Lanjutan dari Promise Part 45: LOSE. Baca juga Promise Part 1: Awal, untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.
NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)
PROMISE – Part 46: Sebuah Kenyataan
Tin.. tin….
Bremmm…
Di tengah hiruk pikuk kepadatan jalan kota yang semerawut itu, seorang anak berdiri berhimpitan di sebuah bus kota yang turut memenuhi jalanan kota itu. Cuaca diluar begitu panas. Cuaca yang sungguh berbeda 180% dari cuaca pagi tadi dengan hujan lebatnya. Ini semakin menggambarkan bagaimana cuaca bumi sekarang sungguh tak bisa diprediksi lagi perubahannya yang begitu cepat dan drastis seperti hari itu.
Tapi, walaupun suasana gerah, penuh asap rokok di dalam bis itu, dan keringat membanjiri tubuhnya karena cuaca panas terik di sore hari itu yang begitu membara karena matahari bersinar begitu perkasanya, tapi toh, tampaknya anak itu tak bisa menghilangkan senyumnya yang terus tergurat manis di sudut bibirnya.
Hari itu hari yang cukup menyenangkan baginya. Pertama pertemuannya dengan cakka dan ify barusan sangat menyenangkan. Diskusi mereka bersama ayahnya cakka benar-benar mampu menginspirasi merka semua dan membuka ide-ide cemerlang lainnya. Dan kini mereka punya satu rencana yang cukup bagus untuk persiapan mereka mengikuti lomba antar sanggar tersebut.
Dan yang kedua tentu saja yang akan ditujunya sekarang. Operasi bundanya. Yap, bundanya akhirnya akan di operasi hati ini. Berkat bantuan papa angkatnya Angel, bundanya bisa di operasi dari tumor yang bersarang di perutnya itu sekarang. Bahkan tak tanggung-tanggung, pak darma memasukkan ke sebuah rumah sakit yang tebilang cukup bagus di kota itu agar bunda bisa mendapat perawatan yang maksimal. Dan obiet sangat berharap, bundanya bisa sembuh 100% seperti sedia kala setelah menjalani operasi ini.
“kiri pak!” teriaknya lantang sembari mengetuk-ngetuk langit-langit atap bis kota tersebut. Tak terasa bis yang ditumpanginya itu telah sampai di tempat yang ia tuju. Setelah menerobos keluar dari bis yang penuh sesak itu, dalam satu lompatan kakinya telah mencapai tanah, sementara dibelakangnya, bis kota yang ditumpanginya tadi, telah berlalu cepat dan meninggalkan asap tebal.
Obiet pun segera melangkah memasuki halaman rumah sakit yang tampak begitu banyak orang yang hilir mudik disekitar tempat itu. Dia semakin mempercepat langkahnya memasuki gedung putih didepannya itu. Waktu operasi bundanya sebentar lagi, dan dia tak mau melepaskan sedikit saja waktu berharga ini untuk tak bersama bunda tersayangnya sebelum bundanya menjalani operasi penting itu. Tetapi sesaat sebelum memasuki lobi utama, matanya mengekor sesosok yang lumayan dikenalnya.
“itu kan…..”
Tapi sosok itu begitu cepat tertelan kerumunan orang di lobi itu. Obiet sesaat terdiam menyakinkan akan penglihatannya.
“bener gak ya?” gumamnya. Sesaat kemudian dia menggeleng pelan dan melirik jam tangannya. 15 menit lagi bundanya dijadwalkan masuk ruang operasi. Dia harus segera menuju ruangan bundanya di rawat jika masih ingin bertemu dengan bundanya sebelum di operasi. Obiet pun akhirnya segera melangkah meninggalkan lobi itu menuju lantai 2 tempat dimana bundanya yang mungkin telah menantinya.
--------------------misst3ri--------------------
Brak!
Pintu kamar itu dibuka dengan sedikit terburu-buru. Akhrinya obiet bisa juga menjumpai bundanya yang sebentar lagi menuju meja operasi itu. Dengan nafas yang masih agak tersengal-sengal, obiet menyapu pandangannya ke penjuru ruangan. Sepertinya dia sudah begitu telat sampai disana. Tapi syukurlah sang bunda belum di bawa ke ruang operasi.
