Lanjutan dari PROMISE Part 46: Sebuah Kenyataan. Baca juga Promise Part 1: Awal untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.
NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)
-------------------misst3ri---------------------
Hari kembali menjumpai sang mentari pagi. Begitu pula dengan para pelajar yang harus menjumpai kegiatan rutinnya di sebuah bangunan yang bernama sekolah. Dan Gabriel pagi itu kembali menghadapi rutinitasnya itu dengan sedikit kelesuan. Kejadian di hari yang lalu masih begitu membebani dirinya. Pertengkarannya dengan Ify sore hari yang lalu benar-benar membuat Gabriel tak bisa menikmati sisa harinya kemaren dengan pikiran yang tenang. Sikap Ify yang dia anggap berubah dengan begitu tiba-tiba itu masih tak bisa logikanya jangkau. Dan kini, dalam pikiran Iel cuma ada satu hal. Dia harus menemui Ify dan meluruskan segalanya kembali.
Iel memasuki gerbang sekolah dengan sedikit terburu-buru. Dia tak ingin kegalauan dalam dirinya ini bersemayam lebih lama lagi. Dan hanya dengan berhasil berbicara dengan Ify dia yakin bakal bisa lebih tenang.
“woy Yel! Buru-buru amat loe! Kebelet? Hahaha…” tegur seseorang. Iel menoleh dan menjumpai Cakka kini tengah berlari kecil mengejar dirinya.
“gak kok” sahut Iel sambil tersenyum, dan lalu mereka bersama-sama menuju kelas.
Iel mencoba sedikit santai dan memelankan langkah kakinya saat bersama Cakka. Tapi hatinya berdegup kencang tak sabar. ‘sabar Iel… Ify gak bakal lari kemana-mana kok. Loe masih satu kelas dengan dia. Tenang, semuanya pasti bakal cepat beres’ itu yang berkali-kali Iel katakan dalam hatinya untuk menenangkan ketidaksabarannya sekaligus menyemangati dirinya sendiri. Setelah berada tinggal beberapa meter dari pintu kelas, senyum Iel sedikit merekah. Ia bisa melihat gadis yang membuat dirinya tak tenang itu tengah duduk di kursi depan kelasnya. Iel pun semakin melangkah penuh semangat.
“eh Fy..”tegur Iel saat sudah berada di dekat Ify.
“eh Cakk, nongol juga loe akhirnya… pulang sekolah jadikan kita ke rumah Patton? Gue punya ide baru. Gimana kalo…..” bukannya menanggapi Iel, Ify malah berdiri dan dengan cueknya melewati Iel, berjalan ke arah Cakka kemudian mengajak Cakka yang berada di belakang Iel itu untuk mengobrol. Ify lalu membawa Cakka menjauh untuk mengajaknya berdiskusi, meninggalkan Iel yang kini hanya bisa menatap sendu Ify dan Cakka yang tampak asik mengobrol itu.
“sekarang lagi musim kacang yah?” lirih Iel lesu tanpa sadar sambil terus menatap Ify yang baru saja berlalu itu. Semangat yang coba ia bangun susah payah dari pagi tadi, tiba-tiba runtuh dengan seketika saat ia menjumpai kenyataan itu.
“eee Yel… gue boleh minta bantuan loe gak?” Lamunan Iel terbuyarkan. Iel menoleh dan menjumpai Via yang kini berdiri di sampingnya dengan sebuah buku di tangannya.
“yaa.. tentu aja boleh kalo gua bisa bantu. Apaan?” sahut Iel masih dengan nada bingung. Keningnya sedikit mengerut melihat kehadiran Via yang tak disangka-sangka itu.
“loe kan jago bahasa inggris. Bisa ajarin gue gak? Gue ada yang gak ngerti. Ntar kan jam ke 4 kita ada test…” ucap Via agak sedikit menundukkan kepalanya.
Iel terdiam sesaat. Ini masih terasa sebuah surprise buat dia. Prilaku Via yang ramah beberapa hari terakhir masih sedikit membuatnya canggung setelah perang alot mereka yang tlah terbentuk selama bertahun-tahun itu.
“hmm.. boleh deh. Kenapa nggak kan? Hehehe” sahut Iel akhirnya mencoba membalas sikap ramah Via. Dia memang boleh sering keok dalam pelajaran yang berurusan dengan angka-angka. Tapi tidak dengan pelajaran yang satu ini. Dimana dia bisa unjuk kecerdasan dengan bangga dengan para guru.
“oke deh. Kita belajarnya di dalam kelas aja yaa…” sahut Via gembira. Iel mengangguk dan setelah itu dengan cepat Via pun meraih pergelangan tangan Iel untuk mengajaknya masuk ke kelas. Sesaat Iel sekali lagi melirik tempat Ify dan Cakka. Dia kembali menghembuskan nafasnya begitu berat lalu melangkah masuk mengikuti Via.
--------------------misst3ri---------------------
Tett teettt…. Tanda jam pertama kegiatan belajar mengajar di pagi itu tlah berbunyi. Anak-anak yang masih berada di luar kelas pun mulai bergegas memasuki kelas masing-masing.
“eh, vi… udah jelaskan?” kata Iel.
“eh vi? Udah jelas kan?” tanya Iel lagi karena tak ada sahutan dari Via.
“hah? Eh oh, iya iyaa yell.. ngerti kok gue hehehe…” jawab Via agak gelabakan.
Via kembali menunduk. Jujur saja, sepanjang Iel menjelaskan tadi dia banyak asik bermain dengan pikirannya sendiri sembari menahan gejolak kegembiraannya bahwa saat itu Iel tengah begitu dekat dengan dirinya sekarang. Entahlah, ketimbang bahasa-bahasa bule yang diucapkan Iel saat menerangkan kepadanya itu, lebih banyak terdengar bagaikan nyanyian surga di telinganya. Oke ini lebay, tapi begitulah yang ia rasakan saat itu.
