Lanjutan dari PROMISE Part 41: Mereka yang Masih Ada Untukmu. Baca juga Promise Part 1: Awal, untuk mengetahui asal mula cerita fiksi ini diawali dan mulai terbentuk.
NB: Cerita ini hanyalah cerita fiksi belaka (fanfict). Bila ada kesamaan tokoh, kejadian, tempat dsb, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. Segala hal yg tertulis di cerita ini hanyalah hayalan dan imajinasi penulis belaka, bukan suatu hal yg terjadi sebenarnya. So, jangan pernah menganggap cerita ini serius, apalagi terhadap anak2 IC yg aku pakai namanya di dalam cerita fiksi ini. Thx dan selamat membaca... :)
Via terus memperhatikan keadaan sekitarnya. Café itu lumayan padati oleh pengunjung. Tetapi, dari sekian banyak pengunjung kafe itu, tak satupun ia bisa melihat orang berbaju Harry Potter. Via kembali melirik jam tangannya. Pukul 04.34, severus udah telah setengah jam lebih. Via lagi-lagi mendengus kesal. ‘mana sih severus, dia yang bikin janji, eh dia juga yang telat! Ntar kalo ketemu gue omelin tuh anak baru tau rasa!’ omel Via dalam hati, ‘Eh, tapi masa baru kenal udah ngomelin, ga sopan juga ya?’ Via jadi garuk-garuk sendiri, bingung mikirin kata-kata dalam hatinya itu. Sedang asyik-asyiknya melamun, tiba-tiba ada sebuah suara yang menegurnya.
“eh, cewe comel… sendirian aja loe?”
Via mengerutkan keningnya. Suara itu agak familiar dikupingnya. Lalu ia pun segera berbalik untuk melihat siapa yang telah menyapanya dengan kata-kata kurang enak di dengar itu. Dan ketika ia tau siapa yang telah berdiri di belakangnya itu, Via pun langsung tersentak kaget saat melihatnya.
"eh, ngapain loe disini?!"
"yee.. Suka-suka gue donk.. Emang ni cafe punya nenek moyang loe apa?!"
Via kembali berbalik sembari mendengus kesal. Bagaimana tidak kesal. Yang hadir dihadapannya sekarang itu salah satu anggota dari spesies yang dia anggep ngeselin di sekolah. ‘ngapain sih ni anak tiba-tiba nongol?! Ganggu aja! Coba yang negor gue temennya kek, pasti gue ladenin dengan senang hati’ omel Via dalam hati.
"eh, ngapain lo sendirian disini? Mana temen-temen sok lo tuh?" kata cowo itu, sembari duduk di kursi tepat dihadapan Via. Via mengangkat wajahnya dan melotot tajam.
"eh, mau ngajak berantem loe?! Gak liat gue cuma sendirian disini?! Udah deh tuan Riko anggara yang terhormat, gak usah cari ribut dulu sama gue, gue lagi gak mood berantem... Loe sendiri ngapain?" cerocos Via pada cowo yang ternyata Riko itu.
"gue? gue... aus, makanya mau mesen minuman. Loe sendiri?" Riko balik bertanya.
"nunggu temen, sama kaka gue... Udah deh ga usah banyak nanya loe!" jawab Via masih sedikit judes.
“iya.. iya… gue gak ngomong lagi… eh, tapi gue duduk disini ga papa ya… kursi-kursi laen kayanya penuh” sahut Riko.
“hmm… tapi kalo temen gue dateng, loe kudu pergi ya!” sahut Via. Riko tersenyum senang sembari mangancungkan 2 jarinya membentuk tanda V sebagai tanda suer, lalu segera memanggil seorang waiter yang kebetulan sedang lewat di depan meja mereka. Sedangkan Via sudah kembali membuang pandangannya, dan memilih bersikap acuh pada Riko yang tampak sedang memilih-milih makanan dan minuman di buku menu yang diberikan waiter café itu.
Via melirik jam tangannya. Sudah hampir jam 5 sore. ‘argghh… bener-bener deh ni severus, bikin kesel gue!’ Via lalu menyedot minuman dinginnya dengan sedikit kalap. Dia berharap minuman dingin itu bisa sedikit membuat adem hatinya yang mulai kehilangan kesabaran itu. ‘Mana sih tuh severus? Cepetan nongol donk, biar ni kunyuk bisa segera out!’ benak Via sambil terus memperhatikan sekitarnya, kalau-kalau ada orang yang berbaju Harry Potter.