“akhirnya datang juga loe biet” tegur debo yang tampak sudah berada di ruangan itu bersama rahmi, angel dan juga kedua orang tua angkatnya, pak darma dan bu darma. Obiet hanya tersenyum simpul, lalu segera mendekati sang bunda.
“udah beres urusannya biet?” Tanya bunda ramah. Obiet mengangguk sambil tersenyum pada bundanya. Perlahan ia mendekat dan duduk pinggir tempat tidur sang bunda.
“bunda… udah siap kan?” tanyanya lembut.
“iya sayang… doain bunda ya…”
“pasti bun. Bunda yang kuat ya, semua pasti bakal berjalan dengan sempurna. Doa terbaik kita buat bunda selalu…” lirih obiet. Sesaat obiet dan bunda hanya saling pandang. Jemari tangan obiet menggenggam hangat tangan sang bunda seakan-akan ingin mengalirkan segala kekuatannya untuk sang bunda.
Bunda tersenyum bahagia mendapatkan perhatian yang begitu tulus dari anak asuhnya itu. Obiet selalu begitu special di hatinya. Karena anak itu telah ia rawat hanya beberapa jam pasca kelahirannya. Jemari yang menggenggam erat tangannya itu, seakan menguak ingatannya kembali akan sentuhan hangat jemari kecil obiet dulu saat pertama kali ia kendong. Dan mulai detik itu juga dirinya tlah meletakkan sebagian hatinya untuk anak itu. dan ketika tangan mungil itu tlah tumbuh menjadi jemari kokoh yang menggenggam tangannya dengan penuh kehangatan, dia tau cinta dan kasih sayang anak itu semakin kuat mengikat hatinya, dan takkan pernah bisa ia hapus dari dirinya. Karena dirinya tau, kasih sayangnya tlah begitu mendarah daging tercurah pada anak itu. Selamanya, takkan terlekang oleh apapun.
“love you bunda…” bisik obiet sambil kemudian mengecup kening sang bunda.
Tak lama setelah itu, perawat mulai masuk dan membawa bunda menuju ruang operasi. Obiet dan yang lainnya mengikutinya untuk mengantarkan bunda sampai di ruang operasi. Selama perjalanan menuju ruang operasii, bunda terus menatap hangat satu per satu orang-orang yang mengiringinya itu. Sinar kuat perhatian dan kecintaan begitu kuat terpancar untuk dirinya. Dan dirinya saat itu juga menanamkan kekuatan dalam dirinya, ia akan kuat menjalani operasi ini. Dengan cinta yang mengalir padanya, dia harus sembuh untuk bisa kembali membalas cinta-cinta tulus itu.
Dan akhirnya bunda telah masuk ruang operasi, meninggalkan orang-orang yang dicintainya yang kini menunggu setia dan selalu mendoakan kesembuhannya dari balik pintu ruang operasi itu.
--------------------misst3ri--------------------
Matahari sore mulai tergelincir ke ufuk barat kini. Sebuah mobil sedan biru tampak membelah jalanan kota yang semakin dipadati kendaraan-kendaraan bermotor lainnya. Dari jok belakang, tampak ify duduk termenung menatap ruas-ruas jalan yang berlalu cepat dilewati mobil yang ditumpanginya itu.
“thx ya fy dah mau nyempetin waktu ke rumah gue siang ini” kata seorang anak lainnya dari jok depan. Ify tersentak lalu menoleh perlahan ke arah orang yang menegurnya itu.
“iya, gue juga seneng kok bisa bantu kalian kok cakk”
“Ntar gue bilang ke dayat deh, biar kita besok bisa ngumpul di sanggar buat bicarain tentang rencana kita tadi. Besok bakal seru nih di sanggar, hehe….” ucap cowo itu lagi yang hanya dibalas senyum tipis dari ify.
Saat itu ify memang telah berada di dalam mobil cakka yang kini tengah mengatarnya pulang. Tak terlalu banyak pembicaraan yang terbentuk saat itu karena raga ify merasa begitu lelah sekarang karena belum pulang ke rumah seharian itu. Oleh karena itulah ia lebih banyak memilih diam sepanjang perjalanan itu.
