa kreatif
dengan keterbatasan kita!” kata Dayat dengan sedikit berapi-api di akhir
rapat itu.
Memang, sesuai ide yang sudah dirancang Cakka bersama
Papanya serta Ify dan Obiet beberapa hari yang lalu, hari itu akhirnya
mereka akan mulai merakit dan latihan menggunakan alat-alat musik
rakitan dari barang bekas.
“Yak pidato yang sangat keren… HIDUP DAYAT!!!” koor Iel iseng.
“HIDUUUP!!!”
“COBLOS
DAYAT NO. 3 COY!!” sambung Patton lagi yang disambut gelak tawa
anak-anak yang membuat malu seketika Dayat yang kini cuma bisa nyengir
malu-malu.
“eh udah udaah… puas loe pada godain gue? hahaha…. Yok
sekarang pada bubar jalan, kita mulai bergerak nyulap ini barang-barang
bekas. AYO SEMUA SEMANGAT SEMANGAT!!!”
Dalam hitungan
detikpun anak-anak sudah mulai membubarkan diri. Sesuai rencana mereka,
barang-barang bekas yang sudah berhasil di kumpulkan Cakka dkk di rumah
Olin Patton sebelumnya, hari itu bakal mereka sulap menjadi alat musik.
Ada kaleng, botol, ember, sampai drum bekas yang bakal mereka utak-atik
sore hari itu. Dan ada juga beberapa barang bekas yang bakal mereka
rancang menjadi kostum dan peralatan mendukung pertunjukan mereka nanti.
Pokoknya, dengan kreatifitas mereka, mereka siap ubah sesuatu yang
sederhana menjadi spesial. Itulah yang ingin mereka tonjolkan nanti
mewakili sanggar angkasa yang memang berdiri di atas segala
kesederhanaannya yang memayungi kegemilangan anak-anaknya.
“wih kuat gak yah ni kostumnya?”
“eee..
semoga deh. Kayaknya perlu kelinci percobaan dulu nih kita” sahut Ify.
Tampak disana saat itu Ify dan Via yang sedang asyik ngerancang kostum
dari barang bekas. Mereka berencana membuat kostum special untuk
anak-anak nantinya agar terlihat unik dan special.
“eh kalo ntar
di kostumnya ini di tambahin potongan-potongan lempengan kaleng minuman
gitu, keren kali fy, bling-bling kayak syahrini, hehehe…”
“Alhamdulillah yah, sezuwatu banget bling-bling hahaha”
“lebih
sesuatu lagi kalo lu pake ini vi, nangkring deh lu di perempatan sono.
Cocok! wkwk” tiba-tiba Iel datang merecokin Ify Via yang sedang asik
berdiskusi itu. Dengan isengnya dia topikan sebuah ember ke kepala Via.
“ihh… Iel apaan sih?!” omel Via sambil balas menutupkan ember itu ke kepala Iel.
“hahaha…
kan loe emang pantes. Kalo Ify mah cakep, gak cocok, Hehehe” ledek Iel
ke Via, lalu sedikit melirik ke Ify setelah menyelipkan sedikit pujian
ke Ify tadi itu. Ify cuma tersenyum.
“Gue cakep juga kali!” sahut
Via gak terima sambil menjitak Iel. Iel hanya tertawa, tapi tak
membalasnya lagi. Kini matanya tampak terpaku pada pergelangan tangan
Ify.
“eh fy itu yang ditangan loe apaan? Baru liat gue” kata Iel sambil meraih pergelangan tangan Ify.
“ohh
ini. Iseng aja. Kemaren Cakka nemu batu-batu gelang gitu kemaren. Bekas
gelang putus kayaknya trus dibuang sama yang punya. Yaudah gue maintain
deh, kumpulin, trus di rumah ada juga batu-batuan bekas gelang putus
gitu, gue bikin baru aja, hehehe… Jelek yah?” sahut Ify dengan nada agak
malu-malu.
“wehhh.. ini mah keren!” puji Iel lagi. Tampaknya Iel
hari itu sudah bertekad buat ngambil hati Ify lagi pasca hari-hari tak
mengenakan mereka beberapa hari terakhir itu.
“Nah, yang kreatif kayak gitu Vi kayak Ify..” cibir Iel lagi iseng pada Via.
“Eh
gue kreatif juga yah. Sini lu gue permak sekalian lu jadi kelinci
percobaan rancangan kita, ya gak Fy?” sahut Via gak terima sambil
memegangi tangan Iel agar tak kabur. Iel langsung melongo dan memelas ke
arah Ify sesaat.