“bagus deh, gue balik ke bangku gue yah…” kata Iel sambil mengembalikan kursi sila yang pagi itu masih juga kosong, ke tempatnya semula. Saat mengembalikan kursi sila itu tiba-tiba pundak Iel ditepuk kuat seseorang. Iel pun tersentak kuat karena kaget.
“WOY!!! Ketauan ada yang mojok pagi-pagi!! Hahaha….” Teriakan itu memperlengkap kekagetan Iel.
“CAKKA!! JANTUNGAN GUE!!” teriak Iel saat berbalik dan menjumpai wajah iseng Cakka sudah terpampang dengan polosnya di hadapannya.
“hahaha… sori sorii… eh, yel pulang sekolah kita ke rumah Patton olin yah. Jangan langsung pulang loe…” cerocos Cakka tanpa basa basi.
“hah? Mau ngapain? kalo gitu gua telepon pak asdi deh biar gak usah jemput gue” sahut Iel cepat.
“eh jangan” sahut Cakka cepat, “Gua ada perlunya sama mobil loe dan pak asdi sebenarnya, lu nya mah ga penting, hahaha…”
“sialan lu” rengut Iel, “emang pada mau ngapain?” lanjut Iel.
“borong amunisi. Ya gak fy?” sahut Cakka sambil mengalihkan pandangannya ke Ify yang kini sudah duduk dibangkunya, tepat disamping meja Via, “Kita minjem mobil Iel aja ya fy. Oke kan ide gue? Hahaha” kata Cakka lagi.
“hah? Sama Iel? Eee… Iya deh…” sahut Ify singkat, “eh tapi kalo gitu gua mau ngajak Via juga. Vi loe ikut juga yah…” kata Ify kemudian. Via yang tiba-tiba diajak Ify seperti itu sedikit kaget.
“lho? kok gua ikutan juga?” Tanya Via. Iel yang saat itu masih berdiri di depan meja Via sedikit melirik ke arah Ify. Dia merasa ada yang aneh dari nada bicara Ify. Sepertinya Ify mengajak Via karena Cakka juga melibatkan dirinya. Dan saat itulah matanya sesaat bertemu tatapan mata Ify yang tampak telah memudarkan sinar kehangatannya, persis seperti saat pertengkaran mereka sore hari sebelumnya. Tapi kontak mata itu terputus karena seketika Ify mengalihkan padangannya ke arah Via.
“ayolah vi, mau yah… pleaseee….” rayu Ify lagi. Via pun tersenyum dan mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
“seep… kalo gak, masa loe tega liat sahabat loe ini berangkat sendirian sama penyamun-penyamun iseng ini, hehehe…” sahut Ify lagi dengan nada sedikit bercanda sambil melirik Cakka Iel yang sontak disambut tepokan buku dari Cakka ke arah Ify yang berdiri persis di samping meja Ify.
“ih Cakkaaa… sakiittt!!” keluh Ify sambil mengusap jidatnya. Cakka hanya tertawa penuh kemenangan sambil menyeret Iel menjauh. Ify yang tak terima sudah siap mengejar untuk membalas, tapi niatnya harus diurungkan karena guru yang mengajar mereka pagi itu telah datang, tanda mereka harus memulai kegiatan belajar mengajar di pagi hari itu.
----------------------misst3ri-------------------------
Dentingan-dentingan suara sendok yang beradu dengan piring dan gelas terdengar saling bersahutan. Suara-suara obrolan dari satu meja ke meja lain menambah keramaian di tempat itu. yap, sebuah tempat sasaran utama anak-anak sekolah dikala waktu istirahat, apalagi kalau bukan kantin. Disalah satu meja panjang, dipenuhi beberapa anak-anak laki-laki yang tengah asik mengobrol.
“syad, gimana kemaren ke rumah agninya? Ketemu?"
“gak. Yang ada malah kita ke rumah sila”
“lah? Kok ke sila?”
“iya. Pas kita kemaren ke rumah agni, kata Ify itu rumahnya sila. Tau deh. Bingung gue” jawab irsyad masih sedikit lesu karena keberadaan agni yang masih misterius itu.
“sila? Masa serumah? Ade kakak yah mereka” celetuk debo polos.
“ngarang lu de. Sila cuma punya ade 1, dan itupun masih SD. Gak mungkin agni…”
“iya nih, masa mereka kakak ade? Ada-ada aja loe. Ga liat apa mereka kalo digabung kaya kopi susu gitu” celetuk Sion juga.
“hus!! Enak aja lu…. Gue sebagai bangsa kopi tersungging nih, eh tersinggung” kata irsyad.
“hahaha… sori bro, gak maksud. Dia kan kopi tapi manis. Kalo elu mah kopi item yang pait! Wkwkwk” jawab Sion asal.
“eh, jangan salah…. Biar kopi-kopi pait gini juga, banyak bikin orang ketagihan, sakaw kena kafein gue yang super mempesona, wkwkwk” sahut irsyad sedikit narsis.
“mempesona pale lu?! Empet gitu juga wkwkwk” ledek Sion lagi. Dan beberapa waktu kemudian pembicaraan yang lumayan serius itu berubah topic menjadi ajang lewak antara Sion dan irsyad yang sangat begitu cocok kalau soal ledek-ledekan dan narsis-narsisan.