Tak lama kemudian mobil itu akhirnya memasuki sebuah perkomplekan. Setelah menyusuri beberapa ruas jalan, ia akhirnya menepi di sebuah rumah bertingkat dua itu. Cakka yang duduk di jok depan, dengan sigap segera keluar dari mobil dan dengan gaya gentlemennya ia membukakan pintu belakang untuk ify.
“silakan turun tuan putri” ucap cakka agak menggombal.
“apaan sih loe cakk” sahut ify sambil keluar dari mobil. Tapi pipinya agak bersemu juga diperlakukan cakka sedemikian istimewa begitu.
“hahaha… gak papa dong. Lagian kalo gue gak baik-baik sama loe, bisa dihajar iel ntar gue, hehehe….”
“eh, ngapain bawa-bawa nama iel juga” sahut ify cepat.
“iyalah…” sahut cakka dengan nada santai, “loe kan kesayangan iel sekarang” kata cakka lagi sambil menggerak-gerakkan alisnya.
“alah, ngaco loe! Mana mungkin? Hahaha… Udah ah becandanya, gak lucu cakk!” sahut ify sambil tertawa kecil. Cakka hanya tertawa lepas saat ify sontak mendorong bahunya.
“siapa yang becanda?” kata cakka ditengah tawanya. Dia kembali mendekati ify, dan berbisik pelan, “Asal loe perlu tau, iel yang gue kenal dari dia masih bau kencur gitu, gak pernah gue liat dia seperhatian kayak ke loe sekarang sama cewe. Percaya sama gue” bisik cakka lagi yang kini sukses membuat ify terdiam.
Entah kenapa, mendengar penuturan cakka itu, pikiran ify sejenak terbang melayang menyingkap memori-memori di masa lalunya. Perjanjiannya bersama iel dulu, saat-saat dia jadi pesuruh iel dulu, sampai saat-saat ia ada masalah dengan sahabat-sahabatnya itu. Iel memang perhatian dengan dia. Tapi… bukankah iel sendiri pernah mengatakan padanya, segala perhatian itu ada karena dia sudah menganggap ia seperti saudara yang begitu ia rindukan? Lagipula…. Ify menghela nafas perlahan. Sekejap ditengah pikirannya tentang sosok jangkung itu tadi, selalu ikut terlintas juga wajah murung seorang dari sahabatnya itu.
Sementara itu, cakka yang masih berdiri di hadapan ify, telah mulai tersenyum jail melihat ekspresi ify itu. Tak lama kemudian, ia pun segera menepuk pundak ify.
“udah hey! Jangan syok gitu dong muka loe. Becanda gue tadi, becanda… becandaaa…, hahaha….” Kata cakka sambil menepuk-nepuk pundak ify. Lamunan ify pun sontak terpecah karenanya. Ify pun kembali hanya bisa tersenyum tipis.
“ya udah, gue balik sekarang ya fy…” pamit cakka sambil berjalan ke arah mobilnya. Ify mengangguk pelan.
“eh iya. Makasih cakk, om.., makasih udah dianterin. Ify jadi gak enak…” ucap ify ke arah cakka dan pengemudi mobil itu.
“gak papa, masih satu arah juga kok sama tempat ngajar om. Lagian cakka udah janji sama kamu buat nganterin kamu pulang kan?” sahut pria pengemudi mobil yang ternyata adalah papanya cakka.
“yoi fy… sebagai cowo, pantang dong gue ngingkarin ucapan gue sendiri, hehe….” sahut cakka juga sambil memasuki mobilnya kembali. Ify pun hanya membalasnya dengan seulas senyum manisnya.
“yaudah, kita berangkat dulu ya…” pamit papa cakka kemudian.
“iya om. Sekali lagi makasih banyak ya om, cakka…” sahut ify ramah.
“dahh ifyyy…” kata cakka juga. Mobil sedan biru itupun berlalu perlahan. Ify masih bertahan berdiri di depan rumahnya itu sampai kilau pantulan menyilaukan matahari pada badan mobil itu akhirnya tertelan persimpangan jalan di ujung jalan perkomplekan itu.