Bosan menunggu orang yang tak kunjung jua memunculkan batang hidungnya sedari tadi itu, sesaat Via melirik Riko yang duduk santai di depannya itu. Dia tampak begitu santai dengan earphone yang menempel di kedua kupingnya. Bibirnya sesekali ikut menggumam untaian bait-bait lagu sembari mengetuk-ngetukan jemarinya pada meja, mengikuti hentakan melodi yang mengalir melewati indera pendengarannya. Dia tampak begitu asyik mendengarkan music dari i-Pod miliknya itu sampai-sampai tak menyadari bahwa Via kini tengah memperhatikan dirinya.
‘ni anak cuek amat…’ gerutu Via dalam hatinya melihat Riko yang tampak super cuek, bahkan seperti tak menganggap dirinya ada. ‘eh tapi tadi gue ya yang minta dia gak ngomong lagi? Bagus deh, dari pada nanya-nanya mulu. Yang ada ntar malah bikin gue tambah kesel!’ kata Via lagi dalam hatinya. Tapi, memperhatikan Riko seperti ini, sebuah pemikiran jadi tiba-tiba menyusup di benak Via. ‘eh, jangan-jangan severus itu….’ Via tanda sadar, mulai meneliti Riko dengan lebih seksama. Dia sesaat mengerutkan keningnya, menandakan ia tengah menimbang-nimbang sesuatu dipikirannya.
Tapi sesaat kemudian dia menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran yang mampir di pikirannya itu. ‘ah, gak mungkin kejadian kaya di sinetron-sinetron. Kebetulan banget…. Lagian gak mungkin juga severus itu Riko. Di bajunya mah bukannya gambar Harry Potter, tapi gambar apaan tuh.. ee.... kaya singa gitu yah? eh pokoknya bukan tentang potter…’ cerocos Via sendiri dalam hatinya sembari terus memperhatikan Riko. Riko memang tampak mengenakan kaos berkerah berwarna merah dengan gambar kecil seperti singa di bagian dada kirinya. Dan fakta itu menurut Via sudah sangat jelas dan pastinya langsung menutup kemungkinan yang tadi sempat terlintas dibenaknya, bahwa Riko adalah severus. Asyik melamunkan pemikirannya itu, tiba-tiba Via disadarkan oleh teguran dari Riko.
"eh, ngapain loe liat-liat gue?!" tegur Riko yang tiba-tiba mengangkat wajahnya dan langsung memergoki Via yang tengah memperhatikan dirinya. Via yang kaget, reflek membuang wajahnya untuk menutupi kegugupan dan rasa malunya.
“eh, hayo ngaku loe! Ngeliatin gue kan tadi?” kata Riko lagi dengan nada menggoda.
“yeee… GR banget sih loe jadi orang.. gue ngeliatin orang di belakang loe kok!” jawab Via judes.
“alaahh jangan boong loe… kalo gak, gak mungkin loe jadi salting gini….” Ledek Riko lagi. Via langsung mendesah pelan. Dia memang tertangkap basah secara telak tadi, dan ini membuat ia susah buat menghindar. Tapi dia tak mau begitu saja terjebak dalam keadaan itu.
“udah deh, ini kan ini mata gue, gue dong yang lebih tau abis ngeliatin apaan! Terserah loe mau bilang apa, gak guna juga gue ngeladenin loe!” sahut Via berusaha berkelit. Lalu ia segera berdiri dari kursinya.
“eh, mau kemana loe?” reflek Riko bertanya.
“gue mau ke toilet. Loe jagain makanan gue, jangan diapa-apain! Jangan ditinggalin juga! Trus, kalau ntar ada cowo, kurus-kurus tinggi gitu, trus pake baju kotak-kotak biru, bilangin gue ke toilet, dia kakak gue…"
"iya..."
Via pun segera melangkahkan kakinya menuju toilet café itu untuk sejenak mengalihkan kegusarannya terhadap severus yang tak kunjung datang, sekaligus sesaat menghindari situasi pemojokan dirinya oleh Riko barusan.