“permak aja Vi wkwk” sahut Ify yang langsung di
sambar Via. Iel langsung manyun mendengar jawaban Ify itu, lalu tampak
pasrah saja didandani Via. Via pun langsung bekerja. Diam-diam dalam
hatinya ia merasa senang sekali mendapat kesempatan untuk mendekati Iel
seperti itu. ‘ah, Tuhan emang baik sama gue hari ini’ benak Via dalam hatinya yang mulai berbunga-bunga itu.
Beberapa
menit ke depan terjadilah make over sedikit brutal pada Iel. Ify hanya
sesekali ikut membantu. Via yang tampak begitu semangat mempermak Iel
itu membuat Ify hanya lebih banyak mentertawakan tingkah Iel dan Via
yang mencoba kostum yang sedari tadi telah dirancang mereka itu. Iel
tampak begitu kerepotan menolak ini itu dari perlakuan Via, kini juga
ikut sibuk membalas melakukan make over pada Via. Dan terjadilah
balas-balasan mempermak antara Via dan Iel.
Melihat
itu, lama-lama Ify yang merasa dicueki, diam-diam perlahan menyingkir
dari sana. Sesaat ia memandang lagi Via Iel yang tampak masih asyik
bercanda saling ledek dengan kostum rancangan mereka itu. Bibirnya
sedikit mengembang, menyunggingkan sebuah senyuman. Tampaknya rencananya
mendekatkan Via dan Iel bakal lebih mudah sekarang. Dia senang Via dan
Iel bisa akrab begitu. Ia yakin, Via pasti lagi senang sekali sekarang.
Dan itu yang paling ia ingin kan saat itu. Melihat sahabat-sahabatnya
bahagia. Sekali lagi ia memandang ke dua sobatnya itu. Mereka tampaknya
benar-benar tak menyadari kepergiannya saking serunya bercanda. Ify
kemudian mengalihkan pandangannya dan menghela nafasnya sesaat. Dia
senang melihat tawa-tawa itu. Tapi.... kenapa senyumnya terasa hambar
ya? Apa dia mulai merasa….. iri? Ify segera menepis perasaan aneh dan
pikiran tak nyamannya itu.
“WEY!!! Ngelamun aja lu!”
Ify sontak terkaget dan segera menoleh ke sampingnya. Ada Cakka disana.
Tampak ia tengah menenteng dua buah gallon bekas yang sudah setengah di
permaknya itu.
“eh elu cak”
“ngapain lu?” tanya Cakka lagi, lalu ia menoleh ke arah yang Ify pandang tadi, ke arah Via Iel.
“ohh… liatin entu, jealous ye lu sampe ngelamun gitu? wkwk”
“apaaan
sih? Jealous kenapa coba? Hahaha… ada-ada aja loe… Eh, lagi ngecat yah?
Sini gue bantuin, jelek amat hasil gambaran lu” Sahut Ify yang begitu
cepat mengalihkan topik pembicaraan.
“yee.. enak aja lu bilang
jelek” Cakka tak terima, kemudian ia melirik sedikit hasil karyanya,
“eee… iya sih rada berantakan, hehehe….” Kata Cakka lagi sambil nyengir
gaje setelah menyadari hasil kerjaannya emang agak belepotan.
“Nah, yok sini gue bantuin” ambil alih Ify.
Tak
lama kemudian asyiklah Ify dan Cakka mengerjakan. Senda gurau yang
Cakka lontarkan membuat Ify agak melupakan perasaan anehnya tadi.
“wihh.. keren juga nih. Gue akui seniman sejati lu fy, hehehe…”
“woyadong! Ify gituu.. Juara menggambar se-RT waktu SD dulu wkwk…” canda Ify juga.
“hahaha… bisa aja lu. Untung bukan muka Iel yang lu gambar wkwkw” ledek Cakka.
“ih Cakka apaan sih? Kenapa disambungin ke Iel mulu ihh” kata Ify dengan wajah agak bersemu malu.
“haha… kan dia bodyguard lu sekarang wkwkwk”
Di
tengah Ify dan Cakka bercanda-canda sambil mengerjakan proyek mereka
seperti itu, tiba-tiba tak jauh dari mereka terdengar suara gaduh….
Klotang klontanggg…..
Cakka
Ify dan beberapa anak lainnya yang berada di sekitar sana sontak
menoleh ke arah sumber suara. Ada oik ternyata tengah memandang ke arah
Cakka dengan wajah agak di tekuk. Di bawah dekat kakinya berhamburan
beberapa kaleng bekas minuman soda yang tampaknya baru saja terjatuh
dari atas meja tak jauh dari sana.
“eh Oik, udah pulang Ik?” tanya Cakka polos. Tapi bukan jawaban yang di dapat Cakka, tapi malah wajah yang semakin di tekuk.