Setelah mobil papa cakka itu tlah benar-benar menghilang, ify pun segera berbalik masuk ke dalam rumahnya. Saat pembuka pagar, perlahan tangan ify memijat pelipisnya sesaat. Kepalanya mulai agak pusing sekarang. Bukan hanya karena badannya sudah letih sekarang, tapi kepalanya saat itu juga sudah penuh dengan pikiran memusingkan tentang kelenyapan sila yang cukup misterius itu. Dan kenyataan dirinya bahwa dia belum makan siang sampai saat dikala jam sudah menunjukkan pukul 4 sore saat itu, menambah satu alasan lagi untuk sebuah pemberontakan dalam organ-organ tubuhnya.
Sebenarnya di rumah cakka tadi, cakka sudah menawari dia dan obiet makan siang. Tapi karena tak mau merepotkan, dia dan obiet malah menolaknya mentah-mentah dan beralasan sudah makan sebelumnya disekolah tadi. Dan alhasil, kekosongan perutnya sepanjang siang itu hanya terganjal beberapa keping makanan kecil dan tetesan-tetesan air putih menyegarkan yang sempat diberikan cakka di rumahnya.
Dengan kepala yang terasa ringan menghayutkan itu, ify perlahan melangkah memasuki halaman rumahnya. Tapi, baru saja ia memijakkan kakinya di teras rumahnya, terdengar suara memanggil dari belakangnya.
“ify!” ify berbalik dan menjumpai sosok iel di balik luar pagar rumahnya itu. Dia hanya bisa terperangah, terdiam di muara teras rumahnya itu ketika sosok cowo jangkung itu dengan cepat memasuki halaman rumahnya dan kemudian mencerca diri dengan pertanyaan yang tajam.
“fy! Baru pulang loe? Kenapa baru nyampe rumah sekarang? Katanya pulang sama papa loe? Mana papa loe?” cerocos iel pada ify.
“loe apaan sih yel? Baru datang udah main nyolot aja” potong ify.
“gue cuma nanya, mana papa loe? Kata loe tadi loe pulang sama dia kan? Sekarang kenapa jadi pulang sama cakka dan papanya?” cerocos iel lagi. Ify hanya terdiam. Dia menunduk sambil memejamkan matanya. Kepalanya yang semakin pusing sepertinya sudah tidak bisa ia tahan lagi.
“kenapa loe diem? jangan jadi gagu gitu dong kalo udah ketauan bohong…” tekan iel lagi. Mendengar perkataan iel yang tak begitu enak di kuping itu, tentu saja membuat kepala ify semakin berdenyut.
“apaan sih loe yel? Penting ya pertanyaan loe? Yang penting gue pulang kan?” ucap ify reflek dengan nada sedikit kesal. Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut ify. Rupanya kekesalan begitu cepat datang menghampirinya dikala tekanan menusuk kuat kepalanya saat itu. Seketika itu juga, ify segera berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumahnya tanpa menghiraukan lagi iel yang tengah memanggil-manggilnya itu.
“eh, mau kemana loe fy?! Fy! IFY!!” teriak iel. Iel berusaha menahan dengan menggapai pergelangan tangan ify. Dan ketika ia berhasil menggapainya, iel langsung menarik kuat tangan ify ke arahnya dan akhirnya berhasil membuat langkah ify tertahan.
“Ayo jelasin semuanya! Jangan pergi gitu aja loe!” tegas iel. Tarikan iel tadi membuat jarak mereka kini tak begitu jauh lagi. Kini mereka berdiri berhadapan dengan tembok keangkuhan dan ego kuat masing-masing. Sorot mata mereka yang saling pandang menghujam tajam ke mata lawannya itu seakan turut membunuh waktu yang beredar disekitar mereka. Sesaat mereka saling terdiam dengan begitu dinginnya sampai akhirnya ify melepas pegangan iel dengan paksa.
“udah deh yel, maksa banget sih loe. Gue pikir gak ada yang perlu dijelasin ke loe. Gue gak ngerugiin loe apa-apa kan? Ya kan? Loe juga bukan siapa-siapa gue!” ucap ify agak sinis. Iel terdiam tak menyahut. Ify memang benar, dia tak dirugikan, dan siapanya ify dia? Tapi…, hatinya yang berdenyut tak nyaman itulah yang membuat dirinya seperti itu. Entah lah. Mungkin itu membuat dirinya sangat merasa… dirugikan?