Sementara Obiet yang juga tengah berada disana, mendengar obrolan tentang sila dan agni tersebut, dia jadi teringat pertemuannya dengan dua orang tersebut. Memorinya bergerak cepat memutar ulang setiap jejak kejadian yang terjadi. Dia tak menceritakan perihal itu pada siapa pun. Bukan dia tak mau cerita tentang penemuan dia ini. Dia yakin teman-temannya bakal senang kalau mendengar hal ini. Tapi, dia merasa ini bukan waktu yang tepat. Melihat kondisi shila malam itu yang masih begitu emoSional, Obiet merasa tak sebaiknya dia membongkar masalah itu. Masih begitu banyak hal yang perlu dia pertimbangkan sebelum memberitahukan pada semua perihal masalah shila, mamanya dan juga agni tentunya.
Malam itu agni sempat bercerita panjang lebar tentang kecelakaan yang menimpa mama shila. Juga cerita tentang hubungannya dengan sila selama ini, dan tentu saja pertengkaran sila dan mamanya sebelum kecelakaan itu, dan juga pertengkaran-pertengkaran yang sebenarnya sudah sering terjadi di hari-hari sebelumnya juga. Yah, tentang pertengkaran antara ibu dan anaknya yang merasa terasingkan, merasa tak dianggap lagi sebagai anak yang seharusnya mendapat perhatian penuh. Tak Obiet kira, masalah seperti itu dia kira cuma bisa terjadi di sinetron-sinetron yang biasa kaum hawa di pantinya tonton tiap malam itu. Entahlah. Dia kini merasa kasian, tapi juga bingung menyikapi masalah shila ini. Karena… Apa yang dia tahu tentang kasih sayang orang tua jika dia merasakan saja tak pernah?
“eh biet kenapa loe? Diem aja dari tadi..” tiba-tiba sebuah teguran menyadarkan Obiet. Obiet menoleh dan melihat Cakka yang kita sudah menatapnya penuh.
“eh, gak papa kok…” lirih Obiet dengan senyum simpulnya.
“lu ikut kita gak ke rumah Patton pulang sekolah ini?” kata Cakka lagi.
“eee… gue kayaknya gak bisa ikut deh.. Mau ke rumah sakit gue. Mbak nana dan rahmi harus stay dipanti. Ade-ade banyak yang sakit, jadi rada bawel kalo ditinggal. Maklum lah, musim flu kan sekarang….”
“oh gitu yah? Yaudah deh… kalo loe yat?” kata Cakka lagi yang kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Dayat.
“wah gue kan hari ini harus ngajar di sanggar. Loe tau lah, om tio dan istrinya kan lagi gak ada. Jadi so pasti sanggar dibawah tanggung jawab kita. Lagian loe ngajaknya dadakan gini sih…”
“ya sori, kan idenya baru nongol kemaren hehehe… yaudah deh, gue bareng Iel dan Ify aja. Ada Patton dan olin juga ntar bantu. Eh, ada Via juga. Pasukan cukup kok”
“gue kok gak diajakin?” celetuk Sion.
“ngajak elu? KAGA!! Yang ada mah ntar lu ngancur kerjaannya wkwkwkwk” sahut Cakka yang langsung membuat Sion cemberut.
“hahaha…. Yaudah, yang hari ini biar gue, Iel Ify Via olin Patton aja. Kalo kebanyakan orang ntar disangka tawuran lagi di sana, hehehe…. Tapi ntar besok kita rapat, semua harus datang ke sanggar yah….” Kata Cakka, “Lu juga yon harus datang. Pasti ntar cucian piring banyak abis rapat wkwkwk” kata Cakka lagi ke Sion.
“dihh… pas ada gituan aja gue diajak..” lagi-lagi Sion yang kena jadi bahan ledekan hanya bisa manyun dan langsung disambut gelak tawa yang lain.
---------------------misst3ri------------------------
Siang itu di satu kawasan perumahan padat penduduk di sudut kota….
“nah, itu barang-barang hasil mulung bapak gue… cari aja sesuka kalian..” kata olin.
Siang itu sepulang sekolah, Cakka, Iel, Ify, dan Via sudah berada di rumah olin. Mereka berencana mencari beberapa perkakah bekas yang mungkin bisa mereka gunakan untuk pertunjukkan nanti. Kurangnya peralatan musik yang dimiliki sanggar membuat mereka harus berpikir kreatif untuk dapat menyajikan pertunjukkan yang keren disaat lomba nanti. Dan seperti ide yang telah di diskusikan Cakka, Obiet dan Ify bersama papanya Cakka kemaren itulah mereka memutuskan mengambil langkah ini.
“makasih lin, ntar barang yang kita ambil kita bayar deh. Oke?” kata Cakka
“wah, barang yang kalian ambil seberapa sih? Gak usah repot-repot gitu kka…” tolak olin halus.
“udahlah… biar dikit, kita tau kok itu bernilai gede buat keluarga loe. Udah loe ikut apa kita aja, oke?”
“terserah kalian deh, siapa yang gak mau dikasih duit, hehehe….”
“hahha.. sok malu-malu lu lin! Sok basa-basi! Hahaha…“ ledek Patton yang saat itu tengah ada disana juga, “ eh, emang mau nyari barang yang kayak gimana coy?” tanya Patton lagi.
“emmm… mungkin kumpulin aja dulu kayak botol-botol, kaleng-kaleng, drum-drum, ember, atau yang sejenisnya gitulah… ntar kita pilah-pilah lagi”
“di kumpulin di rumah Patton aja kali yah? Biar enak sekalian dibersihin ntar. Kalo disini ntar kecampur lagi. Lagian rumah gue lagi kebanjiran lagi nih. Biasa kemaren kan hujan, hehehe…”
“bener coy…”
“oke. jadi semuanya bisa nyari barang-barang yang seperti gue bilang tadi. dan kita kumpulin di halaman rumah Patton yah? Oke semua, saatnya bekerjaaa….” Kata Cakka akhirnya mengarahkan teman-temannya. Anak-anak pun membubarkan diri dan memulai pencarian mereka.