Plangg Klotang klontanggg…..
Tendangan
kaki Oik pada kaleng-kaleng yang berhamburan di lantai itu sekali lagi
membuat keributan disana. Setelah itu Oik langsung pergi setelah
memberikan pandangan agak sinis kepada Cakka. Cakka yang tampak syok
melihat itu, cuma bisa bengong melongo selama beberapa saat.
“ampun
tuh anak. Salah gue apa coba? Lagi dapet yah?” gumam Cakka. Tapi tanpa
berpikir panjang lagi setelah itu dia kejar juga Oik.
“bentar Fy
yah, gue mau nyusul Oik bentar. Penasaran gue sama ni anak hehe…” pamit
Cakka sebelum menyusul Oik yang tadi tampak pergi ke dapur sanggar. Dan
akhirnya tertinggalah Ify kini disana sendiri yang memilih meneruskan
pekerjaan galon Cakka ketimbang ikut campur soal Cakka.
“eh
lu disini ternyata… Ninggalin gue sama Via gak bilang-bilang. Lu apain
tuh si Oik dan Cakka?” tiba-tiba Iel datang menghampiri Ify.
“hah? Emang gue ngapain?” tanya Ify bingung. Sesaat ia menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah Iel.
“eh fy tanggung jawab loe tuh, Oik ngambek gara-gara liat Cakka deket sama loe hahaha…” ledek Sion yang tiba-tiba muncul juga.
“lah? Kok pake acara ngambek?”
“lah? Belom tau loe? Oik itu naksir sama Cakka. Pasti lagi cemburu tuh sama kalian wkwkwk”
“hah?
Wkwk… Masa cemburu sama gue sih? Emang gue ngapain coba sama Cakka?
Hehehe….” Sahut Ify sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Gak
nyangka juga dia ternyata Oik naksir Cakka dan kedekatan mereka yang
sebenarnya murni untuk merancang proyek sanggar itu, udah bikin
keretakan di antara keduanya rupanya.
“Cewe ngambek susah yah?” celetuk Iel.
“cewe ngambek gitu mah, sogok aja” celetuk Sion singkat.
“lu
kira cewe koruptor main sogok-sogokan? Parah lu wkwkwk” sahut Iel
sambil menertawakan pemikiran Sion yang menurutnya sangat ngasal itu.
Tapi rupanya berbeda dengan Ify. Dia justru terlihat tertarik dengan ide Sion itu. ‘Sogok?’
benak Ify. Sesaat dia tampak berpikir. Senyum tipis terlukis di
wajahnya tak lama setelah itu. Tak lama kemudian Ify bangkit dari
duduknya.
“eh fy! Mau kemana lagi loe?” tanya Iel.
“toilet.
Mo ikut? Ganti kelamin dulu loe hahaha” sahut Ify agak sedikit bergurau
sambil memeletkan lidahnya ke arah Iel, lalu cepat berlalu meninggalkan
Iel.
---------------------------- ------------------------
“ik kenapa sih? Cakka ada salah ngomong yah?”
“Ngapain deh kaka kesini?” sahut Oik judes.
“kenapa
sih Ik?” tanya Cakka lagi. Sudah sedari tadi setelah Cakka menyusul Oik
yang pergi ke dapur, Cakka terus mencoba merayu-rayu Oik agar mau
menjelaskan padanya kenapa Oik bersikap judes padanya tanpa sebab yang
jelas seperti itu.
“gak papa! Udah. Sama temen kaka aja sana!
Terusin aja. Kan dari kemaren sama temen kakak itu asik-asik aja kan?
Sekarang ngapain nyariin Oik?”
“temen kakak yang mana sih maksudnya?”
“Tauk
ah!” rajuk Oik. Cakka menggaruk-garuk belakang telinganya tanpa sadar.
Oik yang terus menerus menjawab dengan sangat jutek dan tanpa kejelasan
begitu benar-benar membuatnya bingung dan hampir frustasi. ‘Oik kenapa sih? Gak biasanya dia kayak gini. Pake marah-marah karena gue asik temenan lagi. Biasanya juga gak papa’ benak Cakka. ‘emang gue akhir-akhir ini temenannya gimana sih? Sama siapa co…’
tiba-tiba Cakka sadar, dengan siapa dia banyak ngabisin waktu beberapa
hari terakhir itu. Mulutnya membulat tanda sebuah pemahaman baru saja
terlintas di kepalanya.
“eh cakk, eh ada oik juga….”