“Gue makin pusing tau gak dengerin ocehan loe. Sori, tapi gue pengen banget istirahat sekarang, oke?” ucap ify lagi lebih datar. Lalu ify langsung kembali berbalik melangkah memasuki rumahnya.
“tapi fy….” Iel masih berusaha menahan ify, tapi….
BUM…
Terdengar suara keras dari pintu yang ditutup. Ify telah berhasil masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu dengan keras tepat di depan batang hidung iel. Iel terdiam mematung melihat tingkah ify itu. Matanya sesaat terpaku, menatap nanar daun pintu yang baru saja tertutup dengan kasar itu.
‘kenapa loe jadi aneh kayak gini sih fy?’ benak iel. Sesaat kemudian iel menunduk dan menghembuskan nafas beratnya. Entah kenapa rasa sesak kembali menghinggapi hatinya kini setelah mendapat perlakuan seperti itu dari gadis yang baru saja menghilang dari hadapannya itu. Dan dengan wajah yang masih agak murung, iel berbalik dan melangkah, kembali menuju rumahnya dengan suasana hatinya yang kini tlah semeraut tak karuan.
Dan tanpa iel sadari, dari sebuah kamar dari rumah yang baru ia tinggalkan itu, sepasang mata tengah memandang kepergiannya kini dengan sendu.
“sori yel” gumamnya sambil perlahan kembali menutup tirai jendelanya itu.
------------------misst3ri------------------
Saat itu tampak langit malam yang gelap telah menyelimuti alam. Bunyi-bunyi gemerisik dedaunan saling bersahutan dengan suara merdu serangga-serangga yang memainkan melodi sang malam. Seorang anak yang berada di muara jendela kamar sebuah kamar rumah sakit tersenyum menyaksikan sajian malam itu. Dadanya terasa lebih menyejukkan kini. Tidak hanya karena rongga hidungnya tlah berkali-kali menikmati udara sejuk malam itu, tapi karena orang dibelakangnya, kini tlah terbaring tenang pasca kesuksesan operasi yang tlah ia jalani.
Bundanya. Ya, bundanya kini telah dipindahkan ke ruang perawatan setelah satu jam yang lalu telah keluar dari ruangan operasi dengan membawa hasil yang menggembirakan. Anak itu, obiet, jelas menjadi salah satu orang yang paling bahagia saat itu. Kebahagiaan itu terpancar jelas dari wajahnya kini yang selalu saja melesungkan senyum manisnya di sudut bibirnya. Dan keadaan itu tak jauh berbeda dengan orang-orang yang juga berada di ruangan itu. Debo, rahmi, angel serta orang tua angkatnya, dan tentu saja sang bunda yang kini tampak jauh lebih sehat. Obrolan-obrolan hangat nan ceria yang mewarnai ruangan itu semakin mempertegas aura positif begitu memancar kuat di dalam ruangan itu.
“biet… Inikan udah malam, jendelanya di tutup dong. Gak kasian sama bunda kamu kalau ntar masuk angin” terdengar suara ibu angkat Angel, bu Darma menegur. Obiet yang ditegur menoleh. Sesaat ia sempat menoleh ke arah penunjuk waktu yang terpasang di dinding kamar itu. Jarum pendek jam dinding itu kini tlah mendekati angka tujuh saat itu dikala kawannya sang jarum panjang telah mendahuluinya berada di angka sepuluh.
“eh, iya tante. Maaf ya bun, hehehe…” sahut obiet sambil menggaruk-garuk belakang telinganya yang sebenarnya tak gatal itu. Dengan gesit ia segera menutup daun jendela bercat putih itu, meninggalkan udara dingin malam yang masih berdesakan ingin masuk. Lalu ia pun mendekati sang bunda di pembaringannya.
“bunda kok gak istirahat juga sih?” tanyanya lembut pada sang bunda. Bunda hanya tersenyum.
“iya nih bunda. Bunda harus istirahat sekarang” ucap bu darma juga.
“kami kayaknya permisi sekarang aja ya bun… bunda harus istirahat juga kan…” ucap pak darma juga berpamitan setelah beberapa puluh menit itu telah cukup panjang mengobrol.