---------------------misst3ri----------------------
Saat itu Ify tengah membongkar-bongkar tumpukan perkakas bekas yang ada didalam sebuah gerobak. Tak jauh dari sana sepasang mata memantau diam-diam. Pelan-pelan ia mendekati.
“eh fy, gue mau ngomong ten…..”
“kalo mau ngobrol ntar-ntar aja deh yel. Ntar kerjaan kita gak kelar…” potong Ify tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan barang bekas dihadapannya itu.
Iel menghembuskan nafas sesaat. Sepertinya Ify benar-benar sulit untuk diajak berkompromi sekarang. Sejak dari sekolah, sampai saat ke rumah olin menumpang dengan mobilnya tadi, dia tak sedikitpun ia bisa curi-curi untuk berbicara berdua dengan Ify. Ify seperti selalu menghindar darinya. Dipaksa hanya bisa diam-diam seperti itu, benar-benar mengelitik hati Iel. Dan menghadapi penolakan halus Ify tadi, lagi dan lagi, ia hanya bisa menghela nafasnya dan mencoba lebih bersabar menahan gejolak ketidaknyamanan di hatinya. ‘Yah, udah deh. Harus lebih pelan-pelan lagi kayaknya gue ngomongnya’ batin Iel. Iel pun kemudian mulai bergerak, mencoba menyibukan diri seperti yang lainnya, sambil terus berharap ada sedikit kesempatan untuk berbicara dengan Ify agar dia bisa menerobos masuk dan menyudahi sikap dingin gadis itu.
Dan untuk beberapa menit kemudian kedepan, sudah terlihat semuanya telah asik dengan aktivitas mereka sama seperti Ify. Tapi tak perlu waktu lama, keringat sudah mulai mengucur di kening Ify. Matahari yang sudah mulai condong ke timur itu rupanya masih juga kuat bersinar begitu sangat perkasa siang itu. Berkali-kali Ify menyeka keringatnya dengan lengan bajunya. Kini dia mulai bermandikan keringat seperti. Tapi itu tak menyurutkan semangat Ify untuk terus melanjutkan pekerjaannya itu.
“eh lu disana aja gih. Disini panas fy…”
Ify menoleh, ada Iel disampingnya yang tampak juga asyik ikut membongkar-bongkar tumpukan barang yang sama dengan dirinya. Tapi kemudian Ify akhirnya hanya diam tak menyahuti Iel lalu memilih kembali melanjutkan aktivitasnya setelah sedikit agak menjauh dari daerah Iel membongkar-bangkar barang tersebut.
“Eh ati-ati! Sini gue aja yang ngeluarin barangnya. Kalo ini tumpukan jatoh nimpa loe gimana?”
“gak istirahat fy? Udah keringatan banget gitu juga lu….”
“sini gue aja yang ngangkat, lu bagian bersih-bersih diseberang aja gih…”
“barang yang didapet udah banyak tuh, gue aja yah yang lanjutin nyari-nyari disini. Lu disana aja gih bersih-bersih sama Via…”
Berkali-kali celoteh Iel itu lagi lagi dan lagi merecoki keasyikan Ify memilah-milah barang. Seketika setelah beberapa kali di recokin seperti itu, Ify akhirnya terdiam dan memandang Iel dengan agak kesal. Sesaat ia menghela nafas, lalu berkata…
“iyee mama Iel tayong. Muah.. Nih….” Jawab Ify dengan nada agak sebal sambil menyerahkan barang yang ia angkat kepada Iel kemudian langsung menjauh dari Iel.
“mama Iel?” lirih Iel. ‘emang gua kaya emak-emak yah?’ benak Iel yang masih berdiri terbengong-bengong melihat tingkah Ify tersebut. Lalu masih dengan wajah bingung, ia berjalan kearah Cakka sambil membawa sebuah kaleng bekas cat itu.
“eh emang gue kayak emak-emak yee?” lirih Iel.
“apaan sih lo yel? Aneh-aneh aja deh… hahaha” sahut Cakka sambil melewati Iel dengan santai. Iel lalu mendekati Patton yang juga berada di dekat sana, lalu melontarkan pertanyaan yang sama.
“ton, tampang gue kayak emak-emak yah?” tanya Iel lagi dengan tampang yang polos bak bayi tak berdosa.
Patton terdiam sesaat, menghentikan pekerjaannya, lalu memandang Iel dengan serius. Matanya penyorot detail dari ujung rambut Iel yang agak jabrik itu, sampai ujung kaki Iel. Keningnya sedikit mengerut, lalu tangannya perlahan mengelus-elus dagunya seakan-akan tengah berpikir keras. Iel melihat itu ikut terdiam seakan mempersilahkan Patton menilai dengan jeli. Patton kemudian bergerak mengambil sebuah bakul yang kebetulan berada di dekat sana.
“coba lu pegang ini dulu coy” Iel meraihnya walau dengan sedikit kerutan di keningnya. Bingung.
“trus lu buka deh ni payung” kata Patton lagi sambil menyerahkan sebuah payung bermotif kembang-kembang yang sudah lumayan buluk itu kepada Iel. Iel pun tanpa tanya dan kecurigaan sedikitpun, masih menuruti apa kata Patton.
“lu mo ngapain sih?” tanya Iel akhirnya. Patton masih juga diam. Dia malah asyik ngambil taplak meja, lalu melipatnya. Patton melirik ke arah Iel. Lalu tersenyum.
“kan lu nanya apa lu kaya emak-emak kan tadi?”