Tiba-tiba orang yang baru terlintas di benak Cakka tadi muncul dari balik pintu. ‘ini Ify ngapain sih? Tambah runyam nih’
omel Cakka dalam hati. Tangannya mengacak-ngacak rambutnya tanpa sadar
saat melihat Ify masuk dengan wajah tanpa dosa begitu. Gak sadar apa dia
kalo Oik lagi ngambek dan itu karena mereka berdua. Ia jadi makin
bingung, panik, takut suasana makin runyam, tapi ia benar-benar gak tau
harus berbuat apa.
“eh yang tadi udah selesai lho… Mau gue kasihin langsung Cak? Numpung ada Oiknya nih…” kata Ify pada Cakka.
“hah?
Apaan?” kening Cakka seketika berkerut, bingung sekaligus kaget
mendengar perkataan Ify itu. Tapi Ify hanya tersenyum sejuta makna.
Alih-alih menyahuti Cakka, dia malah mengalihkan perhatiannya ke arah
Oik.
“ik, kita punya kejutan buat loe loh… coba pinjem tangan kamu bentar” kata Ify.
Oik yang awalnya tampak acuh tak acuh, kini mulai tertarik mendengar kata ‘kejutan’.
Rupanya rasa penasaran dia menenggelamkan keangkuhan yang sedari tadi
ia pasang di hadapan Cakka. Oik melirik dengan sedikit bimbang pada Ify
kemudian Cakka. Tapi melihat senyum bersahabat dari Ify, pelan-pelan
dengan masih agak ragu, ia sodorkan juga pergelangannya ke arah Ify.
“coba
tutup mata kamu bentar” kata Ify lagi. Oik mengikutinya. Beberapa saat
kemudian Oik merasa sesuatu tlah melingkar di pergelangan tangannya. Oik
membuka matanya, dan melihat gelang rangkaian dari batu-batuan
melingkar manis di pergelangan oik.
“ahh.. cantik banget…”
“eh itu kan gelang pun… aw” kata-kata Cakka terpotong akibat dia dicubit Ify diam-diam.
“kemaren Cakka minta ajarin gue bikin itu lho… katanya special buat loe. Suka gak ik?” potong Ify.
“aaa…
bagus banget ka Ify, ka Cakka… makasih yaa” jawab Oik dengan begitu
sumringah. Sepertinya sudah tak ada lagi, hilang tak berbekas seketika
jejak wajah keangkuhan yang sedari tadi dipasangnya sebelumnya.
“fy,
itu kan gelang punya loe? Yang loe bikin kemaren itu kan?” bisik Cakka.
Tapi Ify cuma tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya pada Cakka.
“aaa.. Kak Cakka kok gak bilang-bilang. Beneran nih bikinan kak Cakka?”
“hah?
ehehhee… Dikit hehehee” sahut Cakka cengengesan. “udahan kan
ngambeknya? Aneh-aneh aja deh pake maen ngambek segala. Sekarang kita
keluar aja yok bantuin temen-temen yang lain” kata Cakka lagi. Oik pun
mengangguk. Pipinya tampak agak bersemu, malu karena dia sudah ngambek
tanpa alasan jelas pada Cakka.
“Yok kak Ify kita ke depan lagi” ajak Oik juga pada Ify.
“oiya, kalian duluan aja. Gue mau ngambil minum dulu…” jawab Ify disambut anggukan mengerti dari Oik dan Cakka.
“thx yah fy, gue traktir loe gorengan deh di sekolah ntar” bisik Cakka sebelum meninggalkan dapur.
Ify hanya tersenyum melihat dua anak itu berlalu. ‘Syukurlah’
kata Ify dalam hati lega. Tak apalah gelang miliknya berpindah tangan.
Lagipula sepertinya sudah menjadi tanggung jawabnya juga membuat Oik
kembali baik pada Cakka. Dia lalu beralih, mengambil segelas air putih.
Lagi asik minum, tiba-tiba ada orang yang mengejutkannya.
“pinter
yah loe nyenengin orang, bikin orang jadi deket gitu” Hampir saja Ify
keseledak karena kaget. Ify menoleh ke belakang. Ternyata ada Riko
disana.
“eh loe Rik, bikin kaget aja. Apaan sih loe rik? Gak jelas
deh ngomong apa… hehe...” Sahut Ify santai. Mendengar jawaban Ify itu,
Riko sedikit tertawa kecil.
“hahaha… lu tuh sok polos apa oon sih fy?”
“hah?
sialan lu” sahut Ify sambil nyiram Riko dengan sedikit sisa air dari
gelas di tangannya. Riko menghindar sambil tertawa lebar.
“hahaha…. Gak, maksud gue kayak kasus Cakka tadi. Pinter juga loe bikin Cakka baekan sama Oik secepet tadi”
“woyadong, Ify gitu hehehe” sahut Ify.