------------------------misst3ri----------------------
….Cara mendekatkan diri dengan si buah hati bisa dilakukan dimulai dengan mendekatkan diri anda layaknya seorang teman dengan buah hati anda. Jika buah hati anda bisa merasa nyaman dengan orang tuanya, maka keakraban dan rasa saling terbuka akan mudah terbentuk. Lakukan itu dengan penuh sayang, karena denga…..
Sila melemparkan majalah itu. Artikel yang penuh omong kosong menurut sila. Setidaknya bagi kehidupannya. Karena baginya, hal itu sama saja bagai mengharapkan keajaiban seperti yang ada di negeri dongeng. Mana mungkin orangtuanya begitu. Yang ada hanya seperti mamanya, yang selalu menyuruh-nyuruh dan ngatur dia. Suka melarang dia dalam segala hal. Tak pernah mendengar apa kemauannya. Selalu mengekang dirinya. Itulah yang ia rasakan terhadap sikap mamanya pada dirinya. Penuh ketidak-adilan.
Sila pun kemudian meraih remote TV didekatnya, dan mulai menyalakan serta mencari channel dengan acara kesukaannya. Dia berharap dengan ini dirinya bisa sedikit melepaskan kekesalannya itu. Dan dalam waktu yang singkat, dirinya telah terbawa sajian film korea favoritenya itu.
“assalamu’alaikum….”
“eh agni, udah pulang.. Dari sanggar lagi?”
Konsentrasi Sila sejenak terpecahkan saat mendengar suara itu dari diluar. ‘Anak aneh itu sudah datang ternyata’. Sila bisa mendengar sayup-sayup suara obrolan yang tampak begitu akrab antara mamanya dan agni itu. Suatu keakraban dan keramahan yang mungkin sudah hampir tak pernah lagi ia rasakan itu. Tapi dia tak mau peduli dan ambil pusing dengan itu, dan memilih terus menikmati tayangan TV di hadapannya itu. Tak lama kemudian, tampak agni dan mamanya memasuki ruang keluarga, tempat sila bersantai.
“jadi tadi sibuk nyusun rencana yang kemaren itu ya?” Tanya mama sila sambil duduk di sofa yang ada disamping sila. Agni mengikuti mama sila duduk di sofa itu.
“iya tante… sama temen-temen tadi ngerapatin konsepnya tante... kita mulai ngerancang, mau nunjukkin apa nanti. Udah mulai oke sih. Apalagi sekarang ada kak Ify mau bantuin. Kak Ify kan jago kalo masalah music gitu…” cerita agni panjang lebar.
“Ify yang temennya sila itu kan? Ohh… bagus itu…” sahut mama sila sambil mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.
‘oh… si penghianat itu udah bisa bergaul sama anak-anak kumuh itu toh?’ benak sila. Walau sila berlagak cuek, tapi sebenarnya ia tidak bisa mengindahkan untuk tidak mendengarkan obrolan mamanya dan agni itu.
“tuh sil… kamu itu kerjaannya nonton tv terus… sekali-sekali kaya agni dong kamu, ikut kegiatan di luar, terlibat dalam kegiatan sosial kaya agni….” Tegur mama sila seketika saat melihat anaknya santai-santaian dengan malasnya bersantai seperti itu.
‘ah, mulai lagi nih mama! Kenapa sih mama selalu banding-bandingin gue? sama agni lagi! Semua gara-gara si penjilat ini nih!’ omel sila dalam hatinya sembari mendengus kesal.
“…. Kalau gini terus, kamu bisa jadi orang yang egois, gak mau peduli sama orang lain.. Bagaimana kamu bisa belajar bersosialisasi, sil... Kapan mama bisa liat kamu gitu… Bisa liat kamu rajin bantuin mama, bantuin orang…” mama sila terus melancarkan kata-kata nasehat beliau pada anaknya itu.
Tapi tampaknya sila tak merasa nyaman dengan hal itu. Dia merengut kesal. Dalam kondisi seperti ini, ia semakin merasa dipojokkan, disudutkan, dihakimi. Dan ia sangat tak suka hal itu mengekang dirinya, membelenggu kebebasannya.