“iya…” lirih Iel polos. Tanpa Iel bisa bendung, tiba-tiba saja Patton dengan cepat mengerudungkan taplak meja yang sudah ia lipat membentuk segi tiga itu ke kepala Iel, lalu mengikatnya dengan kencang tepat di bawah dagu Iel.
“ADOWHH!!” teriak Iel reflek karena ikatan Patton sangat kuat pada bawah dagunya.
“nah! Kalo gini nih baru lu mirip emak-emak coy! Wakakakakk” teriak Patton sambil segera mengambil langkah seribu. Iel yang masih syok dengan perlakuan Patton terhadap dirinya yang hampir saja jadi korban pencekekkan taplak meja, sekilas melihat bayangan dirinya pada kaca jendela rumah. Dirinya langsung bergidik melihat penampilan aneh dirinya dengan kerudung, payung serta bakul yang tergantung di bahunya.
“PATTOOONNNNN!!!!!” teriak Iel. Seketika saja dalam beberapa detik kedepan, Patton telah diburu dengan begitu ambisius oleh Iel yang mengejarnya sambil mengancung-ancungkan payung ke arah Patton.
------------------tri3am---------------------
“lu kenapa sih sama Iel? Aneh banget sih lu berdua…” pertanyaan itu terlontar begitu saja saat Cakka datang menghampiri Ify. Ify hanya melirik sekilas pada Cakka, lalu kembali focus pada pekerjaannya.
“gak.. biasa aja” sahut Ify enteng sambil terus membersihkan beberapa barang bekas menggunakan lap basah.
“hahaha.. sok cool banget lu jawabnya hehehe…” canda Cakka, “Eh, si Iel kenapa sih? Abis ngomong sama lu masa dia tiba-tiba datangin kita nanya, ‘muka gue kayak emak-emak yah?’ Gitu kata dia. Error kan tu bocah? Hehehe…”
“emang kayak emak-emak” sahut Ify datar.
Cakka menghentikan tawanya, lalu melirik ke arah Ify dengan penuh selidik.
“jangan-jangan gara-gara lu yah? Loe ngatain Iel emak-emak? Kenapa? Hahaha…” cerocos Cakka lagi.
“abis… bawel banget jadi orang. Kayak nyokap gua tau gak dia dari kemaren. Lebih malah kayaknya. Masa dia ngomel-ngomel kemaren gara-gara gue pulang telat, padahal kan gue ke rumah loe. Trus tadi juga, gue mau ngangkat apa dilarang, gue beres-beres dia ngomel juga kaya emak-emak. Gimana gak kesel gue?” cerocos Ify yang langsung disambut gelak tawa oleh Cakka.
“huahahahaha… unyu amat sih kalian wakakakak…” kata Cakka ditengah tawanya. Ify sesaat mendelik kesal ke arah Cakka.
“dih.. unyu apaan?”
“unyuuunyuuuu…” sahut Cakka lagi dengan muka digemes-gemesin dan mulut di moyong-monyongin bak ikan lohan.
“dihh… ini nih baru unyu!” kata Ify sambil ngelempar lap basah bekas ngelap ke muka Cakka.
“Ifyyyyy!! Basah woy! Ah, Gila lu rusak jambul gua…..” keluh Cakka. Pel itu reflek dilempar dia jauh. Cakka jadi heboh sendiri mengusap-ngusap mukanya sambil membereskan jambul rambutnya yang langsung lepek kena lap basah itu. Sementara itu Ify sudah tertawa lepas penuh kemenangan, gantian menertawakan Cakka.
--------------------misst3ri------------------------
Di tempat lain, Iel yang telah selesai membereskan balas dendamnya terhadap Patton, tampak duduk santai di ruang tamu rumah Patton. Aksi pengejaran makhluk lincah bin licin seperti Patton tidaklah mudah. Perlu perjuangan ekstra bak bersaing belanja lebaran dengan ibu-ibu agresif di sebuah pusat perbelanjaan yang penuh diskon. Tapi syukurlah, si kecil berakal bulus itu sudah berhasil ia tangkap. Iel sesaat melirik ke arah pohon jambu depan rumah Patton dimana seorang anak tengah terikat dengan tragis disana. Senyum gelinya pun tak bisa ia sembunyikan dari bibirnya. Sesaat hiburan ini mengalihkannya dari ingatan tantang masalahnya dengan Ify, dan juga tentang kata ‘mama Iel’ yang sempat membuatnya bingung sebelumnya itu.
“si Ify sama Cakka kok jadi akrab banget ya sekarang”
Keayikan Iel menertawakan Patton tadi, akhirnya terpecah oleh suara itu. Iel menoleh ke samping. Sudah ada Via disana. Perkataan Via tadi semerta-merta membuat Iel kembali teringat dengan gadis itu. Mata Iel bergerak cepat mencari 2 orang yang Via sebutkan tadi. Ah itu dia, di sudut teras rumah, tak jauh darinya. Iel diam-diam mendengus sembari memandang dingin 2 sosok itu. Sekali lagi dia merasa seperti di jatuhi bongkahan batu es yang begitu dingin, yang dengan seketika membekukan aliran darahnya, menyesakkan nafasnya, dan membuatnya mati rasa.
“eh kalo diliat-liat Ify cocok juga dengan Cakka. Kita comblangin yok yel?”
“WHAT!!” Mendengar celetukan Via itu, diri Iel yang tadi seolah-olah tersihir membeku, tiba-tiba seperti terhantam palu besar yang seketika menghancurkan bongkahan es yang membekukan dirinya, dan memaksanya untuk segera tersadar.
“biasa aja napa loe gausah pake teriak. Gue kan gak budek” protes Sivia. Iel terdiam, lalu mulai bersikap biasa.