“termasuk antara Iel dan Via?” tembak Riko. Ify sontak langsung terdiam sesaat, lalu menatap Riko dengan sorot mata tajamnya.
“kok jadi nyambung ke mereka sih?” sinis Ify.
“gak
usah sok gak ngerti deh fy, gua tau loe lagi berusaha deketin Iel sama
Via kan?” jawab Riko tak kalah tajam. Ify membuang pandangannya. Sesaat
ia mengehela nafasnya.
“gak ada salahnya kan? Kan loe tau sendiri
Via suka sama Iel, iyakan Mr. Severus?” jawab Ify sambil kembali menatap
Riko tajam di akhir kalimatnya. Kini Riko yang gantian terdiam ditembak
Ify begitu.
“loe juga mau deketin mereka berdua kan?” desak Ify
juga, “Gue sama loe itu sama” kata Ify lagi penuh penekanan. Riko
menunduk dan menghembuskan nafas beratnya.
“hmmm… iya sih…” lirih Riko pelan. Terdengan suara agak berat di nada ucapannya.
“kok
jawabnya ragu gitu? Eee.. jangan-jangan loe suka sama Via yaa?? Loe
suka ngerayu-rayu Via kan di chat? hahaha” goda Ify yang menangkap nada
ragu di nada suara Riko barusan.
“hah? Gak kok” sahut Riko cepat.
Agak kaget juga dia mendengar perkataan Ify tadi, “gue kan di chat sama
dia emang suka becanda, sok ngerayu-rayu. Abis temen loe itu cemen
banget, demen tapi masih sok gengsi-gengsi segala hahaha” sambung Riko
lagi dengan nada lebih meyakinkan.
“yang ada loe tuh… Loe
jangan-jangan juga suka Iel tapi karena loe tau Via suka, loe jadi
ngalah, ya kan? Iyakan iya dong bener kan bener dong???” goda Riko yang
dengan cepat balas meledek Ify.
“ih, apaan sih Riko ngasal deh…”
“ih itu pipinya sampe merah gitu kenapa? hayooo ngaku ajaaa… hahaha”
“gak”
“kualat loe. Naksir beneran nyoho lu!”
“ihh
gak! Gue itu sama Iel cuma nganggep sahabat. Gak kurang dan gak lebih,
jelas sodara Riko Anggara?? Lagian mana tahan gua sama makhluk jahil
sejagat raya itu. Anak mami lagi, yang ada gue jadi pesuruh dia lagi
kayak dulu”
“ohh.. jadi lu nyodorin sahabat lu sendiri, Via, ke anak mami? Wah Ify parah nih wkwk”
“eee… Kalau sama Via mah gue yakin ga bakal berkutik dia, Via kan galak hehehe”
“wooo… Dalem lu. Iel denger digorok lu! wkwkwk”
“hahaha… canda-candaa… Awas loe cerita-cerita ke Iel, sebelum Iel gorok gue, loe yang gue kulitin duluan hahaha…”
Kata-kata
penuh canda itu terlontar dengan gampangnya dari lisan kedua orang yang
saling menggoda itu. Padahal tidak kah mereka sadari, kata-kata yang
terlontar dari mulut mereka itu sebenarnya telah membentuk sebuah topeng
kepalsuan di hati mereka masing-masing? Dan tidakkah mereka sadar,
obrolan mereka bisa menyakiti perasaan seseorang?
--------------------- ---------------------------
Tak
terasa waktu maghrib pun datang. Setelah menunaikan sholat maghrib
berjamah kemudian sama-sama berdoa agar apa yang mereka rencanakan dan
kerjakan ini dilancarkan oleh-Nya, anak-anak di sanggar pun sebagian
mulai membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing. Termasuk Iel,
Ify, Via yang sebelumnya datang bersama, kini sudah bersiap untuk pulang
bersama juga.
“eh ini besok latihan lagi kan?” tanya
Iel ketika bersiap ingin pulang. Ia masih menunggu Ify Via yang masih di
dalam. Di sampingnya ada Dayat yang mengantar.
“iya dong… waktu
kita udah gak banyak lagi sekarang. Lagian kan senin depan udah pada
ujian semester” sahut Dayat disambut anggukan mengerti dari Iel. Tak
lama Ify Via keluar bersamaan dengan Riko juga.
“eh Riko lu pulang sekarang juga?” tanya Iel.
“iya”
“Sion mana? Berangkat tadi sama loe kan?”
“iya,
tapi gue ini pulang sendiri. Sion mau kemana gitu sama Irsyad katanya.
Yaudah gue balik sendiri” jelas Riko pada Iel. “Yaudah, gue balik duluan
yah Yel. Ify Via Dayat gue pulang dulu…” lanjut Riko lagi pamit.