“udah deh ma! Gak usah banding-bandingin aku sama agni! Yang anak mama agni apa sila sih?!” potong sila agak keras. Dia sudah tak tahan mendengar itu semua. Lalu tanpa memandang lagi, sila segera bangkit dari kursinya, lalu melangkah cepat menuju kamarnya dan menutup pintunya dengan keras.
-------------------tri3am------------------
"eh, vi... Mana severus loe itu?"
Sivia baru saja kembali dari toilet, dan saat ia kembali, ia telah menjumpai kakaknya, rio, telah duduk bersama Riko di mejanya itu.
"tau, ga nongol-nongol tuh cowo! Ntar biar gue omelin tuh ntar malem, ngerjain gue tuh anak!" cerocos Via sambil mengambil posisi di salah satu kursi di meja itu lalu meraih minumannya. Ia pun sedikit menghirup sedikit dari sisa minumannya itu.
"severus?" Tanya Riko. Keningnya sedikit berkerut mendengar obrolan dua kakak beradik itu.
"iya, severus, temen maya si Via... Apaan coba nih, ganjen banget, nyari cowo lewat internet... Parah banget... Segitu ga lakunya kali..." cerocos rio menyahuti pertanyaan Riko barusan.
"eh, enak aja!" sahut Via sambil nyubit pergelangan kakaknya itu.
“eh, emang bener kan? Disekolah gak ada yang naksir Via kan ko?” rio kembali melemparkan ejekan pada adiknya itu dengan senyum jahilnya itu.
“siapa juga yang mau sama mak lampir kaya dia, hiyyy…” sahut Riko juga sambil bergidik, lalu tertawa bersama-sama dengan Rio melihat Via yang pipinya sudah bersemu merah semerah buah tomat itu.
"ahh, curang nih main keroyokan” rengut Via, “udah ah kak.. Kita pulang yok... gak bakal datang juga kayaknya orangnya…" pinta Via.
"ntar... gue mau ngobrol dulu sama Riko.. Udah lama ga ketemu nih..." sahut rio santai.
“hah? Emang kaka kenal sama si kunyuk ini ya?” tanya Via agak surprise dengan kenyataan kakaknya kenal dekat dengan Riko.
“enak aja kunyuk! Gue sama kakak loe temen dari dulu kali…” sahut Riko gak terima dikatain kunyuk.
“ketemu dimana?!”
“ketemu dari basket lah… dulu kan pas kakak masih SMP, kalo ada kompetisi-kompetisi basket, kita sering ketemu…. Jadi ya lumayan kenal deket lah…” sahut rio. Rio sekarang memang sudah duduk di kelas 1 SMA, tapi dia yang dulunya bersekolah di SMP berbeda dengan adiknya itu, ternyata sudah pernah cukup sering bertemu dulunya dengan anak-anak tim basket di SMP Via, termasuk Riko, sehingga sering bertemu dan berteman akrab satu dengan yang lainnya.
“makanya loe sekarang duduk disini nungguin pangeran gak jelas loe itu, kali aja muncul… nah gue ngobrol sama Riko dulu… oke adek ku sayang?” lanjut rio lagi sambil menarik pergelangan tangan adiknya itu dan menyuruhnya duduk kembali.
------------------misst3ri--------------------
Di cuekin dan dianggurin. Itu jelas bukanlah hal yang menyenangkan. Dan itulah yang dirasakaan Via sejak rio menyuruhnya duduk menunggu dirinya dan Riko mengobrol. Mungkin waktu baru berjalan tak lebih dari 20 menit, tapi itu terasa berjam-jam lamanya baginya. Dia sangat bosan. Dia merasa sangat tak nyaman berada dalam situasi seperti itu. Bayangkan saja, dia duduk bersama dalam satu meja, tapi dirinya sama sekali tak dianggap kehadirannya. Dirinya seperti tak ada bedanya dengan patung yang berada di tengah-tengah ruangan café itu. Berada diseliling banyak orang, tapi sama sekali tak dianggap. Hanya dianggap sebuah patung yang tak perlu diajak bicara, tak perlu diperhatikan perasaannya, tak perlu diperdulikan karena ia hanya sebuah benda tak bernyawa.