“iya bunda. Ntar besok angel ke sini lagi ya bun…” pamit angel juga pada bunda. Bunda tersenyum saat menyambut kecupan hangat dari angel dan bu darma.
“debo jadi ikut pulang? Malam ini rahmi dan obiet aja kan yang mau nemenin bunda di sini?” Tanya pak darma pada debo. Debo mengangguk.
“iya tante. Bun, debo balik juga ya…” pamit debo juga. Akhirnya angel dan keluarga angkatnya, serta debo setelah berpamitan itu akhirnya pulang.
“bunda sekarang istirahat ya. Bunda kan baru selesai operasi..” kata obiet setelah di ruang kamar inap itu tinggal tertinggalah bunda, rahmi, dan obiet.
“biet, kalian udah makan malam belum? Makan dulu gih…”
“gampang bun…” sahut rahmi.
“eh, bunda gak mau anak-anak bunda sakit ya. Kalian harus makan sekarang”
“iya bun… ntar obiet beli makan keluar. Biar rahmi yang tinggal disini nemenin bunda. Sekarang bunda istirahat aja yaa…” jawab obiet.
“iya, dokter bunda tersayang…” celetuk bunda menyahuti kecerewetan anak-anak asuhnya itu. obiet hanya tersenyum simpul mendengar sahutan bundanya itu. Lalu ia pun segera menyelimuti sang bunda. Dan tak lama kemudian bunda pun terlelap dalam tidurnya.
--------------------misst3ri--------------------
Obiet berjalan cepat ke arah pintu luar rumah sakit itu. Dia berencana untuk ke warung depan rumah sakit itu untuk membeli makanan untuk dirinya dan rahmi saat itu. Berkali-kali ia berpapasan dengan beberapa pasien maupun penjenguk ketika menyusuri lorong-lorong panjang rumah sakit itu. Walau hari semakin beranjak ke penghujung malam, tapi tampaknya aktivitas di rumah sakit itu tak jua menyepi.
Saat ia menuju arah lobi yang melewati taman rumah sakit itu, ia melihat seseorang yang juga ia rasa juga ia liat sore sebelumnya tadi. Obiet terdiam sesaat. Tapi tak lama kemudian, tanpa berpikir panjang lagi diapun segera berbelok dan mengejar sosok itu.
“agni!” tegur obiet saat telah berhasil mengejar dan menggapai bahu orang itu. Sosok yang dikejarnya itu berbalik dan langsung menunjukkan wajah penuh keterkejutan. Agni. Itulah orang yang dijumpai obiet itu.
“eh oh eee… ka obiet, ngapain disini?” Tanya agni tampak begitu tertatih-tatih semakin memperjelas kegugupan yang terpancar tlah diwajahnya.
“loe kenapa sih ag? Muka loa liat gue kayak ketakutan gitu? Emang gue pembunuh bayaran? Nyantai aja, hehehe… bunda lagi dirawat juga disini. Makanya gue disini. Loe sendiri?” kata obiet.
“eee… maaf kak, agni buru-buru” sahut agni buru-buru. Bukannya menjawab pertanyaan obiet, agni malah tampak segera ingin melarikan diri.
“hey, tunggu dulu. Kenapa loe jadi kayak ngindarin gue sih?” tahan obiet setelah sebelumnya dengan sigap ia menarik pergelangan kurus agni agar gadis itu tak segera menjauh darinya. Agni ditahan seperti itu hanya menunduk diam. Terlihat dari matanya sinar ketakutan dan kepanikan. Kening obiet mengerut sesaat melihat itu.
“agni?” agni masih tetap diam.
“oiya. Tadi kita ke rumah loe sama irsyad, cakka dan ify…” ucap obiet.
“apa? Kakak kerumah aku? Sama ka cakka, ka irsyad dan ka ify juga?” lagi-lagi agni tampak begitu kaget mendengar itu. Mukanya tampak semakin pucat.
“iya, dan kata ify itu rumah sila. Ada hubungan apa sih loe sama sila? Loe tau sila dimana? Dia juga menghilang kayak loe sekarang…” tutur obiet. Agni terdiam. Dia hanya tampak menggigit ujung bibirnya sambil mengalihkan pandangannya lepas ke halaman rumah sakit untuk menyamarkan kegelisannya.