“Eh Riko! Tunggu dulu” tiba-tiba Iel kembali memanggil Riko yang sudah bersiap pulang dengan motor maticnya itu.
“kenapa
lagi Yel?” Riko kembali berbalik menatap Iel. Iel tampak sesaat terdiam
menatap dirinya, lalu melirik sesaat pada Via Ify.
“eee gini, loe bisa anterin Ify pulang sekalian?”
“hah? Eee bisa kok” sahut Riko.
“Fy,
gak papa yah loe pulang sama Riko?” kali ini Iel berbicara ke arah Ify
yang tampak sedikit kaget dan bingung tiba-tiba disuruh Iel pulang
bersama Riko.
“gue mau nyari buku dulu soalnya. Tapi loe ada les
piano kan malam ini? Biar gue sama Via deh, loe pulang duluan sama Riko,
gak papa kan?” tanya Iel lagi. Ify agak sedikit terhenyak sembari
menatap Iel. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum tipis dan mengangguk.
“sip!
Lagian…. kapan lagi coba loe bisa bebas dari makhluk jail sejagat raya
kayak gue?” kata Iel lagi sambil melirik pada Ify dengan senyumnya
manisnya. Ify balas menatap Iel. Ia kembali sedikit terhenyak kini.
Entahlah, ia merasa ada yang berbeda di balik senyum itu.
“kok
muka loe kayak gak yakin gitu sih? Tenang aja… Temen loe ini pasti gue
balikin sehat wal afiat deh!” sahut Iel lagi sambil merangkul Via. Ify
sempat melirik ke arah tangan Iel yang merangkul Via itu, tapi dia
cepat-cepat mengalihkan pandangannya sebelum perasaan aneh itu muncul
lagi. Ia lalu menatap Iel dan tertawa kecil.
“hehehe… iya iyaa…
gue percaya. Awas aja loe macem-macem sama sohib gue” sahut Ify. Sebuah
senyum tertoreh di bibirnya yang diam-diam menyembunyikan sedikit
perasaan asing yang kurang mengenakkan di hatinya.
“yaudah, yok Ko
kita balik sekarang. Ntar guru les gue kelamaan nungguinnya nih” ajak
Ify akhirnya sambil berjalan ke arah Riko yang sudah menunggu di atas
motor maticnya.
“kita balik duluan yaa” kata Riko berpamitan setelah Ify telah menaiki motornya,
“kalo Iel macem-macem hajar aja Vi hehehe… Kita pulang duluan yaa semuaa.. Assalamu’alaikum” pamit Ify juga.
Dan
kemudian berlalu lah Ify dan Riko. Iel sesaat terdiam menatap datar
motor Riko sampai hilang di balik tikungan. Sorot mata dinginnya seperti
memendam berbagai misteri yang tak mudah untuk dibaca. Sama seperti
hatinya yang kini tampaknya sudah tak karuan bentuknya membuatnya begitu
sulit untuk ditebak kemana mengalurnya. Setelah sesaat terdiam menatap
kepergian Ify dan Riko itu, kemudian dia berbalik ke arah Via dan juga
Dayat yang masih ada di belakangnya.
“Dayat, kita balik
dulu yah…” pamit Iel sambil menyalami Dayat, “hey Via, Ayok!” ajak Iel
kepada Via yang sontak membuyarkan segala lamunan Via. Memang sedari
tadi Via seperti begitu tak menyadari lagi dengan sekitarnya. Dia telah
terlarut dalam angan dan kenyataan yang begitu membahagiakan dirinya.
Bagaimana mungkin, malam itu dia bakal jalan berdua sama Iel? Ini
sungguh bagai kejatuhan durian bagi Via. Dan dengan senyum yang tak
kunjung padam itu, Via pun mengikuti berjalan menuju mobil dimana Pak
Asdi telah menunggu mereka sedari tadi.
-------------------------------- ----------------------------
Bangsal
salah satu ruangan rumah sakit itu tampak sepi. Terlihat hanya ada dua
orang yang terlihat hangat bercengkrama di sana. Seorang ibu yang kini
tampak sudah mulai membaik kondisinya tengah membelai lembut kepala
seorang anak yang tampak begitu dewasa diumurnya yang sebenarnya belum
terlalu matang itu. Mereka menghabiskan malam, berbagi cerita dan tawa,
yang terus semakin menghangatkan jalinan kasih sayang antar ibu dan anak
itu.
“gimana persiapan mau lomba di sanggarnya? Lancar?”
“lancar kok bun… Tadi obiet sebelum kesini kan latihan sama anak-anak. Doain bisa keren yah bun”
“pasti bunda doain…” jawab bunda.