Tapi, hey! Dia manusia, punya perasaan! Emang enak dianggurin begitu? Kalo dikasih makan sih gapapa, lah ini cuma dikasih asupan obrolan dari 2 orang cowo di depannya itu. Mending kalo dia ngerti sehingga bisa asyik buat didengerin, lah ini ngerti juga nggak apa yang dibicarain. Lampard? Apaan tuh? Merk lem baru buat saingan lemfox? Trus apa itu ngobrolin PS? Ohh nooo…. Udah gede gitu masih doyan sama gituan ya? Via gak habis pikir dengan makluk yang namanya cowo ini. Tahan berjam-jam cuma buat melototin layar tv sambil pencet-pencet apa itu namanya, stik PS ya? Yah, what ever lah…. Ini yang bikin Via sempet curiga, kalo ada nikotinnya di PS sehingga bisa buat orang kecanduan main gituan….
Dan sekarang, setelah di cuekin begitu, dia kini ditinggal sendirian. Catet itu, SENDIRIAN. Beneran gak dianggep dah. Barusan saja kakaknya pamitan buat ke toilet. Dan si Riko ikutan juga. Kok bisa kompak banget, kebelet bareng-bareng. Mana lama banget lagi. Pada ngapain coba? Kalo Via gak kenal sama yang namanya RIO sebagai kakaknya, dia mungkin ngira ada apa-apaan antara rio dan Riko. Tapi untunglah penantian dia akhirnya berakhir setelah melihat Riko tengah berjalan menuju mejanya, sendirian? Eh, hey… where is rio?
“eh, kak rio mana?”
“gak tau… tadi jalan kearah sana…” jawab Riko enteng.
“ah, kok ka rio gitu sih?!” dumel Via. Dia segera meraih HPnya dan menekan beberapa tombol lalu kemudian mendekatkan HPnya dengan telinganya. Riko hanya memperhatikan tanpa berkomentar.
“ah, kenapa dimatiin sih!” omel Via setelah berkali-kali mencoba menghubungi kakaknya tapi hanya terdengar suara cewe dari operator. Dan lagi, lagi, dan lagi, Via hanya bisa mendengus kesal. Via yang terlihat sangat kesal itu rupanya mengundang tawa Riko.
“haha… lucu ya loe kalo lagi gini… kaya anak ayam kehilangan induknya! Haha…” ledek Riko. Via tak menggubris. Dia tetap berusaha menghubungi kakaknya yang tiba-tiba menghilang tanpa pamit itu.
“jadi cewe manja banget sih… gini aja udah kalang-kabut… dasar manja loe!” ledek Riko lagi. Kali ini Via langsung berhenti dari usahanya menghubungi kakaknya itu, dan beralih mendelik tajam kearah Riko.
“eh, diem deh loe! Jangan mentang-mentang gue lagi sendirian gak sama temen-temen gue loe bisa ngelunjak sama gue!” omel Via. Riko mengangkat alisnya, lalu tersenyum meremehkan.
“emang loe masih punya temen? Gank gaul kan udah ancur…” dengan entengnya Riko mengatakan hal itu.
Mendengar itu, Via segera membuang pandangannya ke arah jendela luar café itu dimana matahari mulai takluk dan menyemburkan sisa-sisa kekuatannya untuk memancarkan sinarnya yang telah berwarna jingga kemerah-merahan itu. Via sedikit mendesah pelan. Mendengar Riko menyebut gank gaul hancur, hati Via sedikit menciut ketika ingatannya kembali menjumpai wajah-wajah yang sempat menorehkan kebahagiaan, tapi juga kepedihan itu. Dia sendiri juga tak tau, apakah dirinya masih bisa dibilang perduli pada ikatan persahabatannya dengan teman-temannya itu. Hati kecilnya sebenarnya sungguh menyayangkan kalo persahabatannya sudah hancur lebur. Tapi disisi lain, dirinya masih tak bisa menerima sebuah rasa sakit, yang entah sengaja atau tidak sengaja, telah ditorehkan dengan tajam oleh salah satu sahabatnya itu, tepat dijantung hatinya yang terdalam.