“ngapain sih, kayak jaman siti nurbaya banget deh lu main jodoh-jodohin orang.” Lirih Iel sambil meraih sebuah buku yang ada disana, lalu membuka-bukanya dengan asal, menyamarkan perubahan roman wajahnya.
“abis gue kan kasian juga sama Ify, masa dia udah kelas 3 gini belom pernah sekali pun gua denger dia pernah naksir-naksir orang, apalagi pacaran…”
“emang Ify kayak lu, doyan pacaran” sahut Iel tajam. Via sedikit mendelik kearah Iel.
“enak aja! Gue baru 2 kali yah pacaran. Dan setelah gue putus sama pacar gue setengah tahun lalu, gue gak pernah pacaran lagi. Asal lu tau tuh!”
“ohya? Makasih deh buat infonya. Tapi gapenting buat gue..” cibir Iel, “Dan dari pada lu rempong mau jodohin Ify, kenapa gak lu aja yang nyari cowo sana” jawab Iel agak jutek. Via agak mendengus kecil mendengar sahutan Iel itu.
“ihh.. ngeselin banget sih lu. Terserah gue dong!” kata Via yang tak disahuti lagi oleh Iel. Pipi Via agak sedikit bersemu merah. Bukan karena malu sebenarnya, tapi lebih karena kesal. Dalam hatinya pengen banget berteriak ‘gua sih mau aja yel, tapi sama loe!! Ngerti gak sih loe??!!’ Tapi apalah daya, kata-kata itu hanya bisa bergaung di hatinya tanpa pernah keluar terucapkan.
Setelah itu tak ada lagi obrolan yang terjalin. Hanya sunyi dan suara samar-samar dari Patton yang masih terikat di bawah pohon depan rumah akibat perbuatan balas dendam Iel tadi.
“coooyyyy…. Lepasin gua…..”
---------------------tri3am-----------------------
Tit tit tit tiitt….
Jam digital yang dikenakan Obiet berbunyi. Sudah pukul 8 malam rupanya. Obiet memandang ranjang bundanya dimana sang bunda tengah terlelap kini. Setelah menyantap makan malamnya dan meminum obatnya, bunda langsung terlelap tadi. Ruang itu sepi. Hanya ada bunda, dirinya dan debo yang tampak asik membaca komik di sampingnya.
“de, gue keluar dulu yah bentar. Sekalian nyari makan. Laper gue dari siang tadi belom makan”
“hmm…” gumam debo tanpa mengalihkan matanya dari lembaran-lembaran komik yang tengah dibacanya itu.
Obiet bergegas mengambil jaketnya, lalu berjalan keluar kamar. Dia merasa perlu menghirup udara segar malam itu. Berada dalam ruangan dalam waktu yang lama cukup membuatnya sedikit suntuk. Obiet pun menyusuri lorong-lorong rumah sakit itu. Ada keasyikan tersendiri bagi Obiet ketika ia berjalan-jalan menelusuri lorong-lorong rumah sakit seperti ini. Ia bisa melewati banyak pemandangan yang membuatnya bisa sedikit mengambil pelajaran di dalamnya. Ada tawa bahagia orang-orang yang menyambut bayi kecilnya. Ada ketegangan dari orang-orang yang khawatir akan keselamatan orang terdekatnya. Dan ada juga tangis duka yang memayungi dikala orang yang mereka sayangi menjumpai akhir hidupnya. Itulah hidup. Bakal ada tawa dan kesedihan. Ada awal dan ada akhir. Semua sudah tertulis oleh-Nya. Semua itu pasti bakal semua manusia hadapi. Dan kita sebagai manusia hanya bisa ikhlas, kuat, dan sabar menjalani segala yang diberikan Tuhan dalam hidup ini. Itulah kehidupan.
Di tengah keasyikannya berkeliling rumah sakit itu, tiba-tiba ia mendengar sebuah pertengkaran kecil di ujung lorong yang sepi itu. Obiet yang merasa terpancing untuk mengetahui siapa yang bertengkar itu, diam-diam mendekat untuk mengintip. Suara yang terdengar agak familiar di telinganya itu semakin memperbesar rasa penasaran Obiet.
“loe ga usah sok peduli gitu sama gue!”
“aku gak…..”
“trus loe bawa Obiet kesini! Ngapain?!! mau bikin gue malu?”
“kita cuma mau ngibur kakak..”
Tampak kini di depan mata Obiet, sila dan agni tengah adu mulut. Sila terlihat begitu emosi menghadapi agni. Wajahnya yang putih itu sedikit memerah. Matanya terlihat menatap begitu tajam ke arah agni walau sedikit sembab. Sementara agni berdiri di depannya dengan wajah yang begitu sendu.
“loe juga pasti seneng kan gue kayak gini?!”
“kakak jangan emosi gini dong, agni cuma mau bantu kakak kok….”
“gue gak butuh perhatian palsu loe! Gak usah sok baik lo!!”
“sil, kita beneran peduli sama loe” tiba-tiba Obiet yang yang sedari terus memperhatikan rupanya geregetan juga untuk menunjukkan diri. Rupanya dia juga tak tahan lagi mendiamkan pertengkaran itu.
“ngapain loe disini juga? Mata-matain kita loe?!!” ucap sila keras saat melihat keberadaan Obiet disana.
“gue cuma mau bantu…”
“Gue gak perlu simpati loe!”
“tapi kak…”
“loe gak usah sok peduli! Kalian gak tau gimana rasanya jadi gue!”
“makanya loe cerita!” timpa Obiet lagi. Sila mendelik tajam ke arah Obiet.
“cerita apa? Loe juga gak bakal bisa ngerti apa yang gue rasa!” sengit sila.