“eh
tapi gak cape kamu abis latihan nemenin bunda gini di RS? perasaan dari
kemaren kamu terus yang temenin bunda.” Kata bunda lagi.
“emang bunda gak seneng yah Obiet yang nemenin?”
“ya bukan begitu maksud bunda. Tapi kan disini cape”
“buat ngejaga bunda, nemenin bunda, gak ada kata cape sih buat Obiet” sahut Obiet dengan senyum manisnya.
“bisa
aja kamu ah” sahut bunda. Kata-kata manis yang selalu saja bisa
mengambil hatinya itu, semakin membuatnya begitu sayang pada anak
asuhnya kebanggaannya itu.
“hmm… Bun, boleh nanya sesuatu gak?”
“apa?”
“eee…. bun, kalau orang tua ada yang bedain anak itu kenapa ya?”
“bedain gimana maksudnya?”
“yaa… kadang kan ada gitu, sama si adik lebih ketat, tapi sama si kakak lebih bisa ngasih kebebasan”
“hmm…
Tergantung. Setiap orang tua pasti sayang sama anak-anaknya, pasti
berbuat adil, semua pasti ditujukan untuk yang terbaik untuk anaknya.
Kalo tampaknya berbeda, mungkin cara-cara yang dipilih si orangtuannya
buat ngedidik dan ngebentuk pribadi anak-anaknya aja mungkin
berbeda-beda tiap anaknya…”
“maksudnya?”
“ngebesarin
anak itu kalo bunda bagaikan mengukir batu menjadi sebuah patung yang
indah. Gak bisa dipukul terlalu keras karena bakal bisa
menghancurkannya. Tapi juga tak bisa terlalu pelan karena takkan bisa
terbentuk seperti yang kita harapkan. Ukir dan bentuk sesuai apa yang
kita harapkan”
“tapi kok kadang bisa beda-beda?”
“tiap jenis
batukan beda-beda? Gak bisa menyama ratakan perlakuan kita antara baru
jenis A dengan batu jenis B. Semua perlu teknik masing-masing biar
hasilnya bagus. Yang pastikan semua maksudnya baik, pengen hasil yang
terbaik” sahut Bunda lagi. Obiet mengangguk-angguk sambil
menggaruk-garuk kepalanya, mencoba mencerna ucapan Bundanya itu.
“bunda ini ahli patung batu apa pengasuh panti asuhan anak sih, hehehe….” Sahut Obiet dengan nada bercanda.
“haha..
Bunda kan cuma ngasih perumpamaan biar kamu ngerti. Lagian kamu juga
malam-malam tiba-tiba nanyain yang beginian, tumben. Emang udah mau
punya anak yah? Hahaha”
“yee.. Bunda tambah ngaco nih. Anaknya
masih belum cukup umur gini dibilang mau punya anak. Kan nanya doang
Bundaa hehehe… Yaudah, Bunda sekarang istirahat aja, udah malam” kata
Obiet sambil mulai menyelimuti sang Bunda. Bunda membenarkan posisi
rebahannya. Cup. Sekecup ciuman kecil di kening sang Bunda yang
diberikan salah satu anak kebanggaannya itu bagai obat mujarab bagi
Bunda untuk menutup malamnya itu dengan indah.
“kamu juga
istirahat yaa” kata Bunda sebelum menutup matanya, mencoba untuk tidur.
Obiet mengangguk, lalu bangkit dari bangku disamping tempat tidur
Bundanya itu.
Perlahan setelah bundanya terlelap, Obiet
keluar ruang rawat inap Bundanya itu, dan mulai menyusuri lorong-lorong
rumah sakit. Itulah kebiasaannya setiap malam selama menemani bundanya
di RS, menenangkan diri sembari melihat suasana malam di RS.
Sembari
berjalan berkeliling rumah sakit, perkataan bundanya tadi terus
berputar di kepalanya. Sebenarnya bukan tanpa alasan ia bertanya hal
tadi pada bundanya. Shilla. Dia tak bisa melupakan masalah gadis itu.
Tidak bisa membiarkan lebih tepatnya. Dari cerita-cerita Agni, dan hasil
perdebatan mereka malam sebelumnya, Obiet mulai bisa menerka-nerka apa
yang sebenarnya dirasakan Shilla. Kecemburuan seorang anak serta
hilangnya kepercayaan kepada orang tuanya yang ia anggap tak adil.
Mungkin itu yang membuat Shilla menjadi seperti sekarang.