"eh, kalian kenapa sih musuhin Ify sampe segitunya? Kasian tau..." kata Riko lagi.
“orang kaya dia emang pantes dapetin itu!” Via lagi-lagi menatap tajam Riko.
“pantes digituin gimana? Setau gue, walau kalian udah ngebuang dia, Ify itu masih ngotot nganggep kalian itu sahabat. Iel aja sampe frustasi bilangin Ify buat ngelupain kalian, tapi dia tetep aja teguh sama pendiriannya. Temen se-setia itu mau loe sia-siain vi?” kata Riko dengan sedikit penekanan di kalimat akhirnya. Via kembali membuang pandangannya, dan lagi-lagi mengikatkan dirinya pada kebisuan.
“kalo gue jadi loe, gue gak bakal ngelepasin sahabat kaya gitu sampe kapan pun…” lanjut Riko lagi. Via sedikit mendesah pelan. Dia tau hati kecilnya meneriakkan hal yang sama dengan yang diungkapkan Riko. Tapi ego dan rasa sakit hatinya terlalu kuat membelenggu hatinya.
"loe kalo gak tau dan gak ngerti permasalahannya, gak usah sok nasehatin deh! Dia tuh udah ngehianatin gue! Ngerti loe?!" sahut Via.
"penghianat gimana? Gara-gara dia temenan sama Iel? Nah, berarti lo sekarang juga penghianat dong, kan loe sedang ngobrol sama gue.." sanggah Riko lagi.
"Ya beda lah! Gue kan kalo gak sengaja ketemu loe dan kalo loe gak maksa, gue gak bakal mau ngobrol sama loe!"
“beda? Yakin loe?” Riko sedikit tertawa kecil.
“eh, maksud loe apa?! Pertemuan kita ini gak bisa disamain dengan penghianatan Ify! Denger loe?! Gak sama!” tekan Via. Riko hanya mengangguk-angguk kecil sembari tersenyum tipis. Via melirik Riko sesaat, dan ia merasa tak nyaman dengan cara Riko tersenyum dan memandangnya itu. Tapi belum sempat ia melontarkan kata-katanya pada Riko, tiba-tiba….
Drrr…. Drrr…
HP Via bergetar, menandakan ada telepon masuk. Perhatian Via ke Riko seketika buyar, dan ia pun segera meraih HPnya dan melihat layarnya untuk mengetahui siapa yang tengah menghubunginya itu. Mata Via membulat, kembali bersinar penuh harapan ketika mengetahui siapa yang menghubunginya itu. Via segera menekan tombol ‘OK’ dan menjawab teleponnya.
“hallo…” jawab Via sedikit dengan nada ragu. Tak ada jawaban yang terdengar. Ia hanya mendengar suara keramaian disana. Via melirik Riko yang tengah memperhatikannya itu, lalu berbisik ‘bentar’ sembari member isyarat kalau dia mau menjawab telponnya dulu. Riko hanya mengangguk kecil. Dan Via pun segera meninggalkan kursinya dan melangkah ke luar café, berharap diluar ia bisa mendengar suara yang lebih jelas.
“hallo… severus?” masih tak ada jawaban di seberang sana.
“severus kan? Loe dimana? Gue udah nungguin loe lama…” kata Via lagi. Hening kembali. Via menjadi diliputi pertanyaan.
“severus…”
“sori princess udah bikin loe nunggu…” akhirnya terdengar jawaban dari sana.
“loe dimana sih? Udah deh, gak usah sok misterius lagi” kata Via lagi. Terdengar suara tawa renyah di seberang sana.
“gue bukan orang yang misterius kok buat loe…”
“kalo gitu, tunjukin diri loe dong… loe dimana sih?”
“gue? Gue tepat dibelakang loe…”
Via perlahan berbalik dan betapa terperangahnya dia saat mengetahui sosok severus sesungguhnya, orang yang selalu ada untuknya dan menjadi sosok yang akhir-akhir itu sangat ingin ia jumpai dan hadir di kehidupan serta hatinya dalam bentuk nyata.