“rasa apa? Gak dapat perhatian? Gak dapat kasih sayang? Atau gak punya ortu? Gue tau rasanya itu! Bahkan sejak gue lahir!!!” tegas Obiet akhirnya yang akhirnya mampu membuat sila tak mampu lagi berkata-kata, seolah-olah bibir itu tlah tersihir terkantup rapat oleh perkataan Obiet.
Ditengah situasi penuh luapan emosional itu, hanya sorot mata tajam sila yang berbicara dan telapak tangannya yang menggenggam kuat seakan ingin meremas segala perasaan yang begitu berkecamuk itu. Obiet bisa melihat dari bahasa tubuh sila itu, bahwa hatinya tengah bergejolak kuat saat itu. Walau wajah keras sila terlihat begitu kuat mempertahankan egonya, tapi dari matanya yang mulai berkaca-kaca itu Obiet tahu, hati yang tlah lama membeku dan tertanam di diri gadis itu mulai melunak.
“ishh…” desah sila akhirnya sambil mengusap cepat seberkas air mata yang mulai jatuh di sudut matanya itu. Kemudian dia membuang wajahnya kemudian segera berbalik dan dengan cepat ia berlari menjauhi mereka, meninggalkan segala kebekuan diantara mereka yang terbentuk begitu tak nyaman itu.
“ka sila!!” agni coba mengejar sila.
“ag, jangan” tahan Obiet dengan cepat sambil menyambar pergelangan tangan agni, “gue yakin dia pengen sendiri. Biar dia tenangin diri dia dulu. Hati yang sekokoh besi seperti sila, gak bakal bisa meleleh hanya dengan cepat. Sabar…” pinta Obiet. Agni menatap Obiet lalu mengangguk mengerti.
Yah, hati sila mungkin tak lagi bagai es, tapi sudah seperti besi yang harus dipanaskan dengan suhu yang begitu tinggi dan penuh kesabaran hingga ia bisa meleleh dan berubah menjadi seperti layaknya air yang bisa bersahabat, mengalir tenang mengikuti bentuk-bentuk yang ada disekitarnya.
------------------misst3ri---------------------
“wah, payah ni den, macet parah…” keluh pak asdi.
“yaudah deh pak, mau diapain lagi” sahut Iel yang duduk disamping kursi pengemudi. Tadi sore, setelah beres di rumah olin, Iel, Cakka, Ify dan Via pergi ke sanggar untuk mengantar barang-barang temuan mereka terlebih dahulu. Sebenarnya setelah maghrib, mereka sudah memutuskan kembali pulang dengan mengantar Sivia yang rumahnya paling jauh lebih dulu, kemudian Cakka, dan terakhir Ify yang memang satu komplek dengan Iel. Tapi di perjalanan setelah mengantar Cakka, mereka terjebak kemacetan yang dikarenakan adanya kebakaran sehingga jalan yang mereka lewati tertutup sementara dan akhirnya memaksa mereka harus terjebak di tengah kemacetan itu.
“fy loe gak papa kan rada telat nyampe rumahnya?” kata Iel lagi.
“hmmm…” hanya terdengar sebuah gumaman kecil dari mulut Ify.
Iel melirik sedikit ke arah kursi belakang dimana Ify berada. Iel bisa melihat Ify duduk dalam diam tepat di pinggir jendela. Mulutnya terus mengantup rapat sementara matanya menerawang lurus ke arah luar. Lagi-lagi Iel hanya bisa menghela nafasnya lalu kembali menatap jalanan lurus kedepan dengan wajah yang semakin gundah. Ify masih saja bertahan dengan sikapnya yang dingin bahkan ketika hanya tertinggal ia, Iel dan pak asdi di mobil seperti saat itu. Hal ini benar-benar hampir membuat Iel frustasi sesungguhnya.
Dan setelah lebih dari satu jam terjebak macet, akhirnya mobil Iel bisa juga melaju mulus kembali ke rumah mereka. Setelah memasuki blok rumah Ify, akhirnya mereka sampai juga di depan rumah yang tampak sudah cukup sepi itu.
“fy, dah samp….” Kata-kata Iel terhenti saat ia berbalik ke arah kursi belakang.
Sesaat ia tertengun. Sekali lagi dia melihat wajah polos yang terukir di wajah gadis itu disaat dia terlelap. Wajah yang tenang, tulus, tanpa tertutup topeng kehidupan yang kadang begitu mengekang. Wajah yang selalu membuat Iel tenang memandangnya tanpa harus merasa tersakiti ataupun merasa menyakiti.
“wah, non Ifynya malah ketiduran. Di bangunin aja den”
“emmm… ntar dulu deh. Kasian juga kalo dibangunin sekarang. Liat deh pak, kecapean banget kayaknya dia” lirih Iel.
Rasa kasian dan juga…. rasa tak rela sepertinya. Itu yang muncul di hati Iel sekarang. Dia hanya ingin menikmati ini sesaat. Saat-saat diamana ia bisa memandang wajah penuh kedamaian yang sangat ia rindukan seharian itu. Tapi rupanya Tuhan tak meluluskan keinginan Iel itu. Wajah yang tadinya terlelap tenang itu tiba-tiba bergerak. Matanya mengerjap menyesuaikan masuknya cahaya dalam kornea matanya. Iel sontak mengalihkan pandangannya saat Ify mulai bangun dan menegakkan tubuhnya.
“eh udah sampe yah? Kok loe gak bangunin gue sih?” gerutu Ify pada Iel yang ternyata sudah tertangkap mata olehnya hanya diam memandangnya. Tanpa berkata-kata apa-apa lagi, Ify segera membuka pintu mobil dan bergegas turun. Dan Iel untuk kesekian kalinya hanya bisa menghela nafas beratnya. Saat membututi pergerakan Ify itu, ia tersadar ada barang Ify yang tertinggal.