Obiet
terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit itu. Ia rapatkan jaket yang
ia pakai itu. Tampaknya udara malam itu sedikit lebih dingin dari pada
biasanya. Mencari minuman hangat seperti nikmat malam itu. Obiet pun
memutuskan untuk menuju warung di depan rumah sakit itu. Saat melewati
sebuah lorong, langkah Obiet terhenti. Tak jauh dari sana ia melihat
seorang gadis terduduk sendiri dalam diamnya. Walau ia menyembunyikan
wajahnya dibalik dekapan tangannya, tapi obiet bisa tau, gadis itu
tengah menangis. Pundaknya terlihat bergetar di antara isak pelannya.
Obiet tetap diam disana, tak mendekat, tapi tak jua menjauh. Ia terus
memperhatikan gadis itu. Tak lama kemudian, gadis itu tampak berdiri,
lalu melangkah dengan gontai ke arah taman rumah sakit yang terletak tak
jauh dari sana. Dia masih diam terpaku terus mengamati kepergian gadis
itu. Tapi lamunan terpecahkan saat ada seseorang yang menegurnya.
“Kak Obiet! ngapain?” Obiet berbalik. Ada Agni rupanya disana.
“Shilla kenapa lagi dia?” tanya Obiet. Agni sedikit menunduk. Tampak wajah sendu kembali menghiasi wajahnya.
“mamanya
shila tadi sore sempet memburuk kondisinya kak. Tapi dokter baru aja
selesai menangani. Dan Alhamdulillah, katanya udah mulai stabil lagi
kondisinya. Aku takut banget kak kalo tante jadi kenapa-kenapa. Kak
Shila juga pasti sangat tergoncang banget karena itu. Dia menyendiri
terus dari tadi sore …” cerita Agni. Obiet sedikit terhenyak mendengar
cerita Agni itu. Yah, Agni benar. Shilla mungkin saat ini tengah begitu
sedih. Biar seburuk apapun hubungan seorang anak dengan orang tuanya,
pasti masih ada rasa sayang di hatinya.
“yaudah, aku mau pulang dulu ya kak, besok aku udah mau masuk sekolah lagi”
“ohya? Shilla?”
“kalau kak Shila…. Kayaknya nggak deh. Kakak bisa liat sendiri kondisinya kan?” jawab Agni. Obiet mengangguk mengerti.
“Tapi kakak belum kasih tau soal kak Shila sama siapa-siapa kan?”
“nggak kok. Tenang aja”
“makasih
yah kak. Aku cuma takut kak Shila marah. Karena, kayaknya kak Shilla
benar-benar pengen sendiri deh” lirih Agni lagi sendu. “Yaudah aku balik
sekarang. Dah kak Obiet” pamit Agni kemudian. Obiet mengangguk dan Agni
pun berlalu.
Selepas kepergian Agni, perlahan Obiet
kemudian menatap ke arah yang dituju Shilla tadi. Sebuah pikiran dan
tekad kini menyelimuti dirinya dan menggugahnya untuk segera melakukan
sesuatu. Sesuatu yang patut dicoba dan mungkin nantinya bisa mengubah
keadaan. Perlahan Obiet bergerak, berjalan menuju taman rumah sakit itu.
Beberapa saat ia berkeliling mencari sosok gadis itu. sampai akhirnya
ia menjumpainya tengah duduk di sebuah bangku di taman itu. Keadaannya
masih sama seperti pertama kali Obiet menjumpainya di lorong rumah sakit
beberapa waktu yang lalu itu. Bagai sebuah karang yang berusaha kuat
menahan deburan ombak, sembari menampik kuat bahwa ia sebenarnya sudah
mulai rapuh, terkikis oleh hempasan kuat beribu-ribu ombak itu terus
menghantamnya.
Perlahan Obiet mendekat dan duduk perlahan di
bagian kosong bangku panjang taman yang diduduki gadis itu. Ia sandarkan
tubuhnya santai sambil menatap langit malam yang cukup cerah itu.
“persediaan air mata loe unlimited yah?”
-------------------------- BERSAMBUNG -----------------------------
7 komentar:
ceritanya keren... lanjutin lagi ya:) semangat
ga sabar nuungguin lanjutan ceritanya... ceritanya bagus banget nget nget..
Cerbungnya beda banget sama yang lainnya. Kebanyakan yang aku baca pasti Kak Ify sama Rio..
Bagus banget deh Kak, lanjutin terus ya :)
gk sabar nunggu lnjutan nyaa..
kapan ni kk..
Lanjut ceritanyaaaa..
keren sumpah
:)
semangaaaaaaattt
banyak yang nunggu loh kak
pliss deh ka lanjutin lagi ceritanya... udah lama banget nungguin tapi ga lanjut-lanjut -_-
kak, kok gk di lanjut2 lagi sih,? udah mati penasaran inii..
Posting Komentar