--------------------misst3ri------------------------
Di kamar berukuran 3x4 itu, gadis itu duduk terdiam di pinggir tempat tidurnya. Mulutnya tertutup rapat, matanya memandang lurus ke depan dengan sinar penuh emosi, jemarinya menggempal dengan kuatnya seakan-akan jemari itu meremas kuat sesuatu yang ingin ia hancurkan sampai remuk. Ya, seperti itulah perasaan dirinya. Dirinya sudah sangat merasa tersiksa dengan keadaan yang ada. Di sekolah, di rumah, semua orang kini seakan-akan sepakat untuk menghakiminya, memojokkan dirinya. Dia ingin menghancurkan rasa itu. Dia ingin bebas dari semuanya. Dia ingin pergi kemana dirinya bisa berbuat bebas seperti kemauannya. Tidak untuk di kekang, tidak untuk dibanding-bandingkan, tidak untuk di pojokkan.
Kini setelah merenung dalam kesendiriannya itu, hasratnya sudah semakin kuat. Apapun tak boleh menghalangi dirinya sekarang. Perlahan ia meraih HPnya yang tergeletak tak jauh dari sana. Ia lalu mulai menekan sejumlah tombol, lalu mendekatkan dengan telinganya.
‘tut..tut..tut..tut..’ Terdengar bunyi sibuk di seberang sana. Dia kemudian menunggu sejenak sebelum kemudian kembali lagi menghubungi nomer tadi.
‘Tuutttt…. Tuutttt….’ nomer yang ia tuju telah tersambung. Ia tersenyum senang sambil berharap teleponnya segera diangkat. Tapi tiba-tiba… ‘TIT! Tut…tut…tut…tut..’ Orang di seberang sana telah mereject panggilannya. Dia tampak kaget dan segera memutuskan panggilannya dengan hati yang kesal. Disaat ia seperti ini, teman satu-satunya yang ia harapkan malah tak bisa dihubungi. Dia semakin merasa sendiri, tak ada yang mau menemaninya lagi.
Apakah memang tak ada lagi orang yang peduli akan dirinya? Oke, fine! Dia sudah muak dengan keadaan ini, jadi untuk apa dia tetap bertahan dalam kondisi seperti ini?! Dan hatinya pun kembali terasa panas dan bergejolak, seolah semakin menguatkan tekatnya untuk melepas semuanya itu.
----------------------tri3am------------------------
“sila… mau kemana? Ini sudah mau maghrib…”
Sila keluar dari kamarnya dengan sebuah tas ransel di pundaknya. Dia berjalan cepat tanpa mempedulikan mamanya dan agni yang masih duduk-duduk di ruang keluarga itu.
“hei, sila! Mau kemana kamu?” kali ini mama sila bertanya dengan nada yang lebih tegas.
“bodo! Sila mau pergi! Gak ada artinya lagi juga sila tetap disini, toh mama udah punya anak kesayangan yang lain, yang lebih bisa banggain mama!” jawab sila tak kalah keras.
“sila…! Jangan nekat kamu! Kembali kata mama! Sila!!” sanggah mama sila sambil buru-buru bangkit dari duduknya dan segera mengejar anaknya yang tampaknya ingin melakukan perbuatan yang tak ia harapkan itu.
Tapi Sila malah berlari cepat dengan air mata yang tlah menetes di sudut matanya. Sayup-sayup dibelakang masih terdengar suara mamanya dan juga agni yang berteriak memanggil-manggilnya sambil mengejar dirinya. Tapi dirinya tak peduli dan tak mau peduli lagi. Dia sudah cukup sakit hati dan merasa tak berharga lagi oleh orang-orang disekitarnya. Dan dia ingin meninggalkan semuanya itu, tanpa pernah keinginan lagi untuk mengingat rasa sakit hatinya itu.
“sila…!!”
Kaki sila terus melangkah semakin cepat. Semakin cepat, semakin cepat. Dia tak ingin orang-orang yang terdengar masih mengejarnya sembari memanggil-manggil namanya itu, menahan keinginannya dan kembali mengekangnya. Tapi keadaan yang berkecamuh itu tiba-tiba terhenti oleh sebuah suara keras yang cukup memengakkan telinga….
Tiin…tiiin…!!!!!
Ciittttt…..
Brak!!
-------------------BERSAMBUNG (3am)-------------------
0 komentar:
Posting Komentar