“ag?” tegur obiet lagi. Obiet menatap dengan penuh tanda tanya dikepalanya. Sikap agni menurutnya begitu tak wajar. Seperti ada yang ingin ia tutup-tutupi dari dirinya.
“Loe gak lagi nyembunyiin sesuatu dari gue kan?” Tanya obiet lagi hati-hati. Agni perlahan mengangkat kepalanya, lalu kemudian menatap obiet serius. Tampak dia tengah menimbang-nimbang sesuatu di pikirannya. Tapi tak lama kemudian, tangannya meraih pergelangan tangan obiet lalu segera menariknya agar mengikuti langkahnya. Obiet pun mengikuti agni tanpa banyak bertanya. Sampai akhirnya mereka sampai di bagian lain rumah sakit itu. langkah mereka terhenti beberapa meter dari sebuah kamar dimana di depannya tampak ada seorang gadis tengah duduk diam sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dari bahunya yang bergetar, obiet bisa tau kalau gadis itu tengah menangis terisak disana. Dan sepertinya, semakin ia perhatikan, obiet semakin mengenali sosok itu. Dia…
Tiba-tiba gadis itu mengangkat wajahnya dan menoleh kepada mereka. Rupanya dia telah menyadari keberadaan mereka berdua disana. Dan gadis itu pun dengan cepat menghapus genangan air mata yang menggenangi wajahnya lalu segera bangkit dari duduknya. Dengan matanya yang masih begitu sembab itu, dia menatap tajam kearah agni dan obiet.
“kenapa ada dia disini? Loe yang ngajak dia? Dasar penghianat loe!” kata gadis itu sinis.
“tapi kak….” Tahan agni. Tapi belum sempat agni menuturkan kalimat-kalimat pembelaannya, gadis itu telah berbalik dan masuk ke sebuah kamar dimana seseorang tengah dirawa disana. Agni hanya bisa menunduk dalam sambil menghembuskan nafas beratnya. Perlahan ia kemudian kembali mengangkat wajahnya dan menatap obiet dengan sendu.
“ini kebenarannya kak. Tapi please ya kak, jangan bilang-bilang sama yang lain tentang ini ya kak... Please kak….” Mohon agni dengan wajah penuh permohonan.
Obiet menoleh ke arah pintu kamar yang hanya tertutup sebagian itu. Dan dari luar masih bisa terlihat seorang wanita terbaring lemah dengan inpus dan alat pernafasan yang menempel pada tubuhnya. Dan disampingnya, gadis yang baru saja membentak agni itu tengah duduk menghadap tempat tidur itu sambil terus memandang sendu orang yang terbaring diatasnya.
“itu…”
“itu mamanya sila kak. Beliau kecelakaan 2 hari yang lalu saat… saat mengejar kak sila yang mau kabur dari rumah…” lirih agni. Obiet sontak menatap agni yang kini telah menunduk sedih itu. Dan saat itu juga, mulai mengertilah ia dengan apa yang telah terjadi dibalik segara misterius yang terjadi akhir-akhir itu.
----------------------BERSAMBUNG (3am)---------------------
2 komentar:
ummmm... I actually just procrastinating from the things that I should be doing right now. that's one of my reasons to write something here..hahahaha..
EEENiwei... Secara nih ya, aku gak ngikutin dari awal, aku kasih komen soal my first glance aja.
Tri, I don't think it's that hard to have capital letters where they should be. Huruf besar di awal kalimat, huruf besar pada nama.
Kemudian, cek ulang pareagraf kedua. Hanya ada satu kaliamt yang amaaat sangaaat panjaaang dalam paragraf tersebut.
Kemudian di sebagai imbuhan itu disambung, dan di sebagai kata depan itu dipisah. Hal kecil, tapi ganggu.
Terus aku agak aneh dengan kalimat:
"beberapa keping makanan kecil dan tetesan-tetesan air putih menyegarkan". Kenapa gak keping biskuit aja? Dan kenapa Cakkahanya menyajikan beberapa tetes air putih? Kenapa gak segelas air putih yang menyegarkan aja? Poetic words are nice, but you should use it properly. In that particular sentence, it became over the top.
Ah, udah ah. Ntar dibilang sok tau lagi :)
Posting Komentar