“eh fy tunggu!” teriak Iel, lalu bergegas meraih barang itu, lalu turun dari mobil.
“HP loe ketinggalan…” ucap Iel sambil mengancungkan HP milik Ify itu. Mata Iel terus mengikuti gerak Ify yang kembali mendekat untuk mengambil HPnya.
“makasih” ucap Ify datar sambil meraih HPnya yang disodorkan Iel tersebut.
Tanpa ada kata-kata lain, Ify segera kembali berbalik dan mulai membuka pagar rumahnya kemudian melangkah masuk, meninggalkan Iel yang kini menatapnya dengan sendi, begitu frustasi mendapat perlakuan dingin dari Ify itu.
“Fy!” tegur Iel lagi.
Ify tampak menghentikan langkahnya dan berbalik, menatap Iel tajam. Jantung Iel tiba-tiba berdegup kencang. Entah ada keberanian apa Iel jadi memanggil Ify lagi seperti tadi. Tapi Iel cuma merasa harinya tak boleh berakhir menyakitkan seperti ini lagi. Perjuangannya hari itu tak boleh berakhir sampai disana.
“apa lagi?” sahut Ify sedikit jutek dari balik pagar. Tanpa sadar Iel menelan ludahnya sendiri. Hatinya sedikit ciut juga menghadapi sikap Ify yang tak kunjung bersahabat dengannya ini.
“eee… loe gak pamitan sama emak lu ini?” sahut Iel dengan tampang polosnya. Entah kenapa, kata-kata itu yang tiba-tiba terlontar dari mulutnya.
Sesaat Iel menggigit bibirnya setelah menyadari kekonyolan perkataannya barusan. Tapi entah kenapa, justru ucapan Iel tadi membuat Ify terdiam seketika. Ia sesaat terpaku menatap lurus Iel yang juga tengah menatapnya lembut.
“fy? Sorii…” lirih Iel lagi. Ify tak jua menjawab. Dia masih saja terdiam sembari menatap Iel datar.
“maaf fy kalo gue nyebelin 2 hari ini. Maaf yah…” ucap Iel lagi.
Ify masih terpaku menatap lurus Iel, terus membiarkan kesunyian menemani mereka sesaat. Dan entah kenapa, rasa iba itu tiba-tiba hadir. Mungkin dia sudah terlalu keterlaluan dengan Iel. Tak seharusnya dia menyakiti hati orang di depannya itu dengan perlakuan tak menyenangkan darinya. Tapi entahlah, walau ia tau itu menyakitkan, tapi entah ada bisikan setan apa yang membuatnya seharian tadi melakukan hal itu kepada Iel. Kecuekannya di sekolah sepanjang hari itu. kejudesannya saat bersama anak-anak di rumah olin sebelumnya. Sampai sikap dinginnya yang tak kunjung mencair. Padahal ia tau, Iel berkali-kali seharian itu mencoba mendekatinya. Ia tau, itu takkan terasa adil bagi Iel. Mungkin ia memang sempat agak kesal dengan Iel, tapi… mungkin sudah saatnya juga ia menghentikan itu semua.
Ify kembali menundukkan kepala sesaat, lalu tersenyum dan tertawa kecil. Lalu ia menatap Iel dengan tatapan yang lebih lembut kini.
“gue udah maafin loe kok yel, dan gue juga ngaku salah bohongin loe kemaren. Sori yaa…” sahut Ify yang seketika mampu membuat senyum Iel merekah. Hatinya yang sebelumnya begitu terasa berat, penuh digantungi kegundahan, seketika hilang dan terasa begitu ringan. Yeah! Akhirnya! Teriak Iel dalam hatinya. Sesaat mereka berdua hanya saling pandang dengan seulas senyuman malu-malu diantara keduanya.
“met malam yah mama Iel. Have a sweet dream yaa” ucap Ify kemudian dengan senyum manisnya sebelum ia kemudian berlalu masuk ke dalam rumahnya.
Mata Iel terus mengawasi gadis itu sampai ia masuk dan menutup pintu rumahnya. Dan ketika sosok itu sudah tak terlihat, Iel berbalik kembali ke mobilnya dengan senyum yang tak jua pudar di bibirnya. Senang rasanya dia bisa melihat senyum manis itu kembali. Satu senyum yang langsung merontokkan gunung es yang seharian itu berdiri kokoh diantara mereka berdua. Satu senyuman yang Iel yakin telah menjadi sihir ampuh yang mampu membuatnya mimpi indah malam itu.
----------------------BERSAMBUNG (3am)-------------------------
6 komentar:
lanjutin donk ya ceritanya....
klu bisa.. ampe tamat ya.. ehehe
abis seru sih,,, :D :) lanjut ya pleeaaassseee
Ceritanya bagus...
bkin penasaran....
jg ikut trbawa arus
hehe...
Di lanjutin lagi dong..........
^_^
Lanjut dong ceritanya
penasaran banjetttt nihh sama kelanjutannya...........
Kak,,, udah mau akhir tahun niih..
Gak ada rencana ngelanjutin apa??
Kan udah Promise...
^_~
Kak, lanjutin dong. Penasaran sama ceritanya ;)
Kakak
mana lanjutannya
Ya Allah, dari episode pertama ampe yang terakhir aku selalu baca
udah setahun lebih aku nunggu kelanjutannya tapi nggak ada melulu
tiap kali buka internet selalu mampir blog kakak berharap ada lanjutan cerbung ini
Kak, tolonglah lanjutin
aku suka banget sama cerbung ini
apalagi couple Ify-Iel, aku suka banget sama mereka berdua
mas Kakak tega sih ngebiarin pembaca setia cerbung ini merasa kecewa
ayo dong kak lanjutin plissss :(
Posting Komentar